tirto.id - Awal periode 1960-an merupakan masa-masa kemunduran ekonomi Indonesia. Beban ekonomi yang terlalu berat tak bisa dipikul oleh pemerintahan Republik Indonesia yang baru berdiri. Rehabilitasi ekonomi sulit dilakukan di tengah kondisi politik yang tidak stabil.
Era ini dimulai dengan inflasi yang masih melonjak tinggi. Pada saat yang sama, defisit anggaran semakin lebar. Defisit ini ditangani dengan mencetak uang, sebuah kebijakan yang justru memperburuk kondisi ekonomi. Indonesia juga dibelit utang yang cukup besar. Cadangan devisa bahkan tak cukup untuk untuk memenuhi kebutuhan impor.
Obat Defisit yang Salah
Salah satu penyebab besarnya defisit APBN adalah pengeluaran yang sangat besar, terutama untuk program-program politik. Boediono dalam Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah (2016) menyebut, beberapa pos yang merupakan prioritas politik, dan menelan dana sangat besar adalah untuk operasi keamanan, operasi di Irian Barat dan Malaysia, juga subsidi BUMN, dan lain-lain. Pada 1965, angkanya melonjak mencapai Rp985,5 miliar atau 40% dari total anggaran pemerintah. Padahal setahun sebelumnya, angkanya hanya ada di kisaran Rp116,4 miliar (kurs saat itu).
Sementara Radius Prawiro dalam ceramahnya di depan Seminar Angkatan Darat II, 1968, seperti disampaikan Radius Prawiro, Kiprah, Peran dan Pemikiran (1998) menyebut defisit membesar karena ketidakmampuan pemerintah menggali potensi penerimaan. Radius berpandangan, pengeluaran tidak bisa dikurangi karena bersifat rutin dan ditujukan untuk keamanan dan pertahanan.
Mengutip data yang disampaikan Radius Prawiro, defisit APBN pada tahun 1965 mencapai Rp1,32 triliun atau 4 kali lipat dari tahun sebelumnya. Penerimaan negara tercatat hanya Rp923,444 miliar, tapi pengeluaran mencapai Rp2,244 triliun. Defisit tersebut melonjak tajam dibandingkan tahun 1964, sebesar Rp397,942 miliar. Memasuki triwulan I-1966, defisit semakin melebar dengan angka mencapai Rp2,139 triliun.
Buruknya, defisit itu ditutup dengan cara yang salah yakni dengan mencetak uang. Tahun 1965, jumlah uang beredar melonjak tajam menjadi Rp2,713 triliun atau 4,2 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Per triwulan I, jumlah uang beredar bahkan sudah melonjak hingga Rp5,317 triliun.
Pencetakan uang atas permintaan pemerintah dilakukan dengan segala cara, termasuk dengan mengubah Undang-undang yang ada. Sejak tahun 1953, Indonesia telah memiliki Undang-undang Bank Sentral yakni UU No. 53 Tahun 1953. Berdasarkan UU tersebut, BI diberi hak monopoli untuk mengeluarkan uang kertas. Pemerintah tak punya akses langsung untuk masalah pencetakan uang.
Namun, UU tersebut kemudian diubah sehingga pemerintah punya akses ke percetakan uang. Maka keluarlah UU No. 3 Tahun 1957 dan UU Darurat No. 14. Dengan adanya UU baru itu, kewenangan BI sebagai pemegang otoritas dalam peredan uang menjadi mandul. Peran BI baru dikembalikan setelah proses pemulihan ekonomi dimulai, setelah pemerintahan beralih ke Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto.
Mencetak uang untuk menutup defisit sebenarnya merupakan proses yang sudah dijalankan sejak lama. Peningkatan uang beredar pun menjadi masalah yang sudah berlangsung sejak era “Boom Korea” berakhir.
Untuk mengatasi masalah peredaran uang, pada 25 Agustus 1959, pemerintah melakukan sanering alias pemotongan nilai uang. Nilai tukar kertas Rp500 dan Rp1.000 diturunkan menjadi Rp50 dan Rp100. Selain itu, 90% giro dan deposito di bank di atas Rp25 ribu dibekukan dan ditukar dengan semacam surat utang pemerintah. Pada saat yang bersamaan, rupiah didevaluasi dari Rp11,4 menjadi Rp45 per dolar AS. Padahal nilai kurs di pasar bebas sudah mencapai Rp150 per dolar AS.
Kebijakan itu tidak memberikan dampak yang signifikan, malah kondisi terus memburuk. Ini dikarenakan masalah mendasar yakni defisit anggaran tak teratasi, dan pada saat yang bersamaan pencetakan uang terus berjalan.
Saat jumlah uang beredar makin tak terkendali pada 1965, pemerintah menurunkan nilai mata uang dari Rp1.000 menjadi Rp1. “Langkah redenominasi ini secara substantif tidak punya pengaruh pada uang beredar. Situasi terus memburuk,” tulis Boediono.
Ekspor Turun, Cadangan Devisa Habis
Mengharapkan kenaikan pendapatan dari devisa jelas tidak bisa. Ini dikarenakan ekspor Indonesia tidak mengalami kenaikan signifikan, bahkan beberapa komoditas unggulan mengalami penurunan.
Selain masalah infrastruktur dan gangguan produksi, ekspor juga terganggu setelah nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan milik Belanda. Kebijakan yang dituangkan melalui UU No. 86 Tahun 1958 itu ternyata malah menimbulkan dampak buruk karena tidak adanya tenaga profesional yang cukup untuk mengurus masalah ekonomi yang ditinggalkan para tenaga kerja asing.
Radius Prawiro menulis, gambaran ekspor yang terus menurun itu juga menjadi sorotan dalam simposium di FEUI pada Mei 1966. Tan Goan Tiang dalam prasarannya yang dikutip Radius Prawiro, mengungkapkan kemerosotan penghasilan negara dari ekspor berkisar antara 750 sampai 450 juta dolar AS setiap tahunnya.
Terjadilah defisit neraca pembayaran. Mengutip data Dr. Subroto, Radius Prawiro mengungkapkan, pada 1965, defisit neraca pembayaran mencapai 157 juta dolar AS, melonjak dibandingkan 1964 sebesar 61 juta dolar AS.
Angka ekspor yang terus turun itu sudah pasti berdampak buruk pada keuangan negara. Cadangan devisa terkuras karena sebagian besar perolehan devisa digunakan untuk membayar bunga pinjaman dan pelunasan utang luar negeri.
Pada 1965, utang jangka pendek melonjak menjadi 145 juta dolar AS dari 30 juta dolar AS pada 1964. Total utang luar negeri mencapai 2.405 juta dolar AS yang terbagi atas 1.036 juta dolar AS untuk kepentingan militer, 1.175 juta dolar AS untuk keperluan sipil, dan 157 juta dolar AS merupakan utang jangka pendek.
Utang terjadi karena cadangan emas dan devisa sudah tidak cukup untuk menutupi kekurangan neraca perdagangan.
Bruce Glassbuner dalam The Economy of Indonesia (2007) menyebut, cadangan devisa terus menyusut; pada 1967 jumlahnya hanya tersisa 17 juta dolar AS. Pada 1967, total pembayaran utang yang dijadwalkan pada periode 1967-1984 mencapai 2,42 miliar dolar AS, atau hampir tiga tahun pendapatan ekspor.
Hiperinflasi
Peredaran uang yang sangat cepat masih menjadi salah satu meledaknya inflasi pada era ini. Periode-periode inflasi yang sudah muncul sejak awal 1950-an, dan tidak tertangani, berujung pada hiperinflasi pada 1961. Boediono menggambarkan hiperinflasi ditandai dengan laju inflasi yang sangat tinggi, di kisaran 100% atau lebih. Ciri khas lain dari hiperinflasi adalah hilangnya kepercayaan orang memegang uang. Mereka langsung membelanjakannya begitu mendapatkan uang karena khawatir nilainya terus merosot.
“Inflasi selalu merupakan proses interaksi yang intens antara ekonomi dan politik. Sejarah menunjukkan bahwa hiperinflasi biasanya berakhir (dan seringkali hanya bisa diakhiri) dengan perubahan sistem politik. Ini yang terjadi pada tahun 1966,” jelas Boediono.
Periode-periode akhir pemerintahan Sukarno memang ditandai oleh memburuknya ekonomi. Terjadi pula stagnasi ekonomi. Seperti yang dicatat Van Zanden & Marks dalam Ekonomi Indonesia 1800-2010, Antara Drama dan Keajaiban Pertumbuhan (2012), dalam neraca tahunan rata-rata pertumbuhan PDB hanya 1% selama periode 1929-1967, sementara pertumbuhan per kapita -0,6%.
Mengutip data Bank Dunia tahun 1992, Thee Kian Wie dalam Pelaku Berkisah, Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1960-an (2003) menyatakan terjadi kontraksi ekonomi sebesar 3% pada 1963.
Hiperinflasi hingga lebih dari 600% telah menggerus daya beli masyarakat dan juga APBN dengan sedemikian besar. Infrastruktur tidak mengalami perbaikan berarti, bahkan terus memburuk. Van Zanden dan Marks menyebut, pada akhir era Demokrasi Terpimpin, sistem transportasi jalan darat Indonesia berada dalam kondisi yang sangat buruk. Pada tahun 1967, kurang dari 20% dari panjang jalan nasional dan hanya 15% jalan provinsi yang dinilai berada dalam kondisi baik.
Di satu sisi kapasitas produksi anjlok hingga titik terendahnya. Thee Kian Wie menulis, produksi industri hanya sekitar 20% dari kapasitasnya. Akibatnya, mustahil Indonesia mengandalkan ekspor untuk mendapatkan devisa, sementara impor tidak bisa dilakukan karena negara tidak punya cukup devisa. Utang yang membelit dan tidak terbayar telah menggerus kepercayaan internasional. Ekonomi Indonesia berada di ujung tanduk. Puncaknya, terjadi bergolakan politik yang berujung pada turunnya Sukarno.
Bagaimana Soeharto membereskan semua kekacauan ekonomi di awal pemerintahannya? Nantikan serial krisis ekonomi Tirto berikutnya.
=====
Mulai Rabu, 30 September 2020, redaksi Tirto.id menurunkan serial artikel bertajuk "75 Tahun RI: dari Krisis ke Krisis". Serial ini akan memuat babak demi babak krisis ekonomi yang pernah dialami Indonesia. Artikel ditayangkan setiap Rabu.
Baca seri krisis ekonomi sebelumnya:
Ekonomi RI Era 1950: Terbelit Utang, Tertekan Defisit Anggaran
Editor: Windu Jusuf