tirto.id - Penentuan bakal calon wakil presiden (cawapres) pendamping Anies Baswedan kian buntu. Koalisi Perubahan yang terdiri atas Partai Nasdem, PKS, dan Partai Demokrat memiliki pendapat masing-masing soal nama pendamping Anies.
Demokrat kukuh mendukung ketua umum mereka, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), sementara PKS memiliki opsi mantan Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan atau Aher. Sedangkan Nasdem nampak lebih fleksibel: siapapun bisa maju asal mampu mendongkrak suara Anies Baswedan.
Terbaru, Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP Partai Nasdem, Effendi Choirie atau yang akrab dipanggil Gus Choi membuka peluang sejumlah nama untuk menjadi pendamping Anies Baswedan. Mereka yang disebut Gus Choi, antara lain: Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, putri Gus Dur Yenny Wahid, Sekjen PBNU Saifullah Yusuf hingga Wakil Gubernur Jawa Tengah Taj Yasin Maimoen.
Alasan Gus Choi menyebut nama-nama tersebut karena latar belakang mereka yang ada di bawah naungan ormas keagamaan terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU). Mereka yang bukan berlatar belakang partai politik dianggap Gus Choi memiliki sikap netral soal pandangan politik.
“Nah kader-kader NU itu ya, yang masih netral, belum berpolitik praktis. Kalau Cak Imin [Muhaimin Iskandar] kan, sudah ke Prabowo,” kata Gus Choi.
Selain mengusulkan nama orang-orang dengan latar belakang yang sama dengannya, Gus Choi juga menyebut nama Ilham Habibie untuk bakal cawapres Anies Baswedan. Alasannya, figur Ilham mampu mendongkrak suara Anies karena latar belakang putra BJ Habibie tersebut sebagai teknokrat.
“Intelektual luar biasa itu, teknokrat, kan. Itu menurut saya perlu diwacanakan ke publik. Nanti bagaimana respons publik,” ujarnya.
Hal senada disampaikan oleh Ketua DPP Partai Nasdem, Willy Aditya. Ia meminta partai pendukung Anies Baswedan untuk melakukan “kawin paksa.” Dalam artian memaksakan kehendak perihal keputusan nama cawapres untuk Anies Baswedan.
“Yang terpenting adalah kapasitas cawapres bisa mensolidkan partai pengusung. Tentu rasionalitas dalam berpolitik itu play to win (bermain untuk meraih kemenangan)," ujarnya.
Koalisi Perubahan Belum Satu Suara
Nasdem yang menghendaki kebebasan dalam penentuan cawapres ditanggapi beragam oleh Demokrat dan PKS. AHY masih berupaya menempatkan diri untuk menjadi pendamping Anies Baswedan. Menurutnya, langkah yang dilakukan sudah menunjukkan progres.
Di antara yang ditunjukkan AHY adalah hasil survei, bahwasanya perolehan elektabilitas Demokrat mengalami peningkatan. Dalam survei Magna Charta Politika misal, Demokrat berada di posisi kedua setelah PDIP dengan perolehan 14,3 persen. Survei yang dilakukan pada 3 hingga 10 Januari 2023 tersebut juga menempatkan AHY sebesar 11,9 persen sebagai bakal capres.
AHY dalam pidato politiknya pada Kamis (12/1/2023) menekankan usaha sebelum tenggat waktu pendaftaran capres dan cawapres akan terus dilakukan. Menurut dia, kesempatan menjadi cawapres bukan menggunakan preferensi pribadi, namun objektifitas yang terus terukur sesuai dengan kinerja dan pengalaman.
“Bahwa kami hari ini terus mencari pasangan yang terbaik untuk kans kemenangan. Tidak boleh berdasarkan like or dislike. Nggak boleh asal suka atau tidak suka, dan preferensi itu sangat subjektif,” kata putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY tersebut.
AHY juga membantah bahwa hasratnya untuk menjadi bakal cawapres dilakukan dengan penuh paksaan. Dia juga menyadari pengambilan keputusan dalam politik penuh dengan misteri, besar kemungkinan terjadi perubahan antara hari ini dan hari esok.
“Saya senang progresnya nyata on the track, walaupun kita tahu politik adalah sesuatu yang penuh dengan misteri, koalisi juga begitu, kita terus berikhtiar, dinamis itu sudah pasti," ungkapnya.
Tidak seperti Demokrat yang ngotot mengajukan nama AHY untuk menjadi cawapres mendampingi Anies, PKS nampak lebih terbuka dengan sejumlah opsi, termasuk dengan apa yang diusulkan oleh Gus Choi. Walaupun PKS juga mengajukan kadernya Aher agar bisa bersanding dengan Anies di Pemilu 2024.
Juru bicara sekaligus Ketua DPP PKS, Ahmad Mabruri mengungkapkan, opsi cawapres non-partai bisa diterima dengan syarat diputuskan secara bersama oleh tim gabungan Nasdem, PKS, dan Demokrat atau akrab disebut dengan tim kecil.
Mabruri menambahkan, pembicaraan mengenai pembentukan Koalisi Perubahan sudah semakin matang. Tim kecil yang bertugas untuk merumuskan platform dan membahas pasangan capres dan cawapres kian intens berdialog.
“Bagus itu cawapres dari kalangan non-partai. Akan semakin dinamis dan pilihan. Yang penting disampaikan ke tim yang sudah dibentuk. Agar bisa dipertimbangkan," kata Mabruri saat dihubungi reporter Tirto pada Senin (16/1/2023).
Meskipun Aher menjadi pilihan utama, kata dia, PKS tetap bersikap realistis. Harapan menang di Pemilu 2024 tetap menjadi prioritas dibandingkan memaksa nama cawapres dan belum tentu sesuai harapan.
“Babnya bukan masalah legawa atau tidak. Dalam politik realita di lapangan mesti kita pertimbangkan jika ingin menang,” kata Mabrur.
Tarik Ulur Posisi Cawapres, Koalisi Perubahan Terancam Bubar
Tarik ulur nama cawapres pendamping Anies, membuat Koalisi Perubahan terancam bubar di tengah jalan. Wakil Ketua Umum DPP Partai Nasdem, Ahmad Ali mengungkapkan, proses koalisi terancam bubar bila masing-masing partai saling memaksakan nama cawapres pendamping Anies.
“Yang mau ditegaskan kalau kemudian ada partai yang memaksakan keinginannya untuk memaksakan kadernya untuk menjadi syarat berkoalisi, saya pastikan koalisi bubar," kata Ahmad Ali.
Ahmad Ali beralasan, koalisi terancam bubar karena memilih cawapres dari kalangan kader partai politik bagi Nasdem seperti memakan buah simalakama. Apabila memilih PKS, Demokrat tak setuju dan begitu sebaliknya, bilamana Nasdem memilih Demokrat, PKS juga tak setuju.
“Kalau kami misal Nasdem meletakkan sosok, lalu gimana PKS dan Demokrat, begitu sebaliknya artinya koalisi tidak setara lagi," terangnya.
Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago sepakat dengan pernyataan Ahmad Ali. Ia sebut, koalisi perubahan terancam bubar jalan karena soal nama cawapres yang tak kunjung diputuskan.
Di sisi lain, apabila Nasdem menghendaki nama cawapres dari luar partai politik akan membuat kader partai lain kehilangan semangat dalam mengawal koalisi. Bahkan bisa berbalik arah dan bergabung dengan koalisi lainnya.
“Kalau kita lihat koalisi perubahan itu lebih mendorong kader terbaik untuk menjadi capres, bukan menguatkan dari segi kelembagaan dengan mendorong kader partai untuk maju sebagai capres," jelasnya.
Arifki menjelaskan bahwa pemilihan nama cawapres bukan hanya soal penguatan konsolidasi koalisi, namun juga realitas memenuhi target kemenangan di Pemilu 2024.
“Nasdem tentu menyadari bahwa nama cawapres bukan hanya soal soliditas antar partai di koalisi perubahan, tapi juga menjadi kunci kemenangan di Pemilu 2024," terangnya.
Sebagai bentuk jalan tengah agar friksi di internal koalisi perubahan segera mereda, Peneliti Pusat Riset Politik - Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP-BRIN), Wasisto Raharjo Jati menyarankan untuk dilaksanakan konvensi. Hal itu sebagai jalan tengah dalam memilih cawapres dengan keterlibatan publik.
“Saya pikir keputusan soal nominasi cawapres ini jangan sepihak diputuskan oleh salah satu parpol. Jalan tengahnya mungkin mengadakan konvensi yang itu melibatkan orang parpol dan publik," terangnya.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz