tirto.id - Seorang pria sepuh bernama Suyono (66) terlihat tengah memasukkan sampah plastik ke dalam sebuah tungku pembakaran untuk membuat tahu putih. Lokasinya di sebuah pabrik bernama Dua Bersaudara - DY. Pabrik itu berada di Desa Klagen Tropodo, Krian, Sidoarjo, Jawa Timur.
Di dalam tungku berukuran besar itu, tampak kobaran api yang siap membakar sampah-sampah plastik. Tungku itu menghasilkan uap yang akan digunakan untuk perebusan tahu putih.
“Sampah dimasukkan ke tungku cuma buat merebus. Karena diambil uapnya, disalurkan ke perebusan,” kata Suyono saat ditemui di lokasi, Senin, 6 Februari 2023.
Potongan sampah-sampah plastik itu terletak sebuah lahan yang cukup luas berada di sebelah kanan tungku. Sampah plastik tersebut dalam berbentuk cacahan.
Ia bekerja mulai dari pukul 07.00 sampai 15.00 WIB. Saryono bekerja tanpa alat pelindung diri sama sekali. Hanya mengenakan kaus polo ungu dengan celana pendek di atas lutut, topi, dan sendal jepit.
Untuk memasukkan sampah plastiknya pun ia hanya menggunakan kayu dengan panjang sekitar 50 cm saja. Jelas jauh dari kata aman.
Ia mengaku tak merasakan bau atau terdampak apa pun selama puluhan tahun bekerja di pabrik tahu itu sebagai pembakar tungku dengan bahan bakar sampah plastik itu.
“Sudah puluhan tahun, hampir 30 tahunan, sekarang usia 66 tahun. Nggak kenapa-kenapa, sudah biasa," tuturnya.
Sementara saya sendiri yang berada di lokasi merasa perih dan merasa tak nyaman dengan asap serta partikel plastik yang berterbangan saat dibakar di dalam tungku. Padahal saya saat itu memakai masker dua lapis dan pakaian yang menutupi hampir sekujur tubuh.
Dari tungku yang dibakar menggunakan plastik itu, kata dia, akan menghasilkan tenaga uap untuk merebus olahan kedelai yang akan diproduksi menjadi tahu kotak.
Hasil dari pembakaran plastik itu keluar asap dari cerobong yang ada di atas bangunan pabrik tersebut. Sesekali saya melihat asap dari pembakaran sampah plastik itu menyebar ke area para karyawan yang tengah bekerja.
Sama seperti Suyono, karyawan di sana juga tidak ada yang menggunakan alat pelindung diri. Bahkan, terdapat pekerja lansia yang bekerja tidak mengenakan baju sambil memeras tahu.
Tak hanya berdampak ke pekerja Pabrik Tahu Dua Bersaudara DY saja, asap hasil pembakaran sampah yang keluar dari cerobong tersebut juga mencemari warga sekitar.
Salah satunya warga Nayah (60) merasakan dampak dari asap yang keluar dari cerobong pabrik tahu itu. Kediamannya tepat berada di seberang pabrik tahu itu, yang hanya dibatasi aliran kali.
Di sebuah balai depan rumahnya, ia tengah duduk bersama sang ibu yang diperkirakan usianya 80 tahunan dengan kebaya hijau dan bawahan cream bercorak batik.
"Dampaknya ke saya, tenggorokan saya serak. Kadang juga batuk," kata Nayah yang saat itu mengenakan daster merah.
Tak hanya pabrik tahu Dua Bersaudara DY saja yang mencemari udara di rumahnya. Bahkan terdapat empat pabrik tahu lain yang berada di sekitar rumahnya mengeluarkan asap dari cerobong.
Berdasarkan pemantauan Tirto di lokasi, memang terdapat sekitar empat cerobong dengan jarak 20-30 meter yang mengelilingi kediaman Nayah.
“Kalau kena kulit badan saya juga kadang gatal. Kalau hidungnya dikorek, hitam gitu kaya upil," tuturnya.
Tak hanya dirinya. Ibunya yang tengah duduk bersamanya itu juga kerap merasakan hal yang sama. "Si mbah merasa batuk. Pokoknya batuk, pilek," imbuhnya.
Ia memang sudah mengetahui pabrik tahu yang berada di sekitarnya ada yang menggunakan sampah plastik sebagai bahan bakar. Bahkan, banyak warga yang mengeluh karena asapnya mencemari lingkungan.
"Warga pada protes. RT juga sudah menegur, tapi juga tidak digubris," tuturnya.
Alasan Pakai Sampah Plastik
Pabrik Tahu Dua Bersaudara DY itu dimiliki oleh Gufron. Usahanya itu dimulai sejak 2012. Ia merupakan generasi kedua pemilik pabrik tahu Dua Bersaudara DY atau diwarisi oleh orang tuanya.
Gufron mengaku sejak awal telah menggunakan sampah plastik sebagai bahan bakar pembuatan tahu putih. Bahan yang digunakan plastik sachet merk Kapal Api dengan harga Rp600 per kilogram. Dalam sehari biasanya ia bisa membeli sebanyak 1 ton atau Rp600.000.
Lantaran harganya yang mahal, akhirnya ia beralih menggunakan sampah plastik impor yang ia peroleh dari Desa Prambon, Sidoarjo. Kemudian, alasannya menggunakan bahan bakar dari sampah plastik lantaran kesulitan mendapatkan kayu bakar.
"Setelah ramai jadi sorotan pemberitaan karena pakai plastik, akhirnya pakai kayu," kata Gufron saat ditemui di kediamannya yang hanya berjarak sekitar 30 meter dari pabrik tahunya.
Biasanya ia menggunakan kayu dengan potongan kecil-kecil dari pemasok. Selama enam tahun Gufron menggunakan kayu sebagai bahan bakar.
Akan tetapi, kata dia, menggunakan bahan bakar kayu biaya yang dikeluarkan lebih mahal dibanding dengan plastik. Biasanya satu kali masak dengan kayu harus mengeluarkan biaya sebesar Rp5.000. Sementara jika menggunakan plastik hanya Rp3.000.
“Sekali masak selisih Rp2.000. Kalau sehari 100 kali masak berarti sehari selisih Rp200.000,” kata dia.
Ketika usaha pemasok kayunya itu tutup, akhirnya ia kembali beralih menggunakan sampah plastik. Namun, ia masih mendapatkan kayu bakar dari pemasok lain meski tidak sebanyak sebelumnya.
“Hampir sebulan ini saya balik menggunakan plastik [sebagai bahan bakar pembuatan tahu]. Tapi dicampur juga dengan kayu," ucapnya.
Selain sampah plastik dan kayu, Gufron mengaku pernah menggunakan campuran solar dengan oli bekas sebagai bahan bakar. Bahkan biayanya lebih efisien. Namun hal itu dinilai tak efektif.
Lalu, ia juga pernah menggunakan bahan karet untuk pembuatan sepatu. Tetapi pembakaran di dalam tungku kurang panas.
Saat ini, kata Gufron, pengusaha yang masih menggunakan sampah plastik sebagai bahan bakar adalah pabrik tahu goreng. Lantaran jika menggunakan kayu bakar untuk menggoreng tahu, harganya bisa dua kali lipat.
“Karena biaya bakarnya bisa separuh. Misalnya biaya pakai plastik sekali goreng Rp5.000, kalau pakai kayu bakar bisa keluar Rp10.000," terangnya.
Sejauh ini dengan menggunakan bahan bakar sampah plastik, ia mengklaim tidak ada karyawannya yang mengalami keluhan akibat pencemaran udara dan mikroplastik.
"Nggak masalah, karyawan sini sehat-sehat saja walaupun asapnya berlebihan. Nggak sakit sesak napas, karena sudah terbiasa, karena sudah dari dulu," klaimnya.
Bahkan, lanjut dia, warga sekitar pun tidak mengalami dampak dari asap yang keluar dari cerobong milik pabrik tahu Gufron itu. "Nggak ada sesak napas, orang sini kuat-kuat," akunya.
Pabrik milik Gufron itu mulai beroperasi pukul 07.00- 16.00 WIB. Saat ini, karyawannya berjumlah 10 orang yang berdomisili di sekitar Sidoarjo. Tahu hasil produksinya dijual ke Pasar Pakis, Surabaya dan sekitar Sidoarjo, Jawa Timur.
