tirto.id - Tim gabungan Polda Jawa Tengah dan Kodam IV Diponegoro bekerja sama mengungkap penembakan Rina Wulandari, istri dari Kopral Dua Muslimin, yang ditembak di depan rumahnya Jalan Cemara III, Banyumanik, Kota Semarang, Jateng, Senin, 18 Juli 2022. Rina didor dua kali oleh si eksekutor, sekira pukul 12 siang, usai menjemput anaknya dari sekolah.
Kelar beraksi, empat pelaku angkat kaki. Satu peluru bersarang di perut korban, dia pun segera dilarikan ke rumah sakit. Kopda Muslimin sempat menemani sang istri di rumah sakit, tapi hingga sekarang keberadaannya tidak diketahui --padahal ketika penembakan terjadi, Kopda Muslimin yang sehari-hari berdinas sebagai anggota Arhanud-15 Kodam IV Diponegoro itu ada di dalam kediamannya, bahkan dia menginstruksikan tembakan kedua kepada istrinya--.
Berdasar penyelidikan dan penyidikan, tim gabungan menduga Kopda Muslimin merupakan otak peristiwa penembakan tersebut. Sekira empat hari pengusutan perkara, aparat berhasil meringkus para pelaku, kecuali Kopda Muslimin yang kini menjadi buron.
Motif empat pelaku lapangan dan satu penyedia senjata api rakitan kaliber 9 milimeter yakni memperoleh upah, sedangkan motif Kopda Muslimin menjadi dalang insiden penembakan karena ia memiliki kekasih lain dan ingin berpisah dengan istrinya.
Kopda Muslimin mengupah mereka Rp120 juta. Ia bayar di depan minimarket yang berjarak 300 meter dari rumah sakit. Peristiwa di Banyumanik ini selang 10 hari dari baku tembak Bharada E dan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J yang terjadi di rumah dinas Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo, di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Hingga kini tim gabungan internal Polri yang terdiri dari Wakapolri Komjen Pol Gatot Eddy Pramono, beranggotakan Irwasum Komjen Pol Agung Budi Maryoto, Kabareskrim Pol Komjen Agus Andrianto, Kabaintelkam Komjen Pol Ahmad Dofiri, Asisten SDM Polri Irjen Pol Wahyu Widada, belum mengungkap siapa penembak mati Brigadir J. Bahkan Kapolri juga sudah berkoordinasi dengan pengawas eksternal seperti Kompolnas dan Komnas HAM untuk ikut serta dalam penanganan perkara.
Asumsi publik perihal dua penembakan ini mencuat. Soal kasus penembakan Rina misal, publik menilai wajar para pelaku cepat dibekuk karena otak peristiwa ialah seorang Kopral Dua; berbeda dengan baku tembak di rumah dinas polisi, yang publik nilai ada keterlibatan jenderal Bhayangkara dalam kematian ajudannya. Secara tak langsung masyarakat menyorot perbedaan pangkat dan percepatan penanganan kasus tindak pidana.
Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi berpendapat, sebenarnya publik tidak bisa membandingkan tingkat kesulitan satu kasus dengan kasus lain. Namun jangan lupa, pengusutan kedua kasus ini, baik penembakan istri anggota TNI maupun kasus Brigadir Yosua, sama-sama dilakukan oleh kepolisian.
“Artinya, selama tempat kejadian perkara tidak rusak sehingga bisa dilakukan olah tempat kejadian perkara dengan cermat, tersedia alat bukti dan keterangan saksi, sebuah kasus kejahatan sebenarnya akan sederhana dan relatif mudah pengungkapannya. Yang membedakan kemudian adalah iktikad baik dan profesionalisme,” kata Fahmi saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (26/7/2022).
Dalam kasus di Semarang, Fahmi mengira polisi tidak punya beban, apalagi pihak TNI AD juga memberikan dorongan dan dukungan penuh untuk pengusutannya. Di sisi lain, dalam kasus Brigadir Yosua, korban, terduga pelaku, saksi-saksi maupun lokasi ditemukannya jenazah korban juga berkaitan dengan institusi kepolisian sendiri. Ditambah dengan berbagai rumor dan opini yang mengekor, kasus ini tak lagi sederhana.
Kebebasan yang Tak Memihak
Fahmi menyatakan ini bukan isu independensi, melainkan isu integritas dan profesionalisme. Upaya penindakan atas perbuatan melawan hukum tidak boleh pandang bulu. Sanksi pidana juga sudah jelas diatur bagi siapa pun yang menghalang-halangi, menghilangkan bukti dan memberi keterangan palsu.
Maka penyidik kepolisian dan tentara harus betul-betul profesional menangani perkara tersebut. Ihwal asumsi publik, Fahmi menegaskan, tentu saja tidak boleh bicara atas dasar asumsi dan prasangka. Namun masyarakat dapat menyoroti bahwa setidaknya dalam masa kepemimpinan Panglima TNI Jenderal Andika ini, ada komitmen penegakan hukum yang secara serius dibangun dan ditunjukkan pada publik. Misalnya dalam kasus kecelakaan di Nagrek yang melibatkan pamen senior.
Komitmen yang kurang lebih serupa juga sebelumnya telah ditunjukkan oleh Polri. Contohnya dalam kasus Irjen Pol Napoleon. Bahkan jika ditarik mundur, sejumlah kasus yang melibatkan perwira tinggi Polri di masa lalu juga berjalan dengan cepat dan lancar.
“Kalau maksudnya adalah menyimpulkan kualitas penegakan hukum di lingkungan TNI maupun Polri, saya kira variabelnya banyak. Bahkan tak bisa hanya dengan melihat keseluruhan penyelesaian perkara. Apalagi TNI juga tidak berada di bawah sistem peradilan umum sebagaimana Polri,” terang Fahmi.
Sementara itu, peneliti bidang hukum di The Indonesian Institute, Hemi Lavour Febrinandez mengatakan, dua kasus tersebut berada pada ruang yang berbeda, meskipun sama-sama merupakan upaya penegakan hukum. Pada proses penegakan hukum pidana itu dibutuhkan alat bukti yang cukup termasuk dengan adanya keterangan saksi untuk menerangkan sebuah peristiwa terjadi.
Apalagi dari awal dalam kasus penembakan istri TNI, polisi telah mengantongi kendaraan yang digunakan oleh terduga pelaku untuk melancarkan aksinya; sedangkan permasalahan dalam pengusutan kasus Brigadir Yosua adalah terlalu banyak informasi yang masih simpang siur sehingga masih memunculkan banyak praduga bagi masyarakat maupun penyidik itu sendiri.
“Saat ini sebenarnya publik hanya perlu untuk menunggu dan melihat penegak hukum bekerja,” tutur Hemi kepada reporter Tirto.
Sebenarnya perkembangan kasus yang masih berada dalam tahap penyelidikan hingga penyidikan, publik mendapatkan informasi dari konferensi pers yang disampaikan kepolisian. Polisi pun dapat lebih intens menginformasikan perkembangan lantaran dua kasus ini menjadi perhatian publik, apalagi Presiden Joko Widodo sudah meminta agar pengusutan kasus Brigadir Yosua dilakukan secara transparan.
Perihal independensi pengusutan perkara, Hemi berkata “paling penting agar tidak terdapat intervensi baik dari internal maupun eksternal, masyarakat juga perlu untuk terus mengawal kasus ini agar dapat memberikan keadilan bagi semua pihak terutama kepada keluarga korban.”
Namun Hemi mengingatkan bahwa asumsi publik soal pangkat dan kecepatan penyelesaian kasus, dua faktor itu tidak bisa beranda-andai. “Karena idealnya penegakkan hukum tidak boleh melihat jabatan para pihak yang diduga terlibat.”
Temuan Komnas HAM
Kepada reporter Tirto, eks Kepala Badan Intelijen Strategis, Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto berkata, mengapa kasus Kopda Muslimin bisa cepat diungkap: “Karena tidak ada yang ditutupi. Kalau tidak ada yang ditutupi, ya, cepat.”
Alumnus Akademi Angkatan Laut tahun 1978 itu menegaskan pangkat seseorang tidak berpengaruh dengan pengusutan perkara, sebab dugaan pembunuhan harus diproses hukum. Semua sama di mata hukum, namun yang tepenting adalah kemauan dan kejujuran dalam perampungan perkara.
Sementara itu, Komnas HAM telah mendapatkan informasi terkait waktu kematian Brigadir Yosua atau J dalam baku tembak yang terjadi di rumah Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo.
“Salah satu yang terkonfirmasi dalam pertemuan dokter forensik adalah temuan yang kami temukan. Itu terkonfirmasi. Peristiwanya jadi lebih terang benderang, khususnya soal skema waktu kematian," kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Senin (25/7/2022).
Hal tersebut didapatkan Komnas HAM setelah menggali keterangan dari tim Dokkes Polri. Komnas HAM meminta keterangan lengkap terkait kondisi tubuh jenazah sebelum hingga selesai autopsi.
“Karena bahasa lukanya itu menentukan kapan waktu meninggal, kami punya informasi yang rigid akibat tadi itu. Terus kami juga punya informasi lain soal karakter dasar kronologi ini, nyambung dengan ini kalau kita sesuaikan kami punya waktu yang semakin rigid kapan Brigadir J ini meninggal dan di mana meninggalnya," jelas Anam.
Selain kondisi tubuh jenazah secara umum, Komnas HAM juga mengonfirmasi terkait karakteristik tiap luka di tubuh Brigadir Yosua.
Ia juga mengatakan bahwa pendalaman terkait luka dinyatakan cukup dan tinggal menunggu proses ekshumasi. Komnas HAM pun akan melakukan penyelidikan kasus dari aspek lain seperti aspek siber dan digital forensik.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz