Menuju konten utama

Apa itu Hukuman Kebiri Kimia & Bagaimana Penerapan di Negara Lain?

Hukuman kebiri kimia juga terjadi di beberapa negara meskipun tak lepas dari perdebatan. 

Apa itu Hukuman Kebiri Kimia & Bagaimana Penerapan di Negara Lain?
Ilustrasi Kekerasan Seksual. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Presiden Jokowi, belum lama ini, telah menandatangani peraturan teknis pelaksanaan hukuman kebiri kimia kepada para terpidana pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Aturan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, Dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak.

Akan tetapi, jauh sebelum Indonesia resmi menerapkan hukum itu, Korea Selatan sudah memperkenalkan pengibirian kimiawi pada pelaku seksual, yang menurut NCBI, untuk pertama kalinya di Asia, tepatnya pada Juli 2011.

Berdasarkan undang-undang, pelaku kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur yang berusia kurang dari 16 tahun dikenai kebiri kimia. Ada seruan untuk hukuman yang lebih keras terhadap predator seksual dan langkah-langkah pencegahan yang lebih kuat setelah serangkaian kejahatan kekerasan yang menindas perempuan dan anak-anak.

Pada 2013 lalu, Kabinet menyetujui RUU yang direvisi, di mana Korea akan memperluas aturan kebiri kimia untuk menghukum mereka yang melakukan kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur 19 tahun dan secara retroaktif menerapkan undang-undang yang mengatur pengungkapan informasi pribadi pelaku seksual. Namun, undang-undang tersebut telah memicu perdebatan.

Kebiri kimia menggunakan obat hormonal untuk mengurangi perilaku seksual patologis yang pertama kali diterapkan pada tahun 1944. Saat itu diethylstilbestrol diresepkan untuk menurunkan kadar testosteron. Testosteron adalah hormon utama yang terkait dengan libido dan fungsi seksual.

Medroksiprogesteron asetat dan cyproterone asetat telah digunakan di seluruh Amerika Serikat, Kanada, dan beberapa negara Eropa untuk mengurangi fantasi seksual dan dorongan seksual pada pelanggar seksual.

California telah menjadi negara bagian pertama di Amerika Serikat yang mengizinkan kebiri kimiawi atau bedah untuk pelanggar seksual yang dibebaskan dari penjara, dan itu terjadi sekitar tahun 1996.

Undang-undang itu sempat memicu kontroversial, namun delapan negara bagian mengikuti pengesahan undang-undang yang memberikan beberapa bentuk kebiri bagi pelanggar seksual yang sedang dipertimbangkan untuk pembebasan bersyarat atau masa percobaan.

Sebagaimana dilaporkan NCBI, kebiri bedah dilaporkan menghasilkan hasil yang pasti, bahkan pada pelaku pedofil, dengan mengurangi tingkat residivisme menjadi 2 persen sampai 5 persen dibandingkan tingkat yang diharapkan 50 persen.

Kebiri kimia menggunakan agonis LHRH untuk mengurangi testosteron ke tingkat yang sangat rendah meskipun ada faktor psikologis yang berkontribusi pada pelanggaran seksual.

Kebiri kimia memungkinkan pelaku seksual untuk melakukan aktivitas seksual normal dalam konteks psikoterapi. Tidak seperti kebiri bedah, efek obat anti-libido dapat pulih kembali setelah penghentian.

Perdebatan Hukuman Kebiri Kimiawi

Kebiri kimiawi juga tidak lepas dari perdebatan karena berbagai alasan sosial dan medis. Masalah sosial ini terjadi karena kebiri kimia mungkin tidak menjamin hak asasi manusia untuk kasus-kasus tertentu yang dilakukan tanpa persetujuan dari pelaku seksual.

Selain itu, meningkatnya angka pelanggar seksual yang menjalani kebiri kimia akan menimbulkan beban sosial ekonomi yang luar biasa. Biayanya sekitar 5 juta won (USD 4,650) per orang setiap tahun untuk pengobatan dan pemantauan ketika suntikan leuprolide asetat diberikan setiap 3 bulan di Korea.

Untuk masalah medis. Seperti dilaporkan The Conversation, kebiri kimia sering menunjukkan bahwa penggunaan jangka panjang beberapa obat ini dapat menimbulkan efek samping permanen yang merugikan , termasuk peningkatan risiko osteoporosis, penyakit kardiovaskular, dan gangguan metabolisme glukosa dan lipid.

Bila diberikan untuk pengebirian kimiawi, obat-obatan seperti medroksiprogesteron asetat, siproteron asetat, dan agonis LHRH, dapat mengakibatkan penurunan yang signifikan tidak hanya pada testosteron serum, tetapi juga pada estradiol.

Estrogen memainkan peran fisiologis penting bahkan pada pria karena memiliki efek pada pertumbuhan kerangka dan pematangan tulang, fungsi otak, dan biologi kardiovaskular. Maka daripada itu, kebiri kimiawi sering dikaitkan dengan berbagai efek samping, termasuk osteoporosis, penyakit kardiovaskular, dan gangguan metabolisme glukosa dan lipid.

Hukuman Kebiri Kimia di Indonesia

Presiden Jokowi resmi menandatangani peraturan teknis pelaksanaan hukuman kebiri kepada para terpidana pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Aturan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, Dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak yang ditandatangani pada 7 Desember 2020.

Berikut adalah bunyi pasal 2 ayat 1 PP tersebut seperti dikutip Tirto, Selasa (5/1/2021). "Segala Tindakan Kebiri Kimia, tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi dikenakan terhadap Pelaku Persetubuhan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap."

Akan tetapi, berdasarkan pasal 6, pelaku seksual di bawah umur tidak mendapat hukum kebiri kimia. "Pelaku Anak tidak dapat dikenakan Tindakan Kebiri Kimia dan tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik," bunyi pasal 6 PP tersebut.

Seperti dikutip dari salinan peraturan Pasal 1 ayat 2, Tindakan Kebiri Kimia adalah pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain, yang dilakukan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, sehingga menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, untuk menekan hasrat seksual berlebih, yang disertai rehabilitasi.

Sementara bunyi Pasal 1 ayat 3: "Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak adalah pelaku tindak pidana persetubuhan kepada Anak dengan kekerasan atau ancaman kekerasan seksual memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain dan pelaku tindak pidana perbuatan cabul kepada Anak dengan kekerasan atau ancaman kekerasan seksual, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul."

Sesuai dengan Pasal 5, tindakan kebiri kimia dikenakan untuk jangka waktu paling lama dua tahun.

Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Kebiri Kimia

Tata cara pelaksanaan hukuman kebiri kimia tertuang dalam Pasal 9 sebagai berikut:

a. Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia dilakukan setelah kesimpulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 menyatakan Pelaku Persetubuhan layak untuk dikenakan Tindakan Kebiri Kimia;

b. Dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya kesimpulan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, jaksa memerintahkan dokter untuk melakukan pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia kepada Pelaku Persetubuhan;

c. Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilakukan segera setelah terpidana selesai menjalani pidana pokok;

d. Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia dilakukan di rumah sakit milik pemerintah atau rumah sakit daerah yang ditunjuk;

e. Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia dihadiri oleh jaksa, perwakilan dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial, dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan;

f. Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia dituangkan dalam berita acara; dan

g. Jaksa memberitahukan kepada korban atau keluarga korban bahwa telah dilakukan pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia.

Baca juga artikel terkait HUKUMAN KEBIRI KIMIA atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Hukum
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Agung DH