Di desanya, kata Gufron, terdapat sekitar 40-an pabrik yang memproduksi tahu, baik rebus maupun yang sudah digoreng. Artinya, terdapat sekitar 40-an cerobong asap lebih di Desa Klagen Tropodo yang hampir sebagian besar menggunakan sampah plastik sebagai bahan bakarnya.
Setelah ramai di pemberitaan mengenai pembuatan tahu menggunakan bahan bakar sampah plastik, lanjut Gufron, pemerintah menawarkan ketel sebagai penggantinya. Bahkan mau memberikan subsidi setengah harga.
Penggunaan ketel memang lebih baik dan efektif. Penggunaan kayu bakar pun akan lebih irit. Misalnya biasanya kayu bakar satu truk digunakan untuk tiga hari. Jika menggunakan ketel bisa digunakan untuk satu minggu.
Namun, ketel yang ditawarkan ukurannya 2x2 meter persegi dengan kisaran harga Rp66 juta. Ketel dengan ukuran tersebut hanya cukup untuk ukuran empat karyawan merebus tahu. Sementara pegawainya berjumlah 10 orang, sehingga ia membutuhkan ketel berukuran 3x3 meter persegi.
Bahkan, saat itu Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa sempat menawarkan kepada pengusaha tahu agar menggunakan bahan bakar dari gas.
“Waktu itu sudah ada tawar menawar sama pemerintah buat kasih subsidi ketel, tapi sampai sekarang nggak ada lanjut lagi," tuturnya.
Bahan Berbahaya Pembakaran Plastik
Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) mengkritik keras penggunaan sampah plastik sebagai bahan bakar pembuatan tahu. AZWI merupakan organisasi yang terdiri dari YPBB, GIDKP, Nexus3 Foundation, PPLH Bali, ECOTON, ICEL, Nol Sampah Surabaya, Greenpeace Indonesia, Gita Pertiwi, dan WALHI.
AZWI mengkampanyekan implementasi konsep Zero Waste yang benar dalam rangka pengarusutamaan melalui berbagai kegiatan, program, dan inisiatif Zero Waste yang sudah ada untuk diterapkan di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia dengan mempertimbangkan hirarki pengelolaan sampah, siklus hidup material, dan ekonomi sirkuler.
Anggota AZWI, Eka Chlara Budiarti pun ikut menginvestigasi saat melakukan peninjauan ke Pabrik Tahu Dua Bersaudara DY.
Chlara menyatakan sampah plastik yang dibakar itu tidak akan hilang. Melainkan abu pembakarannya menjadi partikel-partikel kecil atau mikroplastik. Zat yang terkandung dalam mikroplastik itu akan berdampak terhadap pada perubahan iklim, kesehatan, dan lingkungan.
Ia menjelaskan pembakaran sampah plastik menghasilkan emisi karbon yang dapat mempengaruhi perubahan iklim. Karena emisi gas pembakaran tersebut akan membentuk selubung di atmosfer sehingga energi panas yang seharusnya dikeluarkan, justru terperangkap dan kembali ke bumi.
Lantaran sinar matahari memiliki dua sifat, yakni dipantulkan dan diteruskan ke atmosfer sebagai energi di bumi.
“Makanya kenapa akhirnya udara kita di Surabaya itu panas sekali dan gelombang panas itu di Indonesia cukup tinggi, hal ini karena senyawa yang dilepaskan dia akan membentuk selubung di atmosfer," kata Chlara di kawasan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Selasa (7/2/2023).
Kemudian Citizen Science Coordinator dari ECOTON itu menyatakan, pembakaran sampah dapat menjadi mikroplastik di udara.
Ia mengatakan pihaknya bersama mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang pada 2021 pernah melakukan percobaan pembakaran sampah dengan cara dibakar. Alhasil, muncul mikroplastik akibat pembakaran tersebut.
“Partikel-partikel tersebut menjadi lebih kecil dan tak kasat mata, dan itu berbahaya," ujarnya.
Selain itu, Ecoton juga bekerja sama dengan Nexus3 untuk meneliti tentang pembakaran sampah plastik. Ditemukannya bahan-bahan kimia berbahaya seperti dioksin, polychlorinated biphenyls (PCBs), polybrominated diphenyl ethers (PBDEs), short-chain chlorinated paraffins (SCCPs), dan perfluorooctane sulfonate (PFOS) yang diregulasi secara global di bawah Konvensi Stockholm di Bangun, Mojokerto dan Tropodo, Sidoarjo.
“Semuanya ini adalah senyawa yang memicu kanker ketika ini masuk di lingkungan," tuturnya.
Indonesia sendiri peringkat kedua se-Asia dengan kasus dioksin tertinggi. Kasus itu pun ditemukan dalam telur ayam kampung. Konsentrasi dioksin yang terkandung sebanyak 70 kali lipat dan PFOS sebanyak 1,3 kali lipat melebihi baku mutu asupan harian manusia yang diatur oleh Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA).
Pihaknya juga pernah mengindentifikasi mikroplastik pada sampel tahu yang dibeli dari salah satu pengusaha tahu di Tropodo, Krian Sidoarjo. Mikroplastik yang ditemukan adalah jenis filamen yang diduga dari pembakaran menggunakan sampah plastik.
Sementara itu ditemukan PM 2.5 yang dihasilkan dari lingkungan sentra tahu di Tropodo sebanyak 709 µg/m3. “Nilai tersebut melewati ambang batas partikular yang diatur oleh BMKG," tegas dia.
Selain itu, abu hasil pembakaran plastik bisa mengontaminasi tanah dan air yang biasanya dibutuhkan untuk kegiatan sehari-hari.
“Gejala ringan akan ditimbulkan reaksi gatal dan ruam. Sedangkan gejala terparah yakni bisa mengganggu genetik dan kromosom janin," kata Chlara.
Ia mengatakan senyawa dioksin kimia bahkan bisa membuat bayi terlahir cacat. Hal tersebut seperti saat pasukan militer Amerika Serikat melakukan operasi Agen Oranye atau herbisida kuat yang mengandung dioksin kimia yang mematikan saat Perang Vietnam.
“Jadi kebanyakan adalah bayi-bayi yang cacat dan lahirnya bahkan waktu melahirkan sudah meninggal dan sudah banyak penyakit genetik. Jadi jangan sampai Indonesia akan seperti itu," tukasnya.
Selain itu, pihaknya juga menemukan air resapan tanah yang ada di Desa Lakardowo, Mojokerto, Jawa Timur yang terkontaminasi limbah hasil pembakaran di pabrik pengelolaan limbah. Abu hasil pembakaran ditimbun secara masif.
"Total Dissolve Solid (TDS) air sumur warga mencapai dua kali lipat melebihi baku mutu air minum dan sanitasi air," kata dia.
Pada saat itu, Chlara juga mendemonstrasikan temuan mikroplastik yang ada salah satu sungai di Surabaya yang merupakan salah satu anak Sungai Brantas.
Ia menjelaskan mikroplastik merupakan partikel plastik <5mm yang berasal dari dua sumber: sekunder dan primer. Sumber primer mikroplastik yang dari awal dibentuk secara sengaja dengan ukuran kecil. Contohnya scrub di lulur, face wash, detergen, dan produk-produk kebersihan lainnya.
Sementara itu, sekunder, mikroplastik yang berasal dari remahan, cuilan, fragmentasi plastik ukuran besar. Contohnya produk-produk yang terbuat dari plastik.
“Jenis mikroplastik yang ditemukan di sungai ini jenis fragmen bentuknya padat seperti cuilan atau patahan, biasanya dari plastik keras kayak botol, sendok garpu plastik, dan plastik keras lainnya," terangnya.
Pada waktu yang sama, Founder Nol Sampah, Hermawan Some yang juga merupakan bagian dari AZWI mengatakan, jika aktivitas yang dilakukan oleh Pabrik Tahu Dua Bersaudara itu merupakan kegiatan pengolahan sampah secara termal.
Pembakaran sampah secara termal harus merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 70 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan Kegiatan Pengolahan Sampah Secara Termal.
Pengolahan sampah secara termal hanya dapat dilakukan terhadap sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga yang tidak mengandung B3, Limbah B3, kaca, Poli Vinyl Clorida (PVC), dan aluminium foil.
“Saat ini sampah kita belum terpilah. Siapa yang bisa menjamin B3, vinyl, PVC, kaca dan aluminium foil ikut dibakar tidak menimbulkan racun?” kata pria yang akrab disapa Wawan itu.
Berdasarkan Permen LHK 70/2016, pengolahan sampah secara termal memiliki baku mutu emisi usaha dengan parameter:
- Total Partikulat 120 mg/Nm3
- Sulfur Dioksida (SO2) 210 mg/Nm3
- Oksida Nitrogen (NOx) 470 mg/Nm3
- Hidrogen Klorida (HCl) 10 mg/Nm3
- Merkuri (Hg) 3 mg/Nm3
- Karbon Monoksida (CO) 625 mg/Nm3
- Hidrogen Fluorida (HF) 2 mg/Nm3
- Dioksin & Furan 0,1 ng/Nm3.
“Pertanyaannya, apakah mereka sudah melakukan uji coba itu secara legal maupun ilegal? Harus dibuka proses pengambilan data hingga hasilnya," tegas dia.
Manajer Program Advokasi dan Litigasi Ecoton, Azis mengatakan, larangan pembakaran sampah diatur dalam Pasal 29 huruf g Undang Undang (UU) 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah.
Dalam poin tersebut, dilarang untuk membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah.
“Namun dalam UU 18/2008 pasal 29 (g) terdapat mandatori yang akan di atur dalam peraturan daerah," kata Azis kepada Tirto, Kamis (9/2/2023).
Jika merujuk dalam Peraturan Daerah (Perda) Sidoarjo, Jawa Timur tentang pengelolaan sampah, terdapat larangan pembakaran sampah diatur dalam Pasal 25 yang menyebutkan larangan (g) membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah.
Jika melihat turunan pasal dan sanksinya pada huruf (g) di Pasal 63 berbunyi "Setiap orang pribadi atau badan yang melanggar ketentuan Pasal 23 dan Pasal 25 huruf e, huruf f dan huruf g, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak Rp50 juta.”
Respons DLH Jatim
Fungsional Pengendalian Dampak Lingkungan Ahli Muda Dinas Lingkungan Hidup (LH) Jawa Timur, Agus Sutjahjo mengatakan, pihaknya telah membahas mengenai solusi agar pabrik tahu di Desa Klagen Tropodo, Krian, Sidoarjo, Jawa Timur tidak lagi menggunakan sampah plastik sebagai bahan bakarnya.
Para pemangku kepentingan seperti Dinas LH Sidoarjo, Dinas LH Jawa Timur, dan Kementerian KLHK juga telah membagi peran untuk merumuskan dan apa saja target yang harus dicapai dalam kurun waktu tertentu agar para pengusaha menggunakan bahan bakar alternatif.
Saat pembahasan itu, Agus masih bertugas sebagai seksi infrastruktur dan persampahan Dinas LH Jawa Timur.
Akhirnya terdapat perusahaan kertas yang ingin memberikan corporate social responsibility (CSR) berupa pelet kayu untuk bahan bakar pembuatan tahu agar beralih dari plastik.
“Cuma karena dari jarak pabrik kayu ke pabrik tahu jauh, jadi nggak jalan," kata Agus kepada Tirto, Kamis (9/2/2023).
Para pengusaha pabrik tahu pun sempat menggunakan kayu untuk bahan bakar. Akan tetapi, lantaran biaya yang dikeluarkan lebih besar, akhirnya mereka kembali menggunakan sampah plastik.
“Dulu pernah disetop pakai bahan bakar plastik, tapi sepertinya [pengusaha tahu] diam-diam [pakai sampah plastik] karena usaha harus terus berjalan [produksi]," tuturnya.
Ia mengatakan, Dinas LH Jatim akan terus memantau dan mengawasi para pengusaha tahu agar berkomitmen tidak lagi menggunakan sampah plastik sebagai bahan bakar.
Ia menuturkan sebenarnya para pengusaha tahu dapat dikenakan sanksi sesuai UU 18/2008 karena telah membakar sampah dengan teknologi yang tidak tepat.
“Nah ini yang saya tahu belum ada sanksi administratif maupun pidana. Meski ada dalam hal implementasi belum berjalan dengan baik karena ada pertimbangan khusus bagi industri kecil UMKM," ucapnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz