tirto.id - Pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres) 2024 berpotensi mempertemukan dua kubu antara Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo. Hal ini tercermin dalam temuan survei Saiful Mujani and Research Consulting (SMRC) yang dipaparkan pada Kamis (2/2/2022).
Walaupun Ganjar belum mendapat restu dari Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, tapi namanya selalu ada dalam jajaran tertinggi survei. Sedangkan Anies baru saja mendapat golden ticket setelah PKS mendeklarasikan paling akhir dalam Koalisi Perubahan yang digawangi Nasdem, Demokrat, dan PKS.
Saiful Mujani selaku pendiri SMRC menyebut, potensi duel Anies dan Ganjar semakin mengerucut karena dalam satu setengah tahun terakhir sejak 2021-2022, kedua nama itu selalu berada di peringkat atas meninggalkan Prabowo Subianto, pemain lama yang tiga kali gagal dalam kontestasi pilpres.
Data SMRC menunjukkan, Prabowo cenderung menurun. Dari 34,1 persen pada survei Mei 2021 menjadi 26,1 persen di Desember 2022. Sementara Ganjar cenderung naik dari 25,5 persen menjadi 33,7 persen di periode yang sama. Anies juga cenderung naik walaupun tidak sekuat Ganjar, dari 23,5 persen menjadi 28,1 persen.
“Jadi, kalau melihat tren ini, maka Anies kemungkinan akan berhadapan dengan Ganjar di putaran kedua. Ini seperti pilpres pertama kita 2004. Calonnya lebih dari dua, sehingga terjadi dua putaran,” kata Saiful Mujani.
Potensi dua pasang calon menjadi pertanda bahaya bagi alam demokrasi Indonesia. Karena keduanya dipercaya mewakili dua kutub yang berbeda dan rawan menimbulkan perpecahan.
Hal itu mengingat dua kali pemilu yaitu 2014 dan 2019 hanya diikuti dua pasang calon. Keduanya berakhir meninggalkan residu perpecahan. Di antaranya adalah julukan “Cebong” bagi pendukung Joko Widodo dan “Kampret” bagi pendukung Prabowo Subianto.
Pertarungan Anies lawan Ganjar apabila hanya menyisakan mereka berdua, maka yang menjadi isu apakah warisan kebijakan Jokowi saat ini tetap berlanjut atau terhenti. Data yang dirilis Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menjadi perwakilan dari dua kutub itu.
Pendiri LSI, Denny JA menyebut, responden yang puas atas kinerja Jokowi dan menjadi pendukung Ganjar sebesar 38,2 persen, Prabowo 21,3 persen, dan Anies Baswedan 10,6 persen. Bila menilik jumlah suara itu, Ganjar menjadi representasi bagi Jokowi di Pilpres 2024.
"Sebaliknya, yang tak puas atas kinerja Jokowi, di segmen ini, pendukung Ganjar Pranowo hanya 7,4 persen, Prabowo 21 persen, tapi pendukung Anies Baswedan melonjak hingga 40,1 persen," kata Denny.
Dari hasil survei menunjukkan, Ganjar yang paling banyak mendapat suara pendukung Jokowi. Hal itu menanjak tajam bila dibandingkan pada Juni 2022 hanya 27,4 persen pendukung Jokowi yang mendukung Ganjar.
"Tapi pendukung Jokowi yang terserap Ganjar berikutnya naik menjadi 32 persen (September 2022). Bahkan di Januari 2023 naik lagi menjadi 38,2 persen," ungkapnya.
Polarisasi dan Bagaimana Partai Harus Bersikap?
Pilpres 2024 memunculkan sejumlah skenario dari dua capres hingga 4 capres. Jika ada 4 koalisi pilpres, maka PDI Perjuangan maju sendiri dengan Ganjar atau Puan, Golkar bersama PPP dan PAN dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dengan Airlangga Hartarto, Gerindra berkoalisi dengan PKB (Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya) dengan Prabowo Subianto, sementara Nasdem, Demokrat, dan PKS membentuk Koalisi Perubahan dengan Anies Baswedan.
Namun dari simulasi SMRC, tidak ada nama yang mendapatkan dukungan dominan. Bahkan tidak ada yang sampai 40 persen. Padahal untuk menang itu harus 50 persen lebih. Apabila skenario itu diterapkan, maka tak dipungkiri putaran kedua akan terjadi.
Melihat hal itu, dua pasang calon bukan pemicu utama atas polarisasi. Menurut politikus PDIP, Deddy Yevri Sitorus, kunci menghindari polarisasi ada di tangan elite politik. Oleh karenanya, elite politik harus pintar meredam amarah pendukungnya yang mudah tersulut apabila melihat perbedaan.
"Kita berharap di atas di tingkat elite itu memberikan pemahaman ke bawah sehingga tidak membuat keterbelahan," kata Deddy.
Di sisi lain, Partai Nasdem sebagai pengusung Anies Baswedan melakukan sejumlah cara untuk menghindari polarisasi. Terlebih sejak deklarasi bakal capres Anies Baswedan, partai itu kerap dijuluki sebagai antitesa Jokowi hingga dirundung dengan isu reshuffle.
Salah satu caranya adalah dengan mewacanakan Khofifah Indar Parawansa sebagai bakal calon wakil presiden mendampingi Anies Baswedan. Latar belakang Khofifah di ormas Nahdlatul Ulama dan jabatannya sebagai Gubernur Jawa Timur diyakini dapat menghilangkan jejak konservatisme yang dianggap melekat pada Anies sejak Pilkada DKI Jakarta 2017.
Selain itu, Nasdem juga berupaya menemui Megawati. Sebelumnya mereka mengunjungi Sekretariat Bersama PKB-Gerindra dan Kantor DPP Partai Golkar.
“Kepada siapa pun kami harus bertemu. Karena sistem politik di Indonesia dengan kulturnya yang gotong royong kita harus banyak bertemu. Begitulah kalau kita mengutip Soekarno," kata Ketua DPP Partai Nasdem, Sugeng Suparwoto.
Peneliti Pusat Riset Politik - Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP-BRIN), Wasisto Raharjo Jati meminta masing-masing pasang calon bersikap lebih terbuka dan tidak hanya menghimpun kekuatan politik dari satu kubu ideologi saja.
Menurut Wasisto, semakin plural suatu kelompok pendukung, maka akan semakin aman dari isu perpecahan. Potensi itu terjadi kalau politisasi identitas kembali dinarasikan misalnya nasionalis melawan religius.
"Masyarakat pemilih perlu bersikap rasional bilamana identitas itu digunakan mengingat kembali dampaknya di ruang publik dan komposisi pendukung setiap capres perlu lebih pluralis tidak hanya satu warna politik saja," jelas Wasisto.
Apabila skenario dua pasang calon itu benar terjadi, maka Wasisto meminta kepada setiap elite politik untuk menerima dengan lapang dada. Penerimaan itu bukan hanya sekadar ikrar dalam bentuk lisan, tapi harus dalam bentuk perbuatan. Wasisto menyebut di pilpres sebelumnya, narasi perpecahan selalu timbul dari perkataan para elite politik.
“Saya pikir itu sangat tergantung bagaimana calon yang kalah juga harus siap lapang dada dan tidak menebar konspirasi tertentu atas pemilu," ungkapnya.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz