tirto.id - Presiden Joko Widodo akhir Juni lalu mengingatkan perekonomian 60 negara di dunia terancam runtuh. Pernyataan Jokowi ini berdasarkan laporan berbagai lembaga keuangan dunia, mulai dari Bank Dunia, dana moneter dunia (IMF) hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
“Terakhir baru kemarin saya mendapatkan informasi 60 negara akan ambruk ekonominya, 42 dipastikan sudah menuju ke sana,” kata Jokowi saat memberikan sambutan pada Rakernas PDIP, di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, 21 Juni 2022.
Karena itu, Jokowi menekankan, Indonesia harus waspada untuk tidak masuk dalam kelompok negara dengan ancaman keruntuhan ekonomi. Ia pun meminta agar semua pihak harus berjaga-jaga, meningkatkan kewaspadaan dan berhati-hati. Sebab, perekonomian dunia saat ini tidak sedang berada dalam kondisi normal.
Berdasarkan laporan terbaru Bank Dunia berjudul 'Global Economic Prospect June 2022', perekonomian dunia memang tidak baik-baik saja. Laporan tersebut memperlihatkan kondisi perekonomian global sedang mengalami tekanan. Kondisi itu tidak terlepas dari dampak pandemi COVID-19 dan invasi Rusia ke Ukraina yang memicu perlambatan ekonomi di seluruh dunia.
Presiden Bank Dunia, David Malpass menyatakan, dampak langsung akibat pandemi dan perang berujung pada penurunan tingkat pendapatan per kapita di negara berkembang. Bahkan merosot hampir 5 persen di bawah tren sebelum pandemi. Kondisi ini semakin dekat dengan jurang resesi global.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati bahkan menyatakan resesi di Amerika Serikat sudah di depan mata. Kondisi ini setelah inflasi terjadi di negeri Paman Sam melonjak sampai 9,1 persen yang direspons dengan kenaikan suku bunga The Fed. Inflasi ini disebut yang tertinggi sejak 41 tahun terakhir di AS.
Analisis dari berbagai ekonom dan policy maker hampir sama. Sri Mulyani menuturkan mereka menilai kebijakan AS dalam merespons inflasi tinggi dengan kenaikan suku bunga memungkinkan terjadinya resesi di tahun ini.
Tak hanya AS, sejumlah negara di Asia dan Eropa juga terancam mengalami resesi ekonomi. Dalam survei yang dilakukan Bloomberg, Indonesia masuk ke dalam 15 negara yang berpotensi mengalami resesi. Survei itu menunjukkan pada peringkat 1-15 secara berurutan, yaitu: Sri Lanka, New Zealand, Korea Selatan, Jepang, Cina, Hongkong, Australia, Taiwan, Pakistan, Malaysia, Vietnam, Thailand, Filipina, Indonesia, dan India.
Sri Lanka menempati posisi pertama negara berpotensi resesi dengan prosentase 85 persen, New Zealand 33 persen, Korea Selatan dan Jepang 25 persen. Lalu Cina, Hongkong, Australia, Taiwan, dan Pakistan 20 persen. Malaysia 13 persen, Vietnam dan Thailand 10 persen, Filipina 8 persen, Indonesia 3 persen, dan India 0 persen.
Tanda-Tanda Negara akan Mengalami Resesi
Direktur Center of Economic and Law Studie (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, resesi di sebuah negara ditandai dengan tingginya inflasi dan daya beli masyarakat yang menurun. Hal ini kemudian diikuti dengan kesempatan kerja yang kian memburuk dan meningkatkan jumlah pengangguran.
“Tanda-tanda resesi selain dari pertumbuhan ekonomi yang kontraksi adalah inflasi yang tinggi,” kata Bhima saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (14/7/2022).
Saat ini, inflasi tahunan Indonesia telah mencapai 4,35% pada Juni 2022 (year-on-year/yoy). Angka tersebut merupakan yang tertinggi sejak Juni 2017 dan diprediksi akan terus meningkat hingga akhir tahun.
Komponen inflasi inti Juni secara yoy memberikan andil sebesar 2,63 persen. Kemudian untuk harga diatur pemerintah mencapai 5,33 persen dan harga bergejolak mencapai 10,07 persen.
Berdasarkan kelompoknya, makanan, minuman dan tembakau menjadi sumbangsih terbesar terhadap inflasi Juni secara yoy. Di mana komoditas itu memberikan andil 8,26 persen. Terbesar kedua diikuti sektor transportasi yang berikan andil 5,45 persen. Lalu sektor peralatan pribadi dan jasa lainnya berikan sumbangsih 4,43 persen.
Jika dilihat lebih jauh lagi, Indonesia pernah ada di masa-masa suram selama pandemi COVID-19. Sepanjang 2020, pandemi menyebabkan krisis ekonomi di seluruh penjuru dunia. Januari 2021, IMF mengestimasi pertumbuhan ekonomi global di angka minus 3,5 persen. Saat itu, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebesar -2,07 persen. Kontraksi tersebut pertama kali dialami Indonesia setelah masa krisis moneter pada 1998.
Apabila dibandingkan dengan krisis ekonomi global 2008, maka yang terjadi pada 2020 terbilang lebih parah. Sebab, pada krisis 2008, harga komoditas saat itu masih menguntungkan, dan akhirnya membuat ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh 4,6 persen.
Krisis finansial global pada 2008, dipicu oleh krisis yang dirasakan Amerika Serikat. Krisis mencapai puncak pada 15 September 2008, Lehman Brothers mendaftarkan kebangkrutannya, menyusul kegagalan di pasar subprime mortgage. Pasar finansial dunia langsung dilanda kepanikan. Indeks Dow Jones merosot hingga 4,4 persen ke level 10917,51, penurunan terburuk sejak 9/11. Indeks S&P juga anjlok 4,7 persen, serta Nasdaq turun sampai 3,6%.
Kisruh pasar finansial global berimbas ke Indonesia. IHSG sempat merosot tajam pada 1 November 2008, IHSG tercatat ada di level 1.241,54, setengah dari setahun sebelumnya. Pada 9 dan 10 Oktober 2008, BEI bahkan melakukan suspensi perdagangan.
Seberapa Kuat Indonesia Bertahan Hindari Resesi?
BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,01 persen pada kuartal I-2022 atau Q1 secara year on year. Pertumbuhan ini meningkat dibandingkan kuartal I-2021 yang terkontraksi minus 0,70 persen.
“Ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,01 persen,” kata Kepala BPS Margo Yuwono, dalam rilis BPS di Kantornya, Jakarta, Senin (9/5/2022).
Margo mengatakan tingginya angka pertumbuhan ekonomi pada Q1 2022 ini, selain karena pulihnya aktivitas ekonomi di masyarakat, faktor lain juga karena pertumbuhan ekonomi pada Q1 2021 saat itu mengalami kontraksi 0,70 persen. Margo menyebutkan jika dilihat distribusi dari lapangan usahanya, maka 65,74 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia berasal dari industri pengolahan, perdagangan, pertanian, pertambangan dan konstruksi.
Jika dirinci, industri pengolahan memiliki share 19,19 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Q1 2022. Adapun pengungkit industri pengolahan ini disokong oleh tumbuhnya subsektor industri tekstil dan pakaian jadi 12,45 persen kemudian makanan dan minuman 3,75 persen.
“Tekstil dan pakaian jadi dan makanan minuman masing-masing tumbuh," jelas dia.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang semakin membaik. Berdasarkan catatan Tirto, pertumbuhan ekonomi pada triwulan 1 2022 mencapai 5,01 persen, triwulan IV 2021 tercatat 5,02 persen, triwulan III 2021 (3,51 persen), dan triwulan II 2021 (7,07 persen).
Kemudian pada triwulan I 2021, perekonomian Indonesia mengalami kontraksi imbas pandemi, yaitu 0,7 persen, triwulan IV 2021 tercatat 2,17 persen, triwulan III 2020 (3,49 persen), triwulan II 2020 tercatat -5,32 persen. Kemudian pada triwulan I 2020 2,97 persen.
Selain itu, posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Mei 2022 tetap tinggi sebesar 135,6 miliar dolar AS, relatif stabil dibandingkan dengan posisi pada akhir April 2022 sebesar 135,7 miliar dolar AS. Perkembangan posisi cadangan devisa pada Mei 2022 antara lain dipengaruhi oleh penerimaan devisa migas, pajak dan jasa, serta kebutuhan pembayaran utang luar negeri pemerintah.Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,8 bulan impor atau 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
Selain itu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan, APBN dari sisi korporasi maupun dari rumah tangga relatif dalam situasi lebih baik dari negara lain.
“Kita relatif dalam situasi yang tadi disebutkan risikonya 3 persen dibandingkan negara lain yang potensi untuk bisa mengalami resesi jauh di atas yaitu di atas 70 persen," kata dia saat konferensi pers di Sofitel Nusa Dua, Bali, Rabu (13/7/2022).
Meskipun memiliki potensinya kecil, Sri Mulyani tetap berhati-hati terhadap ancaman resesi di tengah ketidakpastian global. Hal ini seiring risiko global terkait inflasi dan resesi, atau stagflasi akan berlangsung sampai tahun depan.
“Ini tidak berarti kita terlena. Kita tetap waspada namun message-nya adalah kita tetap akan menggunakan semua instrumen kebijakan kita," jelas dia.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu meyakini perekonomian Indonesia terus menunjukkan resiliensi di tengah gejolak global yang terjadi. Bahkan, kata dia, Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara yang dapat mengembalikan output ke level pra-pandemi sejak 2021.
“Kinerja ekonomi domestik di tahun ini juga terus menguat antara lain didukung situasi pandemi yang terus terkendali,” jelas Febrio dalam pernyataannya.
Febrio mengatakan situasi pandemi yang kondusif menjadi salah satu prasyarat penting agar confidence masyarakat dalam melakukan aktivitas ekonomi sosial terus terjaga. Salah satu cara yang akan terus ditempuh adalah mendorong vaksinasi. Di mana saat ini sudah mencapai 74,2 persen populasi untuk dosis pertama dan 62,1 persen untuk dosis lengkap.
Di sisi lain, APBN juga akan terus diarahkan untuk menjadi instrumen penting merespons dinamika ekonomi yang terjadi, termasuk menjadi peredam syok (shock absorber). Di tengah peningkatan risiko global, APBN akan terus diarahkan untuk memastikan terlindunginya daya beli masyarakat khususnya kelompok yang rentan serta terjaganya pemulihan ekonomi.
“Saat ini, risiko perekonomian global telah bergeser dari krisis pandemi ke potensi krisis energi, pangan, dan keuangan. Pemerintah Indonesia akan terus menjaga agar kinerja ekonomi domestik terus menguat meski di tengah berbagai tantangan global," tutup Febrio.
Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform Economic (CORE), Piter Abdullah optimistis, Indonesia mampu bertahan di tengah ancaman keruntuhan ekonomi atau resesi global. Namun, ada dua syarat yang harus diperhatikan.
Syarat pertama, kata Piter, semua pihak harus berupaya menjaga agar pandemi di dalam negeri mereda. Syarat kedua, tidak terjadi pengetatan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) kembali.
“Selama pandemi masih terjaga, mobilitas masih longgar, perekonomian Indonesia akan mampu bertahan di tengah resesi yang terjadi dibanyak negara,” kata Piter.
Piter mengatakan, ekonomi global yang dispekulasikan akan resesi ini, mempertimbangkan kondisi perekonomian di banyak negara maju. Amerika Serikat misalnya. Angka inflasi di negeri Paman Sam tersebut melambung tinggi.
Inflasi yang tinggi kemudian mengundang bank sentral The Fed menaikkan suku bunga acuan dan mengeringkan likuiditas. Suku bunga yang tinggi, likuiditas kering otomatis akan membuat demand terbatasi dan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Kondisi tersebut berpotensi membawa AS mengalami resesi, kontraksi ekonomi selama dua kuartal berturut-turut. Pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal I-2022 sudah negatif 1,4 persen. Hal ini disebabkan oleh tingginya impor di tengah menurunnya ekspor tetapi permintaan masih cukup terjaga.
“Jika kuartal II-2022 kembali negatif, maka perekonomian AS secara resmi disebut resesi. Kemungkinannya memang besar karena kondisi yang dijelaskan di atas," jelasnya.
Piter menambahkan, resesi di negara-negara maju seperti AS tentu akan berpengaruh terhadap perekonomian global. Kemudian berdampak kepada banyak negara. “Tetapi tidak berarti semua negara akan mengalami resesi atau akan akan ambruk. Salah satunya Indonesia,” kata dia.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz