tirto.id - Potensi terbentuknya koalisi Partai Nasdem, PKS dan Demokrat semakin terlihat. Selain gestur politik yang ditunjukkan dalam kunjungan ke Kantor Nasdem, ketiga parpol juga solid dalam memberikan pernyataan ke media. Narasi ketiga partai sama, yaitu tetap membuka komunikasi dengan partai lain, tapi memiliki hubungan spesial dalam lingkaran tiga partai.
PKS dan Demokrat juga menjadi dua parpol yang gerak cepat mengunjungi kantor DPP Nasdem di Gondangdia, Jakarta Pusat usai Rakernas Partai Nasdem merekomendasi tiga nama sebagai bakal capres. Mereka adalah Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan; Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo; dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Belakangan, nama Anies menguat.
Karena ketiga parpol pernah bertemu di Kantor DPP Nasdem di Gondangdia, maka publik menyebut sebagai poros Gondangdia. Koalisi ini dinilai berpotensi menjadi pesaing kuat poros Teuku Umar, yaitu rumah Megawati Soekarnoputri, tempat Joko Widodo didaulat jadi capres pada dua pemilu sebelumnya. Pada Pilpres 2024, PDIP bisa maju sendiri dan hingga saat ini belum menentukan mitra koalisi.
Selain dua poros di atas, saat ini ada dua poros lain yang juga instens melakukan komunikasi politik. Pertama adalah Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang diinisiasi tiga parpol koalisi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, yaitu Partai Golkar, PPP, dan PAN. Kedua, ada Partai Gerindra dan PKB yang juga makin “mesra” bahkan berencana mendeklarasikan kerja sama dalam waktu dekat ini.
Respons Nasdem, PKS, dan Demokrat
Ketua DPP Partai Nasdem, Willy Aditya menyampaikan, partainya masih ingin membuka komunikasi dengan banyak parpol, tidak hanya dengan PKS dan Demokrat. Namun ia tidak menampik soal hubungan istimewa partainya dengan PKS dan Demokrat.
“Mesra dengan semuanya, silakan teman-teman lihat saja. Dengan semua partai, Nasdem terbuka dan berkomunikasi. Bahwasanya yang terakhir itu dengan PKS dan Demokrat," kata Willy di Gedung DPR pada Selasa (26/7/2022).
Walaupun hubungan dengan PKS dan Demokrat adalah paling dekat, namun pihaknya belum memutuskan tingkat kesepahaman antar partai. Nasdem juga masih membuka kemungkinan untuk kerja sama dengan partai lainnya.
“Tapi dengan partai lain tidak kalah mesra, semuanya happy. Karena kami bangun komunikasi belum sampai tingkat kesepahaman. Karena saat ini baru proses dan belum sampai tingkat kesepakatan, belum ada detail yang baru dalam proses penjajakan," jelasnya.
Willy menambahkan, “Oleh karenanya saling bangun kesepahaman itu yang sedang dilakukan dan ke semua partai, bukan hanya ke PKS dan Demokrat.”
Kedekatan dengan dua partai di luar pemerintah tidak membuat Nasdem menjadi keluar dari koalisi Presiden Joko Widodo. Willy meyakinkan bahwa mereka masih tegak lurus dengan pemerintahan Kabinet Indonesia Maju hingga akhir.
“Kami termasuk Pak Surya Paloh masih tegak lurus dan mendukung kinerja pemerintah Pak Jokowi dan Kiai Ma'ruf Amin. Kami juga tidak memiliki handicap dengan partai manapun,"ucapnya.
Senada dengan ucapan Willy, PKS melalui juru bicaranya Muhammad Kholid juga mengungkapkan ada hubungan kedekatan dengan Nasdem dan Demokrat. PKS juga masih hati-hati dan tidak ingin menunjukkan harapan yang berlebihan. Karena khawatir koalisi yang mereka susun dengan Nasdem dan Demokrat kandas di tengah jalan.
“Kami tetap komunikasi intensif dengan Demokrat dan PKS. Dan kami saat ini, kami komunikasi dengan Nasdem dan Demokrat lebih maju daripada komunikasi dengan partai lain," kata Kholid.
Kholid menambahkan, “Kami tetap masih komunikasi, PKS ini ibarat mencari jodoh sedang ada di fase taaruf atau penjajakan. Dan masih membuka komunikasi dengan yang lain baik Golkar atau KIB," jelasnya.
Soal keputusan akhir, kata dia, PKS menyerahkan sepenuhnya ke Majelis Syuro yang saat ini diketuai oleh Salim Segaf Al Jufri.
“Kalau ditanya koalisi ke mana? Itu ada di kewenangan majelis syuro dan DPP akan melaporkan hasil komunikasi politik dengan majelis syuro. Nanti majelis syuro yang akan menentukan berkoalisi dengan siapa dan politik PKS akan diserahkan pada majelis syuro," terangnya.
Sedikit berbeda dengan Nasdem dan PKS yang nampak masih malu-malu untuk menyebut soal kepastian koalisi. Demokrat memberikan narasi lebih meyakinkan bahkan merasa percaya diri untuk mengusung ketua umum mereka, Agus Harimurti Yudhoyono menjadi kandidat cawapres mendampingi Anies Baswedan yang masuk dalam kandidat capres Nasdem dan salah satu calon potensial PKS.
“Sejauh ini, kami merasa nyaman dengan Partai Nasdem dan PKS, memiliki komunikasi yang baik dengan saudara Anies Baswedan, dan ada kesamaan pandangan dalam berbagai hal," kata Koordinator Juru Bicara DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra.
“Terkait dengan wacana duet Anies-AHY, kami juga akan melaksanakan survei secara internal dan terus mencermati hasil berbagai lembaga survei lainnya, termasuk yang menempatkan duet Anies-AHY sebagai pasangan capres-cawapres yang memiliki elektabilitas tertinggi dan berpotensi memenangkan Pilpres 2024," ungkapnya.
Poros Gondangdia Dinilai Antitesis Koalisi di Istana
Koalisi antara Nasdem, PKS dan Demokrat berpotensi menjadi warna baru bagi kancah perpolitikan di Indonesia. Kombinasi antara satu partai dalam kubu pemerintah dan dua partai oposisi bisa menjadi koalisi dengan komposisi yang berpotensi unggul, walaupun belum ada nama bakal capres yang disodorkan.
Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (MAKPI) Riant Nugroho menilai, ketiga partai ini bisa menjadi antitesis bagi koalisi yang saat ini ada, dan cenderung dekat dengan pemerintahan saat ini.
“Kalau kita lihat saat ini, Nasdem berusaha membentuk poros baru dengan menggandeng PKS dan Demokrat. Hal itu menjadi salah satu bukti kegagalan dari PDIP yang tidak bisa menggandeng partai yang sebelumnya berkoalisi," kata Riant dalam konferensi pers di Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (27/7/2022).
“PDIP masih terlalu sombong dan tidak mau merangkul partai lain. Sehingga koalisi-koalisi baru bisa terbentuk dan menjadi lawannya di 2024. Padahal Ibu Megawati sudah menyebutkan partai tidak boleh jumawa, namun yang terjadi di level operasional semuanya terlihat jumawa," imbuhnya.
Selain itu, Riant menilai masing-masing partai yang ada dalam 'Koalisi Gondangdia' memiliki kekuatan. Sehingga tidak hanya mengandalkan Nasdem, sebab PKS dan Demokrat memiliki suara yang lumayan tinggi dari hasil Pemilu 2019.
“Kalau Nasdem dikenal punya media sendiri dan juga kas partai yang cukup melimpah. Namun perlu diketahui, PKS dan Demokrat juga memiliki kader yang cukup kuat dan militan," jelasnya.
Riant mengingatkan bahwa Nasdem yang selama ini terlihat aktif mengajak dua partai untuk berkoalisi disebut tidak bisa menjadi matahari baru dalam koalisi. Oleh karenanya ketiga partai saling melengkapi dengan kekurangan dan kelebihan.
“Kalau kita lihat Nasdem baru bersinar dalam satu dekade terakhir, sehingga nampak masih terlalu baru dan dari segi kader masih belum terlalu matang. Hal ini berbeda dengan PKS yang tidak hanya militan bahkan juga memiliki fanatisme tinggi pada partai. Demokrat juga sama, partai ini sengaja didesain bersifat kaderisasi oleh SBY, sehingga cukup kuat secara organisasi," terangnya.
Riant juga membandingkan dengan dua partai besar, yaitu PDIP dan Golkar. Keduanya hingga saat ini masih belum bisa ditebak dan cenderung akan menentukan sikap mendekati batas waktu pendaftaran capres.
“Kedua partai besar ini memiliki sifat cenderung mengumumkan calon di masa last minute. Bahkan walau Golkar sudah ada di KIB, namun pergerakannya masih belum bisa ditebak. Hal itu bisa menjadi celah bagi koalisi Nasdem, Demokrat dan PKS," ungkapnya.
Namun dirinya mengingatkan proses perjodohan partai politik rawan bubar di tengah jalan. Walaupun sudah ada bukti secara tertulis yang ditandatangani oleh ketiga partai.
“Kesepakatan politik walaupun sudah ada hitam di atas putih, masih rawan untuk bubar, sehingga harus hati-hati dalam membentuk koalisi,” kata dia.
Di sisi lain, bila koalisi ini solid hingga pelaksanaan Pemilu 2024 tanpa ada perpecahan di tengah jalan, maka besar kemungkinan untuk memenangkan capres yang mereka usung. Mengalahkan partai besar seperti PDIP, Gerindra dan Golkar.
“Belajar dari Pilpres 2004 saat Pak SBY maju menjadi presiden karena mau berkoalisi dengan partai-partai lain walaupun suaranya kecil. Berbeda dengan PDIP yang memiliki suara besar, tapi maju sendiri,” kata dia.
Sementara itu, politikus PDIP, Masinton Pasaribu mengatakan, Nasdem yang ada dalam pemerintah Jokowi-Ma’ruf masih harus berjalan beriringan dan mengikuti koalisi yang sudah disepakati di awal. Tidak membentuk koalisi dengan partai yang ada di luar Istana.
“Secara etis, kan, begitu ya. Kan, masih dalam koalisi pemerintahan, tapi namanya strategi politik dari partai lain, ya kita bisa apa? Karena strategi untuk menghadapi Pemilu 2024 bisa berbeda-beda,” kata Masinton.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz