Menuju konten utama

Vonis Pemerkosa & Penjual Anak di Lampung: 20 Tahun & Kebiri Kimia

Dian Ansori, relawan rumah aman Lampung Timur divonis 20 tahun penjara dan kebiri kimia. Ia jadi terpidana ketiga di Indonesia yang divonis kebiri.

Vonis Pemerkosa & Penjual Anak di Lampung: 20 Tahun & Kebiri Kimia
Ilustrasi HL Indepth Pelecehan Seksual di Kampus. tirto.id/Lugas

tirto.id - Hakim menghukum Dian Ansori, 51 tahun, pemerkosa anak, selama 20 tahun penjara dan kebiri kimia. Dian juga didenda Rp800 juta subsider 3 bulan serta restitusi atau kompensasi kepada korban NV, 14 tahun, sebesar Rp7,7 juta. Kebiri berlangsung selama 1 tahun bagi Dian setelah menjalani pidana pokok.

Vonis tersebut dibacakan oleh Eti Purwaningsih, ketua majelis hakim pengadilan negeri Sukadana, Lampung Timur, Provinsi Bandar Lampung, Selasa (9/2/2021). Vonis hakim melebihi tuntutan (ultra petia) dengan 15 tahun penjara dan denda Rp800 juta. Atas vonis tersebut, Fauzi, kuasa hukum Dian Ansori mengaku akan ajukan banding.

Dian merupakan relawan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur. Lembaga di bawah pemerintah daerah ini seharusnya menjadi rumah aman bagi NV. Korban dibawa ke lembaga tersebut untuk perlindungan setelah pamannya memperkosanya. Ironinya, Dian justru mengulangi perbuatan paman korban.

Kuasa hukum korban dari LBH Bandar Lampung, Chandra Muliawan mengatakan vonis tersebut harus jadi pijakan polisi mengusut tuntas kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang diduga dilakukan oleh terpidana dan rekannya.

“Selama proses persidangan, NV telah memberikan keterangan saksi korban bahwa pernah dilakukan persetubuhan terhadap dirinya yang disertai iming-iming serta ancaman oleh terpidana. Selain itu juga korban pernah dijual oleh terpidana,” kata Chandra kepada Tirto, Selasa (9/2/2021).

Fakta persidangan menunjukkan dugaan penjualan anak oleh Dian Ansori terjadi kepada pria berinisial BA, yang juga ikut menjadi saksi persidangan.

“BA memberikan sejumlah uang kepada korban dengan pesan bahwa uang sebesar Rp200.000 agar diberikan kepada terpidana,” ujar Chandra.

Dugaan TPPO terjadi saat korban dalam naungan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Lampung Timur.

“Ironisnya peristiwa ini terjadi saat korban sedang di bawah perlindungan terpidana setelah menjadi korban persetubuhan yang pernah dialami sebelumnya,” ungkapnya.

LBH Bandar Lampung mendesak kepolisian untuk menindaklanjuti hasil sidang dengan membuka kasus baru sesuai UU 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

“Sehingga putusan ini menjadi babak baru bagi aparat penegak hukum untuk mengembangkan perkara dugaan TPPO sebagaimana yang terungkap dalam persidangan,” imbuhnya.

Kronologi Kasus & Vonis Kebiri Ketiga di Indonesia

NV merupakan korban pencabulan oleh pamannya pada Januari 2020. Korban dibawa ke P2TP2A untuk perlindungan. Nyatanya pelaku yang bertanggung jawab menampung korban malah memperkosa.

Pemerkosaan terhadap NV terjadi medio Juni 2020. Saat itu korban ditampung oleh Dian Ansori di rumahnya. Alasannya P2TP2A Lampung Timur sedang masa transisi menjadi Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PAA). Dalam masa transisi ini UPTD belum punya rumah aman, korban lalu ditempatkan di rumah Dian Ansori. Kasus ini mempercepat peralihkan ke UPTD PAA.

Selama di bawah naungan Dian Ansori, korban dijual ke orang lain. Korban diberi uang Rp200 ribu dan pelaku Rp500 ribu. Dalam catatan Tirto, korban tak lagi ingat berapa kali dijual ke orang. Ia hanya ingat terjadi transaksi dan diberi uang. Hal ini masuk unsur perdagangan orang.

NV akhirnya melaporkan kasus pemerkosaan tersebut ke polisi lantaran Dian mengancam membunuh dan mencelakai keluarga korban. Dian ditetapkan sebagai tersangka dan menyerahkan diri pada Juli 2020 lalu. Dalam semua proses hukum mulai penyelidikan, penyidikan, sampai selesainya persidangan terungkap fakta korban dijual. Perkara penjualan anak belum diproses kepolisian.

Dian Ansori menjadi terpidana ketiga di Indonesia yang divonis kebiri kimia. Terpidana kebiri kimia pertama adalah Muhammad Aris, 22 tahun, warga Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur. Hakim pengadilan negeri Mojokerto memvonis Aris pada 2 Mei 2019 atas pemerkosaan sembilan anak.

Terpidana kedua adalah Rachmat Slamet Santoso, 32 tahun, di Surabaya yang divonis pada 18 November 2019. Slamet divonis kebiri kimia karena mencabuli 15 anak saat terpidana jadi pembina Pramuka sejak 2015.

Pada saat vonis Aris dan Rachman, aturan kebiri kimia telah masuk ke UU 17/2016 tentang Perlindungan Anak. Namun putusan belum bisa dieksekusi, karena belum ada aturan teknis. Setahun kemudian aturan teknis baru ada.

Pada 7 Desember 2020 Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah nomor 70 tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual. PP tersebut menjadi panduan pelaksanaan kebiri.

Peraturan kebiri kimia ditentang. Antara lain dari Ikatan Dokter Indonesia dan Komnas HAM. Komnas HAM menilai telah terjadi kemunduran hukum Indonesia dengan bila kebiri dilaksanakan. Kebiri tak menimbulkan efek jera. Hukuman layak bagi predator seksual adalah penjara seumur hidup, kalau pun ditambah adalah kerja sosial seumur hidup.

Dari sisi medis, kebiri kimia dipandang tak menjamin hilangnya hasrat seksual, sehingga ada potensi mengulangi perbuatannya. Dokter yang menjalankan keputusan juga berpotensi melanggar kode etik profesi. Bila terpaksa dilakukan, IDI menyarankan eksekutornya bukan dokter.

Baca juga artikel terkait PERKOSAAN ANAK atau tulisan lainnya dari Zakki Amali

tirto.id - Hukum
Reporter: Zakki Amali
Penulis: Zakki Amali
Editor: Rio Apinino