Menuju konten utama
Penyelesaian Konflik Papua

Menyoal Wacana Darurat Sipil di Papua setelah Insiden Susi Air

Penetapan darurat sipil dinilai bakal semakin meningkatkan intensitas konflik, karena hal itu bagian dari pendekatan keamanan.

Menyoal Wacana Darurat Sipil di Papua setelah Insiden Susi Air
Header Konflik TNI-OPM. tirto.id/Ecun

tirto.id - Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), Sebby Sambom merespons pernyataan Wakil Ketua DPR RI Bidang Politik dan Keamanan, Lodewijk Paulus perihal Papua kini berstatus darurat sipil.

“Apa pengertian darurat sipil? Bahaya atau tidak? Darurat militer atau sipil?" kata Sebby kepada Tirto, Senin, 13 Februari 2023. “Kami tidak bisa paham orang-orang yang oportunis, kapitalis. Kepedulian mereka sejauh mana terhadap rakyat Papua?" kata dia.

Lodewijk sempat berujar akibat penyanderaan pilot Susi Air berkebangsaan Selandia Baru, Philips Max Marthin, di Nduga oleh TPNPB, maka kini situasi Papua dalam status darurat sipil. Dia juga meminta kepala daerah dan aparat penegak hukum mengusut tuntas penyanderaan si pilot.

“Harus dipahami bahwa Papua ini sekarang status darurat sipil. Maka yang di depan adalah penguasa darurat sipil, gubernur, yang di depannya otomatis penegak hukum,” kata Lodewijk di Istora Senayan, Jakarta, Jumat, 10 Februari 2023.

Sontak, pernyataan politikus Partai Golkar itu menuai kritik, salah satunya dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). KontraS menyorot omongan Lodewijk, lantaran belum ada keputusan resmi dari presiden ihwal status operasi keamanan di Papua dan penyelesaian masalah melalui pendekatan keamanan tidak menyelesaikan konflik di Papua.

“Pernyataan tersebut sangatlah berbahaya, sebab dapat memicu eskalasi kekerasan dan dapat memperparah situasi kemanusiaan di Papua. Dikhawatirkan pernyataan itu dijadikan validitas oleh aparat keamanan untuk melakukan tindakan yang berlebihan dan sewenang-wenang," ucap Fatia Maulidiyanti, Koordinator Kontras, dalam keterangan tertulis, Sabtu, 11 Februari 2023.

Sebab melalui kebijakan darurat sipil, kata dia, negara memiliki wewenang yang begitu besar dan berpotensi terjadi adanya pelanggaran hak asasi manusia. Maka sepatutnya pejabat negara tidak reaktif menyikapi situasi konflik yang sedang terjadi.

Merujuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, kebijakan darurat sipil membuat pemerintah dapat melarang atau membatasi pengiriman berita atau percakapan melalui telepon maupun radio, menggeledah tempat-tempat di luar kehendak pemilik hingga dapat mengontrol semua akses informasi seperti penyebaran tulisan/gambar dan penerbitan.

“Wewenang pemerintah yang besar akan menimbulkan persoalan baru dan warga sipil yang tidak bertikai dapat menjadi korban," terang Fatia.

pembakaran Pesawat Susi Air

Pesawat Susi Air dengan nomor penerbangan SI 9368 diduga dibakar oleh KKB saat berada di Bandara Paro, Nduga. Hingga kini, aparat tengah melakukan investigasi. foto/twitter/Antaranews

Keadaan Bahaya

Pasal 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 menyebutkan "Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang."

Apabila:

  1. Keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau di sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;
  2. Timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apa pun juga;
  3. Hidup negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan- keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala- gejala yang dapat membahayakan hidup negara.
Artinya, Presiden atau Panglima TNI tak boleh sembarangan mengasesmen suatu daerah untuk dijadikan daerah operasi. Karena mesti mempertimbangkan hal-hal yang tercantum dalam regulasi tersebut. Apalagi mereka juga harus menimbang dampak buruk dari penetapan "keadaan bahaya". Anggota DPR pun seharusnya memahami perihal aturan ini.

APEL PENGAMANAN TNI-POLRI TIMIKA

Prajurit TNI dan Polri mengikuti apel pengamanan di Timika, Papua, Sabtu (30/11/2019). ANTARA FOTO/Sevianto Pakiding/wpa/foc.

Menolak Wacana Darurat Sipil di Papua

Anggota Komisi I DPR Papua, Laurenzus Kadepa menolak wacana darurat sipil di Tanah Cenderawasih. “Karena akan mengancam rakyat sipil. Akan ada kasus dan pelanggaran HAM baru. Tanpa darurat sipil saja banyak kasus di Papua," ucap dia kepada Tirto, Senin, 13 Februari 2023.

Daripada menerapkan kebijakan darurat sipil, kata dia, lebih baik menyelesaikan masalah yang terjadi di Papua melalui proses demokrasi, dialog, dan cara-cara lain yang bermartabat.

Begitu juga advokat dari PAHAM Papua, Yohanis Mambrasar. Ia mengatakan selama ini pemerintah pusat sudah tetapkan darurat sipil di Papua. Hanya saja selama ini pemerintah tidak mengakuinya kepada publik, mereka sengaja menutupi kebijakan keamanan ini.

“Ada semacam kebijakan politik keamanan di Papua yang dijalankan oleh pemerintah, TNI, dan Polri di Papua secara tertutup," tutur Yohanis kepada Tirto.

Di Papua selama ini, dalam urusan-urusan keamanan dan konflik, dikendalikan secara penuh oleh anggota TNI dan Polri, ini menunjukkan telah berlakukan darurat sipil selama ini di Papua.

“Pertanyaannya kenapa pemerintah tidak mengakui saja bawa mereka sedang menerapkan kebijakan darurat sipil ini? Kenapa mereka menutupi kebijakannya ini?" kata Yohanis.

Pemerintah mestinya berani mengakui bahwa telah menetapkan darurat sipil, agar publik tahu, bisa memantau dan mengawal kebijakan keamanan operasi-operasi militer tersebut; juga agar rakyat Papua tahu dan bisa menghindar dari konflik dan kekerasan, bahkan dunia nasional dan internasional dapat memantau kebijakan keamanan dimaksud, sehingga operasi militer di Papua selama ini dapat terarah.

Yohanis menilai darurat sipil yang selama ini dijalankan menjadikan warga sipil menjadi korban.

“Fakta operasi militer (darurat sipil) di Papua selama ini menunjukkan bahwa masyarakat pribumi Papua menjadi korban. Publik bisa melihatnya dalam kasus operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak dan Maybrat, ribuan rakyat sipil tak bersalah telah menjadi korban kekerasan aparat," jelas Yohanis.

Jangan Semakin Berdarah

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Cahyo Pamungkas mengingatkan bahwa penetapan darurat sipil bakal semakin meningkatkan intensitas konflik, karena darurat sipil masih menjadi bagian dari pendekatan keamanan.

“Darurat sipil bukan kebijakan yang tepat untuk menyelesaikan konflik Papua. Justru akan memperburuk," kata Cahyo kepada Tirto.

Kebijakan darurat sipil berbeda dengan pendekatan kemanusiaan secara humanis yang dilontarkan oleh pemerintah.

“Jadi ini ada kontradiksi antara yang disampaikan pemerintah dengan yang terjadi di lapangan. Darurat sipil jelas bukan pendekatan humanis, justru memperburuk krisis kemanusiaan di Papua," sambung dia.

Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodawardhani memastikan pemerintah hingga saat ini belum menentukan darurat sipil di Papua setelah insiden pembakaran pesawat Susi Air dan penyanderaan pilot Susi Air, Captain Phillips.

Jaleswari menekankan penetapan keadaan bahaya, termasuk di antaranya darurat sipil sebagai salah satu gradasi dari keadaan bahaya tersebut memiliki mekanisme formal-prosedural.

Mekanisme tersebut sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ia menegaskan bahwa penetapan daerah darurat sipil atas penetapan presiden.

“Hingga saat ini, tidak ada penetapan darurat sipil oleh Presiden di Daerah Papua," kata Jaleswari dalam keterangan, Selasa (14/2/2023).

Jaleswari juga menegaskan, pemerintah akan menindak kelompok bersenjata di Papua sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini juga tidak lepas dalam upaya menyelamatkan pilot Susi Air dari penyanderaan.

“Mengingat hal tersebut, langkah dalam penindakan KKB yang dilakukan tetap merujuk pada langkah-langkah penegakan hukum secara terukur dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku," jelas Jaleswari.

Pada Mei 2021, Menko Polhukam Mahfud MD juga pernah menegaskan pemerintah belum berencana memberlakukan status darurat sipil di Papua terkait aksi-aksi teror yang dilakukan kelompok bersenjata.

“Pemerintah sampai saat ini belum berpikir memberlakukan darurat sipil apalagi darurat militer, karena kami menganggap ini sebenarnya tidak terlalu besar," ujar dia sebagaimana dilansir Antara.

Mahfud menegaskan tindakan kekerasan yang dilakukan kelompok bersenjata memenuhi unsur tindak pidana terorisme sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018.

Pemerintah mengutamakan pendekatan dialog terhadap 90 persen masyarakat Papua untuk melakukan penanganan terhadap persoalan di Papua dan menawarkan pendekatan kesejahteraan, serta berdialog dengan kelompok gerakan politik dan kelompok gerakan klandestin yang menginginkan kemerdekaan Papua.

“Memang sudah puluhan tahun kami menangani ini, tidak selesai-selesai, ya. Karena kami mau pendekatan dialog dahulu. Dialog, dialog, dialog. Kami tak punya target, pokoknya selama itu masih ada aparat keamanan, penegak hukum masih akan terus bekerja," jelas Mahfud.

Baca juga artikel terkait KONFLIK PAPUA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz