tirto.id - Pemerintah dan DPR berencana merevisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dengan memasukkan perluasan pasal terkait kesusilaan yang akan meregulasi zina, pencabulan, dan homoseksual. Revisi ini dinilai menyisakan sejumlah masalah baru.
Revisi didengungkan buat mewujudkan nilai humanis lantaran KUHP yang ada sekarang merupakan warisan kolonial. Menurut pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Anugerah Rizki Akbari rencana perluasan delik zina dan pencabulan homoseksual dalam revisi ini malah menjauhkan pemerintah dan DPR dari cita-cita tersebut.
Ia menjelaskan, negara sekadar ingin tampil sebagai sosok yang kuat tetapi tidak benar-benar merespons isu kriminalitas dengan membuat bermacam regulasi tambahan yang bersifat represif. “Tidak ada yang diuntungkan dalam proses [upaya perluasan pasal kesusilaan] ini,” kata Anugerah, dalam diskusi Koalisi Reformasi KUHP, di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (25/1/2018).
Problem lain dari rencana revisi KUHP pasal kesusilaan adalah makin peliknya proses pembuktian tindak pidana. “Bila memang benar ada korban atau masyarakat merasa dirugikan dari aktivitas atau orientasi seksual seseorang, bagaimana cara polisi membuktikannya?” kata pria yang akrab disapa Eki ini.
Eki juga menyinggung soal pasal 488 RKUHP tentang perilaku kumpul kebo. Dalam pasal tersebut dikatakan, “setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah, dipidana pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II”.
Pasal ini disebut potensial bermasalah. Eki kemudian memberi contoh kasus, “Kalau saya tinggal sama sepupu saya, lawan jenis, lalu dianggap hidup sebagai suami istri, saya bisa kena juga, dong, pidana penjara satu tahun?”
Sisi humanis dalam revisi ini juga dikritik oleh guru besar antropologi hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto. Menurut Sulistiyowati, bila revisi KUHP pasal kesusilaan ini benar-benar disahkan, negara menjadi sosok antagonis yang bisa masuk ke ranah privat dengan memperalat hukum.
“Ini sama saja seperti abad kegelapan di Eropa dulu,” ucap Sulistyowati.
Hukum dan moral dinilai Sulistyowati merupakan dua hal yang tidak bisa disatukan dan harus saling mengkritisi sekalipun hukum kerap bersumber dari patokan-patokan moral. Dalam moralitas ini, bersemayam relativitas budaya dalam memandang definisi zina.
Menurut Sulistyowati, problem revisi pasal kesusilaan akan muncul bila satu definisi zina dari satu budaya diterapkan secara universal ditambah macam-macam tafsir politik yang mendatangkan pertarungan kepentingan.
Soal problem definisi ini, Ratna Batara Munti selaku perwakilan LBH Apik dan Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan menyebut akan timbul efek cukup besar terutama bagi korban perkosaan yang gagal membuktikan dirinya diperkosa di mata hukum, orang-orang yang terlibat nikah siri, juga kepada anak-anak yang menikah di bawah umur.
Pada sisi lain, Ratna menilai masalah kriminalisasi lesbian, gay, biseksual menjadi tidak relevan lantaran sebagai orientasi seksual, gay dan lesbian merupakan sesuatu yang terberi (given). Ia mengatakan, upaya mengkriminalisasi LGBT merupakan suatu pelanggaran hak paling mendasar manusia yang sebenarnya dilindungi konstitusi.
Delik Zina dan LGBT di DPR
Pasal kesusilaan terkait zina dan homoseksualitas—yang sempat diajukan oleh sebagian kelompok masyarakat ke MK untuk ditinjau ulang sejak 2016 namun ditolak per Desember 2017 lalu—mengundang pendapat-pendapat berbeda dari fraksi-fraksi di DPR sehingga keputusan bulat soal pengaturan seksualitas warga pun urung tercapai.
Sentimen terhadap aktivitas seksual sesama jenis serta zina orang dewasa yang sama-sama belum menikah tidak surut seiring dijatuhkannya putusan MK. Perjuangan untuk memperluas definisi-definisi hukum soal kesusilaan masih dilakukan, tidak hanya oleh kelompok masyarakat tertentu, tetapi juga oleh wakil-wakil rakyat dan pemerintah.
Dalam wawancara dengan Tirto pada Senin (22/1) lalu, Anggara dari Institut for Criminal Justice Reform (ICJR) berkomentar bahwa usulan untuk memperluas zina itu datang dari pemerintah, bukan karena ada kelompok-kelompok masyarakat yang mencoba memperjuangkan ini.
"Cuma, isu ini masih di-pending di DPR karena ada beberapa hal krusial yang perlu dipertimbangkan seperti siapa yang melapor. Nah kalau soal pengaturan LGBT, itu usulan DPR, terutama dari fraksi-fraksi partai Islam. Mereka ini yang memberikan rumusan tambahan untuk pasal terkait homoseksualitas, bukan hanya kepada anak di bawah [usia] 18.”
Zina, Perkosaan, dan Perbuatan Cabul versi KUHP
Dalam KUHP yang sekarang, ada tiga istilah berbeda yang tercantum di pasal-pasal tentang kesusilaan: zina, cabul, dan perkosaan.
Zina dalam pasal 284 dimengerti sebagai persetubuhan yang dilakukan seseorang yang telah menikah dengan orang lain di luar pasangannya.
Lalu dalam pasal 285, perkosaan dipahami sebagai segala upaya laki-laki untuk berhubungan seksual dengan perempuan yang melibatkan kekerasan atau ancaman kekerasan. Untuk membuktikan terjadinya perkosaan, kedua unsur, kekerasan atau ancaman kekerasan, perlu dibuktikan dalam proses hukum.
Sampai saat ini, perkosaan yang disebut sebagai tindak pidana adalah perbuatan memaksa berhubungan seksual yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan. Maka, pemaksaan hubungan seksual yang terjadi antara sesama jenis tidak bisa ditindak pidana menggunakan pasal perkosaan.
Sementara itu, dalam pasal 292 terkait homoseksualitas yang berlaku kini, yang dapat dijerat adalah orang dewasa yang melakukan aktivitas cabul kepada anak di bawah 18 tahun.
Versi Rancangan (Revisi) KUHP yang Sedang Dibahas DPR
Dalam RKUHP terkait pasal kesusilaan yang sedang dibahas di DPR, terdapat rumusan baru yang memicu perdebatan karena berdampak signifikan bagi warga Indonesia.
Dalam pasal 484 huruf (e) dinyatakan sebagai zina, “Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan”.
Lalu dalam rumusan pasal 495 RKUHP terbaru tercantum,
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18 (delapan belas) tahun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
(2) Dipidana dengan pidana yang sama ditambah dengan sepertiga jika perbuatan cabul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara seks oral atau seks anal atau semua bentuk pertemuan organ non-kelamin dengan alat kelamin yang dilakukan secara homoseksual.
Ayat (2) pasal ini mengundang usulan perubahan, “Dipidana dengan pidana yang sama ditambah dengan sepertiga jika perbuatan cabul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya terhadap orang yang berumur diatas 18 tahun dengan kekerasan atau ancaman kekerasan; melanggar kesusilaan di muka umum; publikasi; mengandung unsur pornografi.”
Ada pun usulan ahli bahasa untuk ayat (2), “ Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya terhadap orang yang berumur diatas 18 tahun dipidana dengan pidana yang sama perbuatan jika menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan; melanggar kesusilaan di muka umum; mempublikasikan; atau mengandung unsur pornografi”.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Mufti Sholih & Maulida Sri Handayani