tirto.id - Nahdlatul Ulama (NU) memasuki satu abad bertepatan dengan jelang perhelatan politik lima tahunan. Sebagai ormas keagamaan terbesar di Indonesia, NU semakin tegas soal sikap politiknya, tidak ingin berafiliasi dengan parpol tertentu, capres dan segala macam bentuk politik lainnya.
Ketegasan itu ditunjukkan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf. Dia berulang kali mengingatkan kepada nahdliyin baik struktural maupun kultural jangan menjadikan NU sebagai identitas politik. Apalagi bagi mereka yang baru saja atau tiba-tiba mengaku bagian dari NU tanpa jejak rekam yang jelas.
“Maka saya sampaikan tidak akan ada calon presiden dan calon wakil presiden atas nama NU,” kata pria yang akrab disapa Gus Yahya tersebut kepada wartawan di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur, Selasa (31/1/2023).
Gus Yahya meminta kepada setiap bakal capres, calon kepala daerah hingga legislatif untuk berani menunjukkan jejak rekam dan prestasi saat berkampanye. Alih-alih menggunakan nama besar NU yang rawan ternodai bila digunakan sebagai alat kampanye.
“Siapapun yang hendak maju, yang hendak menawarkan diri sebagai calon apa pun, hendaknya berdasarkan prestasi diri, kredibilitasnya sendiri, dan track record-nya sendiri. Tidak berdasarkan pada klaim-klaim identitas tertentu," tegasnya.
Pesan-pesan yang disampaikan Gus Yahya sejatinya adalah pengulangan dari deklarasi NU yang kembali ke Khittah 1926. Bahwasanya NU memiliki semangat perjuangan demi kepentingan bangsa dan kepemimpinan ulama, sebagaimana namanya.
Harapannya tidak tercampur infiltrasi politik lima tahunan yang selalu menyeret NU sebagai ormas Islam ke dalam pusaran kampanye karena jumlah massanya yang besar.
Apa yang disampaikan Gus Yahya mendapat respons positif dari sejumlah parpol. Terutama dari kalangan partai nasionalis yang lebih luwes dalam menceruk massa tanpa harus terikat dalam ideologi agama tertentu. Meski demikian, tidak semua partai politik sepakat dengan Gus Yahya yang harus membebaskan NU dari kepentingan politik.
Di sisi lain, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tetap teguh bahwa mereka bagian dari NU. Mantan Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj dalam sejumlah forum selalu mengulang bahwa NU dan PKB adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Menurutnya, PKB adalah hasil ijtihad ulama saat menghadapi era reformasi yang dicengkeram oleh Presiden Soeharto.
"PKB adalah NU, NU adalah PKB. Harus selalu kita dengungkan itu,” kata Said Aqil sebagaimana video yang diunggah Instagram resmi PKB.
Pernyataan Said Aqil diamini oleh kader dan simpatisan PKB. Setiap acara formal dan non-formal mereka selalu menggunakan atribut NU. Terakhir, mars perayaan satu abad NU yang liriknya ditulis oleh KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gusmus digunakan sebagai penghantar Sarasehan Nasional Satu Abad NU yang digelar oleh PKB.
Hal itu menimbulkan rasa kecewa bagi PBNU karena mars mereka dianggap menjadi alat politik praktis. Ketua Bidang Keorganisasian PBNU, Ishfah Abidal Aziz menegaskan, mars tersebut memiliki makna keberkahan bagi warga NU, namun digunakan sebaliknya oleh PKB untuk kepentingan politik.
“Yang jelas kami kecewa kalau kemudian mars 1 abad NU yang didedikasikan untuk keberkahan bagi warga Nahdlatul Ulama malah digunakan untuk kepentingan politik praktis," ungkapnya.
Hingga saat ini kedua belah pihak, baik PKB maupun PBNU tetap kukuh dengan pendirian masing-masing. PBNU tetap teguh dengan pendirian bebas dari afiliasi politik, sedangkan PKB merasa mereka bagian lekat yang terpisahkan dari NU.
Warga NU Bebas Memilih, Capres Bebas Mendekat
Kebebasan yang diberikan Gus Yahya kepada warga NU untuk bebas memilih afiliasi politik menguntungkan sejumlah kandidat untuk melakukan pendekatan. Sebut saja Menteri BUMN, Erick Thohir yang menjadi anggota kehormatan Barisan Serbaguna (Banser) sehingga memiliki privilese untuk mengikuti setiap kegiatan bersama PBNU.
Dalam sejumlah agenda, Erick kerap didapuk sebagai pembuka acara mewakili pemerintah. Seperti pembukaan Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) bersama Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Keduanya mengumbar kemesraan dan saling memuji prestasi dalam acara yang menggunakan nama besar NU di Kota Solo.
“Indonesia terangkat karena Asian Games yang sukses luar biasa," kata Ganjar dalam sambutannya di Gedung Olahraga (GOR) Sritex Arena di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Senin (16/1/2023) malam.
Selain itu, ada Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil yang disebut kerap memberikan bantuan kepada warga NU Jawa Barat hingga mencapai angka Rp1 triliun. Akibat pernyataan Ridwan Kamil tersebut, dia dipanggil oleh Pengurus Wilayah NU (PWNU) Jawa Barat untuk dimintai klarifikasi.
Walaupun ada banyak bakal capres yang berusaha mendekati NU, namun tetap hanya tiga nama yang unggul di kalangan NU, yaitu: Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan. Ketiga nama itu tidak hanya unggul di kalangan NU, tapi juga merata di lingkungan masyarakat lain dengan aneka latar belakang.
Survei Harian Kompas pada Oktober 2022 menyebut, Ganjar Pranowo mendulang 23,8 persen, Prabowo Subianto 18,5 persen, dan Anies Baswedan 15,1 persen dari pilihan responden NU. Dari ketiga nama tersebut, Anies yang banyak mengalami peningkatan paling signifikan selama 2022. Dia berhasil mendongkrak dari 11,5 persen di Juni 2022.
Peningkatan suara itu ditengarai akibat perpindahan pemilih dari Prabowo menuju Anies. Terlebih Anies sudah dideklarasi resmi oleh Partai Nasdem dan baru-baru ini saja mendapat tiket menuju pilpres setelah Demokrat dan PKS ikut memberi dukungan resmi kepada eks gubernur DKI itu.
Keberagaman suara pemilih NU sejatinya bukan hal baru dalam proses pemilu di Indonesia. Karena dalam sejarahnya, NU sempat memiliki sejumlah capres dan cawapres, seperti KH Hasyim Muzadi, Jusuf Kalla, Sholahudin Wahid atau Gus Solah hingga Hamzah Haz di Pemilu 2004. Walaupun pada Pemilu 2019, keberagaman itu hilang, karena suara NU terkooptasi pada pilihan Ma'ruf Amin sebagai cawapres dari Joko Widodo.
Merawat Persatuan NU, Meski Berbeda Pilihan Politik
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin memprediksi, fenomena politik Pemilu 2004 akan terulang kembali di 2024. Capres atau cawapres dari NU akan muncul lebih dari satu. Akibatnya, suara NU berpotensi terpecah karena beragamnya suara.
“Jadi sebenarnya karena jumlah anggotanya banyak dan saat ini dicari oleh para capres. Tapi dalam konteks pertarungan politik belum tentu menang," kata Ujang.
Sementara itu, Peneliti Pusat Riset Politik - Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP-BRIN), Wasisto Raharjo mengungkap, perpecahan di tubuh NU dapat diantisipasi meski suara pemilih NU beragam. Salah satu syaratnya adalah warga NU harus menghindari politik uang yang bersifat transaksional sehingga menimbulkan perpecahan.
“Absennya ideologi dalam diskusi ruang publik mendorong masyarakat untuk melihat politik secara jangka pendek daripada jangka panjang," kata Wasisto.
Wasisto meminta Gus Yahya selaku Ketua Umum PBNU untuk memberikan fatwa tegas terkait afiliasi politik NU. Sehingga politik praktis di tubuh NU dapat dihindari. Mengingat NU akan selalu menarik di setiap tahun pemilu, dan capres akan selalu melegitimasi diri masuk bagian dalam ormas tersebut.
“Saya pikir pentingnya adanya semacam fatwa dari Gus Yahya agar mempertegas kembali sikap NU secara organisasi agar tidak terseret politik praktis," jelasnya.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz