tirto.id - Di pengujung 1950-an, Republik Indonesia kembali diguncang krisis keuangan. Pada awal dekade itu, krisis serupa juga pernah menyerang. Tapi kali ini, keguncangan finansial tampaknya lebih fatal. Presiden Sukarno beserta perangkat pemerintahannya pun memberlakukan kebijakan darurat agar perekonomian negara tidak sekarat.
Sanering (pemotongan nilai mata uang) hingga redenominasi (penyederhanaan nilai mata uang tanpa mengurangi nilai tukar) diterapkan. Namun, kian rumit dan panasnya situasi politik membuat upaya perbaikan moneter menjadi kurang maksimal, ditambah lagi dengan terjadinya peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 yang akhirnya menumbangkan rezim Orde Lama.
Sukarno gagal mengulangi keberhasilan menjinakkan krisis ekonomi sebelumnya. Kala itu, strategi gunting uang yang diterapkan pemerintah membuahkan hasil gemilang. Tapi, kali ini tidak.
Gara-Gara Ekonomi Terpimpin
Pemerintahan Sukarno menerapkan sistem ekonomi terpimpin yang merupakan turunan dari sistem politik yang digunakan di Indonesia menjelang dekade 1960-an itu, yakni Demokrasi Terpimpin.
Boediono dalam buku Ekonomi Indonesia (2017) menjelaskan, sistem ekonomi terpimpin mendalilkan bahwa negara harus berperan untuk “memimpin” ekonomi nasional melalui dibentuknya jalur-jalur pengaturan dan komando yang tegas terhadap sektor-sektor utama. Dan, semuanya itu didasarkan pada satu rencana nasional yang komprehensif (hlm. 95).
Dengan kata lain, pemerintah pusat mengontrol penuh jalannya perekonomian negara. Semasa penerapan sistem ekonomi terpimpin, kata Mohammad Hatta, “Rakyat tidak lagi berekonomi, melainkan mengerjakan ekonomi menurut perintah dan disiplin.”
Sistem ekonomi terpimpin dianut negara-negara Blok Timur, macam Rusia atau Cina. Sukarno kala itu juga cenderung mendekat kepada Blok Timur ketimbang negara-negara Blok Barat yang liberal. Ia menolak mentah-mentah bantuan dari Amerika Serikat. Bahkan, atas perintah presiden, Indonesia menarik diri dari keanggotaan IMF dan Bank Dunia.
Emil Salim melalui buku Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir: 1966-1982 (2005) suntingan Hadi Soesastro dan kawan-kawan menuliskan, sistem ekonomi terpimpin sangat bergantung kepada orientasi politik otoritas penguasa (hlm. 67). Pembangunan tidak sepenuhnya berkembang karena uang negara lebih banyak ditujukan bukan untuk kepentingan ekonomi.
Urusan ganyang Malaysia dan upaya perebutan Irian Barat yang digalakkan Bung Karno pada awal-awal dekade 1960-an mengakibatkan anggaran keuangan negara tersedot untuk kepentingan non-ekonomi itu, yang kemudian memantik guncang perekonomian negara.
Doktrin ekonomi terpimpin telah menguras potensi ekonomi Indonesia karena digunakan untuk membiayai proyek-proyek politik pemerintah. Menurut data Bank Indonesia (BI) dalam “History of Monetary Period 1959-1966”, sepanjang periode 1960-1965, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PBD) sangat rendah. Laju inflasi teramat tinggi hingga mencapai 635 persen pada 1966. Investasi pun merosot tajam.
Upaya Nekat Atasi Krisis
Pemerintah segera melakukan kebijakan pengetatan moneter agar negara tidak semakin terbenam dalam krisis. Sanering atau pemotongan nilai mata uang mulai diterapkan terhitung sejak 25 Agustus 1959. Uang pecahan 500 dan 1.000 rupiah diturunkan nilainya 10 persen, menjadi 50 rupiah dan 100 rupiah. Dengan kata lain, nilai uang dipangkas hingga 90 persen.
Sanering—yang oleh pemerintah disebut dengan istilah “penyehatan uang”—ditempuh untuk mencegah inflasi semakin tinggi, mengendalikan harga, meningkatkan nilai mata uang, dan memungut keuntungan tersembunyi dari perdagangan.
Intinya, tulis Hariyono dalam Penerapan Status Bahaya di Indonesia: Sejak Pemerintah Kolonial Belanda hingga Pemerintah Orde Baru (2008), sanering dilakukan juga untuk mengurangi jumlah persediaan dan peredaran uang, dari 34 miliar rupiah menjadi 21 miliar rupiah (hlm. 271).
Namun, sebagian kalangan ternyata belum siap dengan kebijakan yang terbilang ekstrem ini. Disebutkan Anna Fauziah Diponegoro dalam Harta Bumi Indonesia (2007), banyak orang yang pingsan, bahkan meninggal mendadak karena syok, akibat penerapan sanering (hlm. 110).
Sanering juga menyebabkan daya beli masyarakat menurun drastis karena pemotongan nilai uang tidak diikuti dengan penurunan harga-harga barang. Artinya, nilai uang terhadap barang berubah menjadi lebih kecil lantaran yang dipotong adalah nilainya.
Perilaku para spekulan dan profitur membuat keadaan semakin runyam. Sehari sebelum kebijakan diterapkan, mereka memborong aset-aset milik masyarakat yang belum paham soal sanering. Setelah sanering diterapkan, uang yang diterima sudah turun nilainya.
Langkah lainnya, pemerintah membekukan 90 persen giro dan deposito di bank di atas 25.000 rupiah dan menukarnya dengan surat utang. Bersamaan dengan itu, dilakukan devaluasi dari 11,4 rupiah menjadi 45 rupiah per dolar AS. Boediono dalam bukunya menilai, ini langkah “tanggung” karena di pasar bebas waktu itu kurs sudah mencapai sekitar 150 rupiah per dolar AS (hlm. 100).
Beberapa kebijakan moneter penting pemerintah yang amat krusial itu ternyata sama sekali tidak melibatkan pihak Bank Indonesia (BI). Merasa dilangkahi, Gubernur BI saat itu, Loekman Hakim, mengajukan pengunduran diri kepada Presiden Sukarno.
Begitulah sistem ekonomi terpimpin. Pemerintah memegang penuh kendali perekonomian negara. Bahkan, terkesan ada tekanan cukup kuat untuk membatasi kewenangan BI sebagai bank sirkulasi dan penjaga stabilitas moneter.
Upaya Gagal, Presiden Terjungkal
Ternyata, sanering dan kebijakan moneter lainnya yang diterapkan pemerintahan Sukarno menjelang berakhirnya tahun 1959 itu tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Perekonomian masih limbung, laju inflasi kurang bisa dibendung, harga-harga barang pun kian melambung.
Ditambah lagi, memasuki dekade 1960-an, Presiden Sukarno gencar melakukan gebrakan yang justru semakin membuat situasi politik tidak menentu, yakni kampanye ganyang Malaysia dan pembebasan Irian Barat (Papua). Keuangan negara pun kian guncang karena tersedot untuk membiayai misi-misi politik itu.
Pada 1961, kondisi moneter nasional semakin parah. Terjadilah hiperinflasi yang ditandai dengan laju inflasi yang sangat tinggi, bisa di kisaran 100 persen atau bahkan lebih.
Berdasarkan data yang tertulis dalam The Indonesian Economy: Facing a New Era? (1966) karya J. Panglaykim & H.W. Arndt, sejak 1961, tingkat persentase inflasi lebih tinggi daripada jumlah uang yang beredar.
Tahun 1961, peredaran uang meningkat 41 persen, sementara laju inflasi 156 persen. Situasi ini semakin parah dari tahun ke tahun. Puncaknya terjadi pada 1965, tingkat edar uang naik hingga 161 persen dengan inflasi yang menembus angka 592 persen (hlm. 60).
Pemerintah bahkan mengalami defisit anggaran, dari 29,7 persen pada 1961, kemudian berturut-turut 38,7 persen (1962), 50,8 persen (1963), 58,4 persen (1964), hingga 63,4 persen (1965).
Indonesia berada di titik nadir. Di tengah situasi ekonomi dan politik yang amat buruk, pemerintah akhirnya menerapkan kebijakan redenominasi atau penyederhanaan nilai mata uang tanpa mengurangi nilai tukar. Pada 13 Desember 1965, diterbitkan pecahan uang baru 1 rupiah yang memiliki daya beli setara dengan 1.000 rupiah.
Berbeda dengan sanering, redenominasi tidak mengurangi nilai mata uang tersebut sehingga tidak mempengaruhi harga barang. Tujuan redenominasi pada intinya adalah untuk menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dalam bertransaksi.
Namun, tetap saja timbul kebingungan di masyarakat. Redenominasi juga punya kelemahan, apalagi jika diterapkan di negara luas seperti Indonesia dengan masyarakat yang memiliki tingkat pemahaman berbeda-beda.
Harga barang-barang menjadi simpang-siur karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah ihwal redenominasi. Adaptasi harga barang di daerah-daerah sangat lambat. Beredarnya dua jenis uang pada saat yang bersamaan, uang lama dan uang baru, memicu munculnya masalah baru.
Situasi bertambah pelik karena saat itu Indonesia sedang dilanda keguncangan setelah peristiwa G30S 1965. Kecemasan masyarakat atas gejolak politik dan situasi ekonomi yang kian memburuk menambah krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Gelombang demonstrasi pun dilakukan sejak awal 1966.
Untuk keduakalinya dalam waktu kurang dari 7 tahun, rezim Orde Lama gagal mengatasi krisis. Kuatnya sentimen dan pertarungan kepentingan politik kian meluruhkan pengaruh Sukarno, hingga akhirnya sang presiden pun terjungkal dari takhtanya.
Editor: Ivan Aulia Ahsan