Menuju konten utama

Wakil Ketua DPR Setuju Perluasan Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP

Menurut Taufik Kurniawan setiap orang di negara ini juga berhak untuk melaporkan ke kepolisian apabila merasa nama baiknya dicemarkan oleh individu atau kelompok tertentu.

Wakil Ketua DPR Setuju Perluasan Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP
(Ilustrasi) Wakil Ketua DPR Agus Hermanto (kanan), Fahri Hamzah (kedua kanan), Fadli Zon (kedua kiri) dan Taufik Kurniawan (kiri). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari.

tirto.id - Wakil Ketua DPR, Taufik Kurniawan setuju dengan adanya perluasan pasal penghinaan presiden dalam Revisi UU KUHP (RKUHP).

"Jadi kalau lembaga presiden kemudian ada istilahnya pencemaran nama baik secara kelembagaan maka menurut saya harus diatur secara undang-undang," kata Taufik di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (31/1/2018).

Menurut Taufik, presiden dan lembaga kepresidenan merupakan pemimpin negara dan kepala pemerintahan yang harus dijaga martabatnya.

"Prinsipnya presiden itu kan adalah figur. Struktur lembaga kepresidenan yang sama-sama harus kita hormati. Presiden itu hasil dari mandatory rakyat hasil pemilihan," kata Taufik.

Taufik pun meminta agar perluasan pasal penghinaan pada presiden tidak perlu diributkan. Karena, menurutnya, setiap orang di negara ini juga berhak untuk melaporkan ke kepolisian apabila merasa nama baiknya dicemarkan oleh individu atau kelompok tertentu.

"Jadi bukan masalah tepat atau tidak," kata Taufik.

Pada 4 Desember 2006 Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No. 013-022/PUU-IV/2006 telah menghapus pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Alasannya karena menimbulkan ketidakpastian hukum dan rentan manipulasi

Perihal ini, Taufik, menyatakan pasal penghinaan pada presiden tidak akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak akan bertentangan dengan demokrasi di Indonesia. Karena, menurut dia, demokrasi di Indonesia adalah demokrasi yang bebas dan bertanggungjawab secara hukum.

"Apa kalau setiap rakyat boleh mengajukan (kritik) tidak bertentangan dengan HAM? Makanya itu prinsipnya negara demokrasi itu yang bebas bertanggungjawab. Jangan sebebas-bebasnya mencaci maki orang. Orang yang digitukan kan merasa punya hak juga," kata Taufik.

Ada pun perluasan pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP hasil pembahasan terakhir pada 10 Januari 2018 terdapat pada pasal 264 yang menyatakan seseorang yang menyebarluaskan penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dengan sarana teknologi informasi dapat dipidana penjara paling lama lima tahun.

Dalam pasal itu dikatakan pula bahwa konten yang disebarluaskan tidak bisa dikategorikan sebagai penghinaan apabila dilakukan untuk kepentingan umum, demi kebenaran dan pembelaan diri. Hal tersebut ditegaskan sebagai upaya untuk melindungi kebebasan berekspresi dalam berdemokrasi.

Hal ini berbeda dengan Pasal 134 dan 136 UU KUHP sebelumnya yang mengatur penghinaan presiden. Dalam pasal 134 dikatakan bagi seorang yang menghina presiden dapat dikenakan hukuman pidana enam tahun atau lebih rendah satu tahun dari RUU KUHP baru.

Sementara, dalam Pasal 136 tidak diatur mengenai penyebaran penghinaan presiden melalui sarana teknologi komunikasi. Melainkan hanya diatur bagi seseorang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di muka umum penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.

Baca juga artikel terkait PENGHINAAN PRESIDEN atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Hukum
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Yantina Debora