tirto.id - Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah menilai pasal penghinaan presiden tidak perlu masuk dalam Revisi Undang-Undang KUHP (RUU KUHP).
"Nggak perlu. Sudah nggak ada itu. Nggak boleh gitu lagi. Jangan terlalu mengsakralkan lah," kata Fahri di Kompleks DPR Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (2/2/2018).
Karena, menurut Fahri pasal tersebut sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 4 Desember 2006 melalui putusan No. 013-022/PUU-IV/2006 dengan alasan bisa menimbulkan ketidakpastian hukum dan rentan manipulasi.
"Presiden itu objek kritik. Tapi kalau ada yang hina presiden laporkan saja secara pribadi," kata Fahri.
Fahri juga menyebut yang lebih pantas untuk dilindungi dengan undang-undang adalah lambang negara seperti bendera merah putih dan burung garuda.
Pendapat Fahri ini berbeda dengan Wakil Ketua DPR, Taufik Kurniawan yang sebelumnya setuju dengan adanya perluasan pasal penghinaan presiden dalam Revisi UU KUHP.
"Jadi kalau lembaga presiden kemudian ada istilahnya pencemaran nama baik secara kelembagaan maka menurut saya harus diatur secara undang-undang," kata Taufik di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (31/1/2018).
Menurut Taufik, presiden dan lembaga kepresidenan merupakan pemimpin negara dan kepala pemerintahan yang harus dijaga martabatnya.
"Prinsipnya presiden itu kan adalah figur. Struktur lembaga kepresidenan yang sama-sama harus kita hormati. Presiden itu hasil dari mandatory rakyat hasil pemilihan," kata Taufik.
Taufik pun meminta agar perluasan pasal penghinaan pada presiden tidak perlu diributkan. Menurutnya, setiap orang di negara ini juga berhak untuk melaporkan ke kepolisian apabila merasa nama baiknya dicemarkan oleh individu atau kelompok tertentu.
"Jadi bukan masalah tepat atau tidak," kata Taufik.
Perluasan pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP hasil pembahasan terakhir pada 10 Januari 2018 terdapat pada pasal 264. Pasal itu menyatakan seseorang yang menyebarluaskan penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dengan sarana teknologi informasi dapat dipidana penjara paling lama lima tahun.
Dalam pasal itu dikatakan pula bahwa konten yang disebarluaskan tidak bisa dikategorikan sebagai penghinaan apabila dilakukan untuk kepentingan umum, demi kebenaran dan pembelaan diri. Hal tersebut ditegaskan sebagai upaya untuk melindungi kebebasan berekspresi dalam berdemokrasi.
Hal ini berbeda dengan Pasal 134 dan 136 UU KUHP sebelumnya yang mengatur penghinaan presiden. Dalam pasal 134 dikatakan bagi seorang yang menghina presiden dapat dikenakan hukuman pidana enam tahun atau lebih rendah satu tahun dari RUU KUHP baru.
Sementara, dalam Pasal 136 tidak diatur mengenai penyebaran penghinaan presiden melalui sarana teknologi komunikasi. Melainkan hanya diatur bagi seseorang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di muka umum penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Yantina Debora