tirto.id - Nigeria memiliki sumber daya alam yang cukup besar, khususnya minyak. Membuat mereka menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di Afrika. Namun, distribusi kekayaannya tidak merata sehingga jumlah masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan sangat tinggi.
Tekanan ekonomi ini mendorong banyak warga Nigeria memutuskan untuk merantau, mencari penghidupan yang lebih baik. Tak jarang, mereka menempuh cara-cara ilegal dan berbahaya.
Pertolongan terhadap empat imigran gelap asal Nigeria oleh polisi federal Brasil baru-baru ini menjadi contoh nyata. Mereka rela bersembunyi di ruang sempit haluan kapal yang bertolak melintasi Samudra Atlantik selama 14 hari.
Keberanian menempuh risiko tinggi dengan mempertaruhkan nyawa dalam perjalanan laut sepanjang 5.600 kilometer itu menunjukkan bahwa mereka rela menempuh cara-cara ekstrem guna memperbaiki nasib.
Para imigran gelap membawa beban kemanusiaan yang di dalamnya juga mengandung isu keamanan nasional serta dampak sosial yang sangat luas. Artinya, sambil mempertahankan integritas perbatasan multinasional, kebijakan imigrasi juga perlu mempertimbangkan asas keadilan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Catatan sejarah menunjukkan berbagai alasan orang memaksakan diri untuk pergi dari kampung halamannya. Di abad pertengahan, misalnya, migrasi didorong oleh faktor-faktor politik seperti Perang Salib atau hasrat untuk mengeksplorasi dunia serta aktivitas perdagangan.
Faktor pendorong itu berkembang menjadi berbagai variasi lain pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 seperti munculnya industrialisasi dan pesatnya pembangunan ekonomi di negara-negara Eropa.
Hingga masa akhir Perang Dunia II, lonjakan populasi melahirkan berbagai tantangan baru dalam migrasi manusia. Di era ini, kesepakatan internasional dibuat dengan lahirnya kerangka hukum internasional yang secara khusus memberikan perhatian pada masalah pengungsi. Di masa ini pula lahir kesepakatan Refugee Convention yang mengatur perihal hak-hak para migran.
Mengambil Risiko Tinggi
Salah satu permasalahan utama dunia modern adalah kesenjangan ekonomi antara negara-negara maju dan berkembang. Ini menjadi faktor penting meningkatnya jumlah migrasi. Ditambah dengan permasalahan geopolitik yang semakin memicu orang untuk mencari tempat aman dan peluang yang lebih baik di negara-negara yang lebih makmur.
Pada abad ke-21, migrasi ilegal mencapai skala yang lebih besar dari sebelumnya. Para imigran gelap umumnya berasal dari wilayah-wilayah yang menghadapi pergolakan politik serta krisis ekonomi yang parah.
Menyadari hal itu, International Organization for Migration (IOM), memprioritaskan perhatian pada masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah konflik dan wilayah yang mengalami krisis. Dalam laporannya yang diterbitkan pada 2020 (PDF) wilayah-wilayah yang mendapatkan perhatian utama adalah Africa, Amerika Selatan, serta Asia Tenggara.
Seiring kian ketatnya regulasi internasional, berkembang pula variasi upaya ilegal manusia untuk pergi ke negara lain. Di Laut Mediterania, misalnya, migrasi ilegal kerap terjadi terutama dari wilayah-wilayah Afrika Utara dan Timur tengah yang hendak menuju Eropa.
Sebuah kasus pada 2013 menunjukkan salah satu upaya paling mematikan. Kala itu, sebuah perahu nelayan penuh sesak dengan muatan manusia tenggelam sekitar setengah mil dari Pulau Lampedusa di wilayah perairan Italia.
Dua tahun kemudian, masalah ini semakin parah dengan terjadinya lonjakan besar jumlah migrasi ilegal. Dari sekitar 153 ribu jiwa pada 2008, meningkat menjadi 1 juta jiwa pada 2015. Hal ini terutama disebabkan oleh meningkatnya jumlah warga Suriah, Irak, Libya, Afghanistan, dan Eritrea yang melarikan diri dari perang, konflik etnis, atau kesulitan ekonomi.
Di Mediterania, upaya imigran gelap semakin sering menjadi tragedi. Laporan UNHCR mencatat pada April 2015, sebuah kapal yang membawa sekitar 850 orang terbalik di Laut Mediterania, mengakibatkan sekitar 800 orang tewas. Mayoritas korban adalah imigran Afrika yang melarikan diri dari konflik dan kesulitan ekonomi, mencari kehidupan yang lebih baik di Eropa.
Kasus serupa juga terjadi di berbagai wilayah pesisir lainnya. Jika perairan Mediterania menghubungkan Eropa dengan Afrika, maka wilayah perairan Aegea menjadi jalur laut yang menjadi pilihan utama para imigran gelap dari Timur tengah. Posisi geografisnya yang terletak di antara Semenanjung Balkan Eropa dan Semenanjung Anatolia membuat Laut Aegea dianggap strategis sebagai jalur pelarian ilegal.
Pada Oktober 2015, sebuah kapal yang membawa pengungsi Suriah terbalik saat mencoba mencapai Pulau Lesbos di Yunani. Terbaliknya kapal yang bertolak dari Turki itu menyebabkan setidaknya 34 orang meninggal.
Tragedi serupa terus hampir berulang setiap tahun. Juni 2023, sebuah kapal nelayan yang penuh dengan migran dan pengungsi yang berusaha mencapai Eropa, terbalik dan tenggelam di lepas pantai Yunani.
Al Jazeera melaporkan setidaknya 78 orang tewas dan sisanya banyak yang tidak ditemukan. Tragedi ini menjadi salah satu tragedi paling buruk yang terjadi sepanjang tahun 2023.
Berbagai upaya berbahaya yang penuh risiko ini menunjukkan tingginya tingkat ketidakpuasan akan kondisi di negara asal. Peningkatan jumlah imigran ilegal juga memicu seruan global untuk mempersiapkan mekanisme hukum yang lebih aman bagi para pengungsi.
Di Eropa, kebutuhan akan landasan hukum yang berkeadilan dan menjunjung hak asasi manusia mutlak diperlukan terutama di negara-negara garis depan yang menjadi pintu masuk seperti Yunani dan Italia.
Sebagai negara-negara transit atau lapis kedua, Hungaria dan Kroasia juga menghadapi tekanan dari negara-negara Eropa Barat seperti Jerman dan Swedia yang merupakan tujuan akhir dari perjalanan para imigran gelap mempertaruhkan nyawa mereka.
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Irfan Teguh Pribadi