tirto.id - Setelah dihantam badai krisis moneter 1997/1998, ekonomi Indonesia butuh sekitar enam tahun untuk pulih. Dalam hal keluar dari krisis, Indonesia bisa disebut tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain yang mengalami nasib serupa. Mereka umumnya hanya butuh dua tahun untuk pemulihan ekonomi. Politik membuat proses pemulihan ekonomi lebih sulit dan kompleks. Pada tahun 2004, ekonomi Indonesia akhirnya bisa kembali tumbuh 5%.
Setelah itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara perlahan merayap naik. Booming harga komoditas ikut mendorong perekonomian Indonesia. Harga-harga komoditas ekspor utama Indonesia seperti minyak sawit, batu bara, tembaga, dan karet ikut terkerek. Berkat booming ini, neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus.
Pada saat bersamaan, harga minyak mentah dunia juga ikut dalam tren kenaikan. Menurut data Energy Information Administration (EIA), harga minyak WTI yang pada era 1990-an hanya di kisaran 20 dolar AS per barel, meningkat menjadi rata-rata 31 dolar AS per barel pada 2003. Pada 2005, harga minyak mentah WTI rata-rata ada di kisaran 57 dolar AS per barel, dan meningkat lagi menjadi 66 dolar AS per barel pada 2006. Pada 2007, harga minyak WTI sudah ada di kisaran 85 dolar AS per barel.
Menurut EIA, kenaikan harga minyak terutama dipicu peningkatan permintaan akibat kuatnya laju pertumbuhan ekonomi. Pada 2006, permintaan minyak dunia meningkat hingga 1,1 juta barel per hari. Dari sisi suplai, OPEC justru memutuskan untuk memangkas produksinya. Sementara produksi dari non-OPEC tidak bisa menyamai level peningkatan konsumsi.
Kenaikan harga minyak mentah dunia itu secara otomatis meningkatkan subsidi BBM. Pada saat itu, hampir 20% dari belanja APBN dihabiskan untuk subsidi BBM. Sebagian besar subsidi BBM itu diketahui tidak tepat sasaran.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya memutuskan untuk menaikkan harga BBM dua kali yakni pada Maret dan Oktober 2005 untuk mengurangi tekanan pada APBN. Pada Maret, harga bensin premium naik 33%, solar 27%. Sementara pada Oktober, kenaikannya lebih besar yakni 88% untuk jenis premium dan 105% untuk solar. Kenaikan harga BBM itu disambut oleh aksi demonstrasi di berbagai wilayah di Indonesia.
Kenaikan harga minyak terus berlanjut, puncaknya terjadi pada kuartal kedua 2008, saat harga minyak melonjak menembus 120 dolar AS per barel. Pemerintah akhirnya kembali menaikkan harga BBM pada Mei 2008 yakni 33% untuk premium dan 28% untuk solar.
Di tengah tekanan akibat lonjakan harga minyak, ekonomi mendapatkan pukulan dari krisis finansial global. Kali ini, episentrumnya adalah Amerika Serikat.
Krisis Subprime Mortgage
Tanda-tanda krisis finansial mulai muncul pada Agustus 2007, saat BNP Paribas membekukan pendanaannya. Dilansir dari The Guardian, kondisi BNP Paribas itu mengindikasikan mereka tidak memiliki cara untuk menilai aset-aset mereka yang kompleks yang dikenal sebagai collateralised debt obligations (CDOs). Setelah itu, satu per satu institusi finansial atau perbankan yang punya eksposur subprime mortgage terungkap mengalami kesulitan finansial.
Puncaknya, pada 15 September 2008, Lehman Brothers mendaftarkan kebangkrutannya, menyusul kegagalan di pasar subprime mortgage. Kebangkrutan merupakan opsi terakhir setelah Bank of America dan Barclays menarik diri dari negosiasi untuk mengambil alih salah satu bank investasi tertua di Amerika Serikat tersebut. Lehman diketahui sudah mengalami kerugian hingga 60 miliar dolar AS akibat eksposur di pasar subprime mortgage.
Pasar finansial dunia langsung dilanda kepanikan. Pada hari itu, indeks Dow Jones ditutup merosot hingga 504,48 poin atau 4,4% ke level 10917,51. Ini merupakan penurunan terburuk sejak peristiwa 9/11. S&P 500 anjlok 4,7% dan Nasdaq anjlok 3,6%.
Harga minyak ikut terdampak dan turun di bawah 100 dolar AS per barel yakni ke level 95,71 dolar AS per barel. Sementara emas sebagai safe haven langsung melonjak 22,50 dolar ke level 787 dolar per ons.
Menyusul Lehman, dua bank investasi lainnya yakni Bear Sterns dan Merril Lynch harus diambil alih oleh bank lain. Sementara Morgan Stanley dan Goldman Sachs beralih dari bank investasi menjadi bank komersial.
Krisis subprime mortgage terjadi akibat pecahnya gelembung industri properti yang terjadi di AS.
Jauh sebelum krisis ini terjadi, pada akhir era 1990-an, Amerika Serikat menjadi tempat tujuan dana-dana asing. Likuiditas berlimpah hingga akhirnya menekan tingkat suku bunga. Rezim suku bunga rendah berlaku di AS mulai awal tahun 2000-an. Kredit menjadi bergairah.
Dalam kondisi suku bunga rendah, investor berbondong-bondong mencari aset-aset yang mampu memberikan imbal hasil tinggi, termasuk pada aset-aset berisiko tinggi seperti produk derivatif.
Bank-bank pun menjadi semakin “kreatif” melahirkan produk-produk finansial yang rumit dalam bentuk produk derivatif. Produk-produk derivatif dengan menggunakan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) sebagai underlying asset terus bermunculan. Produk-produk ini diciptakan untuk mengalihkan risiko kredit dari KPR.
Bibit-bibit krisis muncul karena perbankan di AS tidak selektif dalam memberikan kredit, termasuk kepada nasabah yang memiliki profil risiko tinggi atau dikenal dengan subprime mortgage. Debitur-debitur ini umumnya tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan kredit prime mortgage ataupun Alt-A mortgage, karena tingginya risiko yang dilihat dari penghasilan, sejarah kredit, dan kelengkapan dokumen.
Debitur subprime mortgage umumnya dikenakan biaya administrasi dan suku bunga yang lebih tinggi dibandingkan debitur prime mortgage. Bank tergiur karena akan mendapatkan imbal hasil yang lebih tinggi, meski risikonya lebih besar. Kredit subprime mortgage juga gencar diberikan dengan keyakinan bahwa harga properti akan terus meningkat, sehingga nilai agunan semakin bertambah.
Bank kemudian “berinovasi” melakukan sekuritisasi atas KPR. Produk hasil sekuritisasi ini disebut Mortgage Backed Securities (MBS) dan Collaterelized Debt Obligations (CDOs).
Gagal bayar mulai terjadi ketika suku bunga The Fed dinaikkan dari kisaran 1-2% menjadi 5% pada 2007. Suku bunga mulai meningkat sejak tahun 2005, sejalan dengan kenaikan harga minyak mentah dunia yang memicu inflasi.
Akibatnya, cicilan yang harus dibayar para peminjam juga mengalami kenaikan. Ditambah lagi, nilai agunan semakin turun akibat jatuhnya harga properti.
Gagal bayar nasabah subprime mortgage ini menimbulkan efek domino. Institusi finansial dan perbankan sebagai kreditur mulai mengalami kesulitan likuiditas. Hal itu menyebabkan mereka tidak bisa memenuhi kewajibannya atas surat utang yang sudah diterbitkan dengan underlying asset KPR tersebut. Dampak selanjutnya, para investor yang memegang surat utang hasil sekuritisasi ikut mengalami kesulitan finansial. Hal itu menyebabkan para investor kesulitan untuk melakukan ekspansi usahanya. Pada akhirnya, hal itu merembet ke perekonomian sehingga menyebabkan kontraksi ekonomi di AS.
Krisis subprime mortgage sangat cepat menyebar hingga lintas sektoral dan lintas negara. Ini dikarenakan para pemegang MBS tersebar luas ke berbagai belahan dunia. Satu per satu akhirnya mulai mengalami kesulitan, dan harus mendapatkan talangan agar tidak kolaps.
Krisis finansial 2008 merupakan krisis terburuk sejak Depresi Besar. Pasar saham AS anjlok, dengan nilai pasar yang tersapu akibat krisis mencapai 8 triliun dolar AS selama periode 2007-2009. Krisis juga menyebabkan pengangguran melonjak mencapai 10% pada Oktober 2009, menurut Washington Post.
Dampaknya ke Indonesia
Kisruh di pasar finansial global akhirnya pun berimbas ke Indonesia. Dana-dana asing keluar dan menyebabkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot tajam. BEI bahkan harus melakukan suspensi perdagangan pada 9 dan 10 Oktober 2008, untuk memberikan jeda kepada investor agar bisa berpikir rasional di tengah gejolak pasar keuangan.
IHSG pada awal tahun sebenarnya dalam tren penguatan, bahkan sempat mencapai level 2.830 atau tertinggi sejak BEI beroperasi. Memasuki semester II, IHSG mulai mendapatkan tekanan hingga puncaknya saat krisis Lehman Brothers terkuak.
IHSG terpangkas hingga setengahnya pada awal November. Jika pada 1 November 2007 IHSG berada di level 2.688,33, maka setahun berikutnya, IHSG terpangkas hingga setengahnya. Pada 1 November 2008, IHSG tercatat ada di level 1.241,54. Menutup tahun 2008, IHSG berada di level 1.355 poin atau turun 50,64% dibandingkan tahun sebelumnya.
Di pasar obligasi, pasar obligasi negara juga mengalami tekanan. Senada dengan pasar saham, kinerja pasar obligasi sebenarnya sempat membaik pada semester I. Namun, pada semester II pasar obligasi mulai melemah dan mencapai puncaknya pada Oktober 2008, saat harga rata-rata obligasi negara terkoreksi hingga 27,4%. Harga surat utang Indonesia juga anjlok tajam, dengan imbal hasil atau yield melonjak tajam dari sekitar 10% menjadi 17%, menurut data Bank Indonesia.
Sektor perbankan lagi-lagi menjadi titik paling rawan saat krisis menerjang. Krisis finansial membuat krisis likuiditas.
Bank-bank BUMN cukup “beruntung” karena bisa mendapatkan injeksi dari pemerintah. Pada Oktober 2008, pemerintah menginjeksikan Rp15 triliun ke 3 bank BUMN. Namun, tidak demikian dengan bank-bank swasta menengah dan kecil dengan likuiditas yang terbatas. Biasanya, bank-bank ini mengandalkan pinjaman di pasar uang antar bank (PUAB). Namun, dalam keadaan likuiditas ketat, mendapatkan pinjaman dari PUAB sangat lah sulit. Bank-bank besar lebih memilih untuk menjaga likuiditasnya, ketimbang memberikan pinjaman di PUAB.
Menurut Boediono dalam Ekonomi Indonesia dalam Lintasan Sejarah (2016), mengutip data Bank Indonesia (hlm. 230), selama periode triwulan III dan triwulan IV 2008, transaksi harian PUAB yang mengalir ke bank-bank menengah dan kecil menciut hingga 40%.
Boediono menuliskan, situasi perekonomian saat itu menjadi semakin sulit karena tidak diberlakukannya penjaminan dana nasabah secara penuh (Hlmn. 229). Saat itu, keputusan yang diambil pemerintah hanyalah menaikkan penjaminan oleh Lembaga Penjamin Simpanan dari simpanan maksimal Rp100 juta menjadi Rp2 miliar.
“Dengan tidak diterapkannya penjaminan penuh, perbankan nasional harus menghadapi masalah ekstra yaitu goyahnya deposan (terutama yang simpanannya di atas Rp2 miliar) yang mulai memindahkan simpanannya ke Singapura dan negara-negara lain yang menerapkan penjaminan penuh,” tulis Boediono.
Saat krisis finansial datang, sejumlah negara seperti Singapura, Malaysia, Hong Kong Australia, dan Taiwan memang akhirnya menerapkan penjaminan penuh.
Krisis finansial memakan satu korban yakni Bank Century (Sudah beralih menjadi Bank Mutiara dan kini menjadi Bank J Trust Indonesia). Namun, faktor utamanya bukan semata-mata krisis, akan tetapi juga dipicu oleh kesalahan pengelolaan bank oleh pemilik lama. Pemerintah memutuskan untuk menyelamatkan Bank Century dengan pemberian bailout sebesar Rp6,7 triliun. Keputusan itu mendatangkan pro dan kontra, bahkan DPR sampai menggunakan Hak Angket untuk mempertanyakan keputusan bailout Bank Century tersebut.
Gerak Cepat Menghadapi Krisis
Krisis finansial memang sempat mengguncang perekonomian Indonesia. Namun, dampaknya tidak berkepanjangan layaknya krisis 1997/1998. Salah satu penyebabnya adalah eksposur perbankan dan lembaga keuangan Indonesia terhadap subprime mortgage yang relatif minimal.
Tak hanya itu, pemerintah dan Bank Indonesia juga lebih kompak dalam menghadapi krisis ini. Belajar dari krisis di masa lalu, pemerintah langsung mengeluarkan sejumlah aturan untuk menghadapi kedatangan krisis.
Menghadapi situasi tersebut, pada Oktober 2008, pemerintah mengeluarkan tiga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Pertama, Perppu 2/2008 untuk memperkuat fungsi lender of the last resort BI dengan memperluas macam aset yang bisa dijadikan agunan oleh bank untuk mendapatkan Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) dari BI. Kedua, Perppu 3/2008 untuk memperkuat peran LPS di masa krisis. Ketiga, Perppu 4/2008 mengenai Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) menetapkan mekanisme, tata cara, dan koordinasi antar lembaga yang bertugas dan berwenang mencegah dan menangani krisis.
Bapepam-LK (kini melebur ke OJK) juga mengeluarkan aturan untuk mempermudah emiten melakukan buyback. Sementara BEI mengeluarkan larangan transaksi shortselling dan membatasi perdagangan marjin. Ini dimaksudkan untuk mengurangi aksi jual di tengah momentum penurunan harga. Langkah-langkah tersebut dimaksudkan untuk meredam volatilitas di pasar saham.
Pada medio Oktober 2008, BI menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) dari 9% menjadi 7% untuk kewajiban rupiah, kewajiban valas dari 3% turun menjadi 1%. Perhitungan GWM untuk bank-bank kecil disederhanakan. Dengan demikian, beban perbankan sedikit berkurang.
Untuk mengatasi ketatnya likuiditas, pembatasan saldo harian pinjaman valas jangka pendek oleh bank-bank dihapuskan dan tenor fasilitas swap untuk memperoleh likuiditas diperpanjang dari 7 hari menjadi 1 bulan.
Tidak seperti krisis 1997/1998, krisis finansial 2008 ini hanya berdampak sesaat. Memasuki semester II tahun 2009, tanda-tanda pemulihan ekonomi sudah mulai nampak. Pada tahun 2010, ekonomi sudah pulih yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang positif di angka 5%.
Lesunya ekonomi negara-negara maju memang berdampak pada kinerja ekspor. Namun, hal itu terkompensasi dengan kuatnya permintaan domestik, ditambah lagi menguatnya perdagangan antar negara-negara emerging markets.
Bank Indonesia dalam “Laporan Perekonomian Tahun 2008” yang diterbitkan April 2009 menuliskan, ekonomi 2008 tertolong oleh aktivitas ekonomi masyarakat. Hal itu terlihat dari total transaksi kliring yang mencerminkan aktivitas transaksi ritel di masyarakat yang mengalami peningkatan. Nilai transaksi kliring selama periode laporan meningkat 19,7% menjadi Rp1.664 triliun, atau rata-rata Rp6,8 triliun per hari. Dari sisi volume, jumlah transaksi meningkat 7,6% menjadi 85,6 juta transaksi atau rata-rata 349 ribu transaksi per hari.
IHSG memang menurun, akan tetapi rata-rata harian perdagangan saham meningkat dari Rp4,29 triliun pada 2007 menjadi Rp4,41 triliun. Indikasi membaiknya kepercayaan investor juga terlihat dari aktivitas investor asing yang masih membukukan net beli sebesar Rp18,65 triliun pada 2008, meski angkanya di bawah tahun 2007 yang sebesar Rp32,92 triliun. Namun, porsi kepemilikan asing pada 2008 meningkat menjadi 67,8%.
Harga obligasi negara tercatat hanya turun 5%. Total volume perdagangan obligasi negara tahun 2008 sebesar Rp1.246,7 triliun, dibandingkan tahun 2007 sebesar Rp1.564 triliun.
Menutup tahun 2008, perbankan masih dalam kondisi baik. Menurut data Bank Indonesia, total aset perbankan meningkat dari Rp1.986,5 triliun (2007) menjadi Rp2.310.6 triliun. Dana Pihak Ketiga (DPK) meningkat dari Rp1.510,7 triliun (2007) menjadi Rp1.753,3 triliun. Kredit juga masih tumbuh, dari Rp1.045,7 triliun menjadi Rp1.353,6 triliun. NPL malah cenderung turun dengan NPL gross dari 4,6% menjadi 3,8%. Namun, CAR mengalami penurunan dari 19,2% menjadi 16,2%.
======
Mulai Rabu, 30 September 2020, redaksi Tirto.id menurunkan serial artikel bertajuk "75 Tahun RI: dari Krisis ke Krisis". Serial ini akan memuat babak demi babak krisis ekonomi yang pernah dialami Indonesia. Artikel ditayangkan setiap Rabu.
- Ekonomi RI Era 1950: Terbelit Utang, Tertekan Defisit Anggaran
- Ekonomi 1960-an: Hiperinflasi & Stagnasi di Tengah Gejolak Politik
- Ekonomi Awal Orba: Ganti Rezim, Ganti Haluan Ekonomi
- Indonesia 1970an: Kaya Minyak tapi Nyaris Pailit karena Pertamina
- Cara Orde Baru Menghadapi Resesi Global Awal 1980an
- Ekonomi Orde Baru 1980-an: Tancap Gas Liberalisasi
- Ekonomi Indonesia 1989-1996: Berjaya tapi Labil dan Penuh KKN
- Krisis Moneter 1997/1998 adalah Periode Terkelam Ekonomi Indonesia
- Bagaimana Sulitnya Indonesia Keluar dari Krisis Moneter 1997/1998
Editor: Windu Jusuf