Menuju konten utama
Redenominasi Rupiah

Pupusnya Rencana Redenominasi Rupiah pada Tahun 2020

Isu redenominasi kembali mengemuka. Apakah Indonesia benar-benar siap melakukannya?

Pupusnya Rencana Redenominasi Rupiah pada Tahun 2020
Petugas Bank Mandiri Kantor Cabang Pembantu (KCP) Tasikmalaya menyiapkan uang pecahan untuk layanan penukaran uang baru di Jalan Sutisna Senjaya, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat,Jumat (17/5/2019). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/foc.

tirto.id - Rencana redenominasi rupiah sempat meramaikan Indonesia sejak beberapa tahun terakhir. Pro dan kontra mewarnai wacana redenominasi tersebut. Perlahan, isu redenominasi rupiah tenggelam, tergantikan oleh riuh rendah masalah politik di Indonesia.

Wacana redenominasi rupiah kembali mengemuka saat Komisi XI DPR melakukan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) kepada calon Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Destry Damayanti beberapa waktu lalu.

Menurut Destry, wacana redenominasi patut dikaji ulang, sebab kondisi nilai tukar rupiah saat ini berada di kisaran Rp14.000-an per dolar AS. Hal ini membuat nilainya tidak lagi efisien sebagai alat pembayaran.

"Kita perlu review kembali, karena salah satu syarat berhasilnya redenominasi adalah stabilitas," ungkap Destry yang saat ini menjabat sebagai Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dilansir Kompas.

Pelaksanaan redenominasi yang semula ditargetkan terjadi pada 1 Januari 2020, memang bisa tertunda. Ini dikarenakan landasan hukum untuk redenominasi belum juga ada, padahal masa jabatan anggota DPR RI periode 2014-2019 akan segera berakhir.

"Implementasi redenominasi pada 2020 tidak mungkin dilakukan, karena dasar hukumya berupa Undang-Undang belum ada," sebut Direktur Eksekutif Direktorat Komunikasi BI Onny Widjanarko kepada Tirto.

Meski batal diujicobakan pada 1 Januari 2020, akan tetapi menurut Onny, saat ini BI kembali melanjutkan kajian terkait redenominasi dengan mencermati kondisi perekonomian Indonesia dan juga global yang saat ini terjadi. Siklus politik nasional serta perang dagang yang memengaruhi nilai tukar rupiah dan neraca transaksi berjalan (current account deficit/ CAD), menjadi kajian penting dalam merumuskan pelaksanaan redenominasi.

"Tahun ini sepertinya inisiatif dari BI melalui pemerintah terkait redenominasi belum akan disampaikan kepada DPR," imbuh Onny.

Apa itu Redenominasi?

Gagasan redenominasi di Indonesia mengemuka saat Darmin Nasution menjabat sebagai Pejabat Sementara (Pjs) Gubernur BI menggantikan Gubernur BI Boediono yang menjadi Wakil Presiden. Melansir arsip laporan khusus yang ditulis oleh Gatra, belum genap sebulan sejak disetujui Rapat Paripurna DPR RI sebagai Gubernur BI, Darmin merilis pengumuman redenominasi tersebut.

Lantas, apa itu redenominasi yang telah digadang-dagang sejak lama? Melansir KBBI, redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya. Tujuan redenominasi adalah penyederhanaan jumlah digit pada pecahan rupiah tanpa mengurangi daya beli, harga atau nilai rupiah terhadap harga barang dan/atau jasa.

Redenominasi berbeda dengan sanering atau pemotongan (nilai) uang, sebagaimana yang pernah terjadi di Indonesia pada pengujung 1950-an, tepatnya pada 25 Agustus 1959. Saat itu, uang pecahan 500 dan 1.000 rupiah diturunkan nilainya menjadi 50 rupiah dan 100 rupiah. Dengan kata lain, nilai uang dipangkas hingga 90 persen.

Berbeda dengan sanering, redenominasi tidak mengurangi nilai mata uang, sehingga tidak memengaruhi harga barang. Redenominasi hanyalah menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dalam bertransaksi.

Faktor psikologis dan masalah kebiasaan pada masyarakat mengenai penyederhanaan nilai mata uang inilah yang harus disosialisasikan dengan baik jika program redenominasi kelak jadi dilakukan.

"Karena dari 1.000 rupiah menjadi 1 rupiah itu seolah-olah nilainya menjadi kecil padahal sebenarnya tidak. satu rupiah itu ya harganya 1.000 rupiah. Jadi, memang harus banyak-banyak sosialisasi terkait hal ini," jelas Lana Soelistianingsih, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia kepada Tirto.

Efek-Efek Redenominasi

Lana menyebutkan, jika redenominasi kelak jadi terlaksana di Indonesia, akan ada lebih banyak efek positif dibanding negatifnya. Pertama, redenominasi memudahkan untuk menghitung, sebab tiga angka nol yang menyertai di belakang satuan uang tidak digunakan.

Dalam hitungan perbankan, penyederhanaan digit mata uang yang dilakukan dengan mengurangi tiga angka nol pada rupiah akan menghemat biaya teknologi yang digunakan. Selain itu, bentuk penyederhanaan digit juga mempermudah untuk membaca laporan keuangan dalam praktik akuntansi.

Kedua, redenominasi juga dapat menjadi suatu cara untuk meningkatkan kepercayaan terhadap mata uang rupiah. Selain itu, redenominasi juga dapat mencerminkan kesetaraan kredibilitas dengan negara maju lainnya di kawasan. Ketiga, redenominasi dapat mengurangi tingkat inflasi.

Tapi di sisi lain, redenominasi dapat memberikan dampak negatif berupa melambungnya laju inflasi. Hal ini dapat terjadi jika ketersediaan satuan mata uang terkecil tidak tersedia dan terdistribusi dengan baik ke seluruh masyarakat Indonesia.

Dengan semakin kecil satuan uang yang berlaku saat redenominasi, maka BI harus menyiapkan satuan uang terkecil. Ketersediaan satuan uang terkecil semisal sen ini harus tetap ada meski pembayaran digital di saat yang bersamaan juga berlaku di Indonesia.

"Seperti halnya Amerika Serikat yang hingga saat ini tetap memiliki satuan mata uang sen untuk pembayaran tunai meski digital payment di sana terus mengalami kemajuan. Ketersediaan satuan uang terkecil ini sangat penting dan BI harus menyiapkan itu," rinci Lana.

Satuan uang terkecil itu, lanjut Lana, menjadi salah satu alat pengontrol inflasi. Sebab, jika harga barang atau jasa bernilai 1.500 rupiah dan jika redenominasi berlaku nilainya menjadi 1,5 rupiah, nominal tersebut masih tetap bisa dibayarkan dan terjangkau oleh masyarakat.

Ia mengatakan, akan berbahaya jika nominal 1,5 rupiah tersebut dibulatkan menjadi 2 rupiah setara 2.000 rupiah. Selain itu, sangat penting juga bagi pulau-pulau terluar dan pedalaman Indonesia untuk memiliki pecahan uang terkecil ini.

"Karena kalau tidak tersedia dan terdistribusi dengan baik, akan memicu inflasi yang tidak perlu saat masyarakat menggunakan uang tunai. Terlebih di Indonesia, penggunaan uang tunai sebagai alat pembayaran masih lebih tinggi dibanding non-tunai,” imbuh Lana.

infografik redenominasi pemotongan nilai mata uang

infografik redenominasi pemotongan nilai mata uang

Siapkah Indonesia?

Lantas, siapkah Indonesia dengan redenominasi? Ekonom dari Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adinegara menyebutkan, terdapat tiga syarat utama sebelum dilakukannya redenominasi mata uang oleh sebuah negara.

Pertama, nilai tukar stabil. Kedua, inflasi terkendali dan ketiga fundamental ekonomi harus dalam kondisi yang baik. Dalam konteks ini, menurut Bhima, perekonomian Indonesia diperkirakan masih akan menghadapi tekanan eksternal maupun internal yang cukup besar akibat aksi perang dagang AS-Cina dalam kurun waktu dua tahun ke depan.

Tekanan tersebut mengakibatkan rendahnya harga komoditas yang ujungnya memengaruhi kinerja ekspor dan impor serta defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD).

Pertumbuhan ekonomi RI yang juga masih terbelenggu di kisaran 5 persen dengan daya beli masyarakat sementara ini dalam tahap pemulihan. Laju inflasi yang berisiko naik karena rencana kebijakan mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik di tahun 2020 patut pula menjadi pertimbangan dalam redenominasi.

Inflasi pangan juga perlu dicermati, di samping nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang masih berisiko melemah hingga ke kisaran Rp14.500 per dolar AS di penghujung 2019. "Jadi kalau redenominasi dilakukan secara terburu-buru, justru kepercayaan masyarakat menjadi menurun terhadap rupiah," ungkap Bhima kepada Tirto.

Latar belakang kondisi ini, menurutnya, akan menambah kepanikan dan menaikkan permintaan mata uang dolar AS. Dengan demikian, tujuan redenominasi bisa tidak tercapai. Selain itu, imbuh Bhima, redenominasi membutuhkan persiapan dan sosialisasi yang panjang.

Turki, misalnya, memerlukan waktu selama 10 tahun untuk persiapan dan sosialisasi redenominasi atas mata uang lira. Pada 2005, Turki memangkas 6 angka nol dalam mata uangnya.

Persiapan tersebut, menurut Bhima, terutama berkaitan dengan transaksi pembukuan dan transaksi pelaku usaha di masyarakat. Biaya transisi menuju redenominasi ini juga terbilang mahal bagi pelaku usaha.

Belajar dari pengalaman sanering di pengujung tahun 1950-an dan redenominasi yang dilakukan pada 1965 di Indonesia, edukasi dan sosialisasi harus dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan terutama di pedesaan. Hal ini perlu dilakukan agar tidak menimbulkan gejolak di industri keuangan Indonesia.

"Kesimpulannya, RUU Redenominasi kecil kemungkinan disahkan hingga 2024 mendatang," kata Bhima.

Baca juga artikel terkait REDENOMINASI RUPIAH atau tulisan lainnya dari Dea Chadiza Syafina

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara