Menuju konten utama
Serial Krisis Ekonomi

Ekonomi Awal Orba: Ganti Rezim, Ganti Haluan Ekonomi

Akar-akar masalah ekonomi mulai diperbaiki. Utang dijadwal ulang, defisit APBN ditekan. Roda ekonomi digerakkan dengan berbagai insentif.

Ekonomi Awal Orba: Ganti Rezim, Ganti Haluan Ekonomi
Ilustrasi Uang. foto/istockphoto

tirto.id - Rezim berganti di tengah ekonomi Indonesia di ambang kejatuhan. Soeharto menggantikan Sukarno melalui sebuah proses politik yang penuh gejolak dan menelan banyak korban.

Soeharto mulai memegang kendali atas pemerintahan pada 11 Maret 1966. Saat itu, Sukarno belum resmi turun dari jabatan sebagai presiden. Roda pemerintahan dijalankan oleh presidium kabinet Soeharto-Sultan Hamengku Buwono IX- Adam Malik. Sejumlah langkah pemulihan ekonomi mulai dijalankan secara ad-hoc.

Maret 1967, MPRS mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Selama setahun ada dualisme kepemimpinan di Indonesia. Baru pada Maret 1968, Soeharto ditetapkan sebagai Presiden.

Soeharto menyadari pentingnya menata ekonomi sebagai landasan kekuasaannya. Ia menunjuk ekonom-ekonom muda dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) untuk merumuskan perbaikan ekonomi Indonesia. Para ekonom yang dia beri kepercayaan adalah Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Mohammad Sadli, Subroto, dan Emil Salim. Mereka disebut sebagai “Tim Ahli di bidang Ekonomi dan Keuangan" dan bertugas menyusun “Program Stabilisasi dan Rehabilitasi”. Soeharto juga menunjuk Radius Prawiro sebagai Gubernur BI.

Ia kemudian menerapkan kebijakan yang sangat berbeda dengan pendahulunya. Jika Sukarno menutup diri dari bantuan asing, tidak demikian dengan Soeharto. Soeharto membuka pintu lebar-lebar bagi negara dan donor asing untuk membantu Indonesia, tidak hanya untuk memberikan pinjaman, tetapi juga asistensi mengawal perekonomian Indonesia. Sempat disingkirkan di era Sukarno, IMF dan Bank Dunia kembali digaet di era Soeharto.

Pada 1955, Indonesia sempat mendapatkan pinjaman dari IMF sebesar 55 juta dolar AS. Namun, pada 17 Agustus 1965, Soekarno menolak IMF dan Bank Dunia. “Go to Hell With Your Aid!" demikian ucapan Soekarno kepada lembaga donor asing tersebut. Ia menolak lembaga tersebut dikarenakan, AS yang merupakan donor utama IMF dan Bank Dunia memberikan sejumlah syarat yang mendapatkan penolakan dari Indonesia. Misalnya, menghentikan konfrontasi dengan Malaysia. AS menuntut hal itu, sebagai syarat agar bantuan berikutnya cair.

Menghentikan Pencetakan Uang, Mengendalikan Inflasi

Hal paling mendasar yang harus dilakukan Indonesia untuk memperbaiki masalah ekonominya saat itu adalah menghentikan pencetakan uang yang telah memperburuk ekonomi Indonesia saat itu.

Radius Prawiro dalam Radius Prawiro, Kiprah, Peran dan Pemikiran (1998) menuliskan, proses penghentian pencetakan uang dilakukan dengan melakukan perubahan atas UU Pokok Bank Indonesia. UU tersebut sebelumnya dirombak, sehingga kewenangan BI di bidang moneter dipangkas. Keluarlah UU No 13 tahun 1968 yang mengembalikan peran dan wewenang bank sentral dalam pengendalian moneter. Pemerintah tak bisa lagi campur tangan langsung ke percetakan uang, seperti yang pernah terjadi di era Sukarno.

UU baru tersebut juga menghidupkan kembali Dewan Moneter. Namun, bentuk Dewan Moneter kali ini berbeda dengan UU Pokok Bank Indonesia Tahun 1953. Dewan Moneter bukan lagi merupakan bagian dari institusi Bank Sentral. Ia beranggotakan menteri-menteri yang memimpin di bidang keuangan, perdagangan, dan gubernur Bank Sentral. Tugasnya adalah membantu pemerintah dalam pemikiran, perencanaan, dan penetapan kebijakan di bidang moneter.

Pencetakan uang untuk menutup defisit dihentikan. Upaya lain untuk menyerap likuiditas dilakukan, termasuk dengan menyehatkan perbankan. Kredit digencarkan, masyarakat didorong untuk menabung. Saat itu, menabung memang belum menjadi tren. Masyarakat masih senang menyimpan hartanya dalam bentuk emas dan perhiasan karena trauma dengan sanering. Untuk mendorong minat masyarakat menabung, diberikan iming-iming berupa hadiah dan bunga yang tinggi. Menurut Radius Prawiro, persentase kenaikan uang beredar pada akhirnya bisa dikendalikan dari 765% pada 1966 menjadi 58% pada 1969, dan 33% pada 1970.

Secara paralel, pemerintah berupaya menerapkan kebijakan APBN yang berimbang. Pengeluaran disesuaikan dengan pendapatan negara.

Anggaran tahun 1966 dirombak, dengan fokus dari sisi pengeluaran. Program dan proyek yang dianggap pemborosan disetop. Salah satu pos pengeluaran yang menjadi fokus adalah anggaran khusus yang terdiri dari anggaran mandataris, anggaran KOTI (Komando Tertinggi), anggaran ABRI, dan anggaran Irian Barat. Dalam budget negara, anggaran tersebut dicatat sebagai P.M (Pro Memoria), tapi dalam pelaksanaannya hingga Juni 1966 telah melebihi Rp1 miliar (kurs saat itu). Pos tersebut dinilai sebagai anggaran non-budgeter, dan akhirnya dipangkas.

Boediono dalam Ekonomi Indonesia dalam Lintasan Sejarah (2016) menggarisbawahi, proses pembenahan APBN tidak mudah dilakukan dalam situasi negara yang belum normal. Tidak semua pengeluaran bisa dikurangi, misalnya gaji. Upaya-upaya untuk mengurangi subsidi juga tidak bisa dilakukan, meski sebenarnya membebani anggaran.

“Pengurangan subsidi bagi masyarakat dan BUMN mendapatkan resistensi kuat sehingga dilakukan hanya secara bertahap dan dengan irama sesuai dengan suasana dan peluang politik yang berkembang,” tulis Boediono.

Pengurangan subsidi BBM baru bisa dilaksanakan April 1968, 19 bulan setelah paket Oktober diluncurkan. Harga bensin dinaikkan 4 kali lipat menjadi Rp16 per liter, minyak tanah dari Rp2,5 menjadi Rp4 per liter, tarif bus kota naik 2 kali lipat menjadi Rp10, listrik juga naik terutama bagi industri. Tarif angkutan udara, kereta api, pos dinaikkan rata-rata 3 kali lipat. Resistensi dapat diredam.

Pada akhirnya, defisit anggaran dapat ditekan dari 124% pada 1966 menjadi 3% pada 1967. Pada 1968, anggaran belanja pemerintah sudah dibuat dalam bentuk anggaran berimbang.

Negosiasi Utang & Mendanai Pembangunan

Tim ekonomi juga bergerak membereskan masalah utang. Kondisi saat itu, jumlah utang melebihi kemampuan negara untuk membayar. Anne Booth dalam The Indonesian Economy in The Nineteenth and Twentieth Centuries, A History of Missed Opportunities (1998) menuliskan, pembayaran utang mencapai 530 juta dolar AS pada 1966. Sementara pendapatan ekspor (termasuk minyak) hanya 430 juta dolar AS. Pendapatan ekspor itu tidak cukup untuk kebutuhan impor bahan pangan, bahan baku, dan barang-barang modal. Penjadwalan utang adalah sesuatu yang harus dilakukan.

“Penundaan pembayaran angsuran-angsuran utang luar negeri terpasa dilakukan dengan mengadakan rescheduling. Tindakan ini tentunya tidak baik bagi nama kita di luar negeri, karena dengan demikian kita termasuk golongan defaulting debtors, akan tetapi jalan lain tidak ada karena bagaimanapun juga impor-impor esensial tidak boleh macet,” kata Radius Prawiro dalam makalahnya di depan Seminar Angkatan Darat II, seperti ditulis dalam bukunya.

Salah satu yang harus dinegosiasikan adalah utang kepada IMF. Karena pemerintah Orde Baru kembali minta bantuan IMF, maka catatan utang di masa lalu harus dibereskan.

Keanggotaan Indonesia yang sudah ditarik dengan UU No.1 Tahun 1966 dikembalikan. Soeharto yang belum resmi menjadi presiden RI, memutuskan untuk kembali menjadi anggota IMF dan IBRD/Bank Dunia, dan ditetapkan dengan UU No 9 Tahun 1966, yang kemudian diubah dengan UU No.2 Tahun 1967.

Namun, langkah Indonesia masuk kembali menjadi anggota IMF dan Bank Dunia tidak mudah. Radius Prawiro menuliskan, IMF minta Indonesia untuk terlebih dahulu membayar utangnya yang berjumlah 55 juta dolar AS. Pemerintah RI menyatakan bersedia membayar, tetapi hanya sejumlah 30 ribu dolar AS, sisanya akan diselesaikan dalam kurun waktu 1 tahun. Pemerintah RI juga minta agar IMF mengirimkan timnya ke Indonesia.

IMF menerima permintaan Indonesia. Tim IMF kemudian datang ke Indonesia dan langsung bertemu dengan menteri keuangan yang waktu itu dijabat Frans Seda. Tercapailah kesepakatan penjadwalan utang Indonesia ke IMF.

Upaya negosiasi penjadwalan utang juga dilakukan juga dengan kreditur lainnya.

Pada 19-20 September 1966, dilakukan pertemuan dengan negara-negara kreditor di Tokyo. Turut hadir pula tim dari IMF dan Bank Dunia. Forum ini kemudian dikenal Tokyo Club. Dilanjutkan pertemuan di Paris, dalam sebuah forum yang kemudian dikenal dengan Paris Club. Setelah beberapa kali pertemuan, akhirnya dicapai kesepakatan untuk penjadwalan utang Indonesia. Intinya, pokok utang dibayar bertahap dalam kurun waktu 30 tahun dari 1970 hingga 1999. Selama masa angsuran, Indonesia tidak dikenakan utang. Pembayaran bunga utang dicicil selama 15 tahun, mulai 1985.

Beres masalah utang, pemerintah bergerak mencari pendanaan untuk pembangunan. Melihat penerimaan negara yang belum besar, sulit memang untuk mendanai pembangunan, apalagi saat itu infrastruktur rusak dan produktivitas anjlok. Negara butuh biaya pembangunan.

Pemerintah mengupayakan pertemuan dengan beberapa negara industri maju di Amsterdam pada 23-24 Februari 1967. Pertemuan ini melahirkan Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) yang merupakan klub negara-negara donor bagi Indonesia.

Anwar Nasution dalam buku A Tribute to Ali Wardhana, Indonesia’s Longest Serving Finance Minister (2015) menulis, pinjaman dari CGI/IGGI digunakan untuk membantu pembangunan.

Infografik Cara Indonesia memperbaiki krisis ekonomi

Infografik Cara Indonesia memperbaiki krisis ekonomi. tirto.id/Quita

Pinjaman ini di APBN disebut sebagai pendapatan pembangunan, hanya bisa diambil untuk hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan. Secara umum, pinjaman asing datang dalam bentuk barang modal, spare parts, makanan, bahan pendukung industri dan pertanian yang diimpor dari negara-negara donor.

Anne Booth menyebut, pada 1967, negara-negara donor menyetujui paket bantuan sebesar 200 juta dolar AS. Namun, masih dari sumber yang sama, kreditor belum terlihat bersedia memberikan komitmen jangka panjang untuk mendanai program pemulihan di Indonesia. Hal itu dilakukan sampai mereka merasa yakin bahwa pemerintahan baru berjalan dengan mengimplementasikan kebijakan fiskal dan moneter yang kokoh.

Pembenahan lain yang dilakukan adalah menghapuskan sistem kurs ganda, karena justru memicu masalah penyelundupan, alih-alih menambah pemasukan negara.

Boediono menuliskan, dari sisi kebijakan mineter, Paket Stabilisasi 1966 secara khusus menyebutkan bahwa sistem kontrol devisa yang ada akan diganti dengan sistem devisa bebas dan sistem kurs ganda diganti dengan sistem kurs tunggal yang ditentukan oleh mekanisme pasar. Sasaran ini menjadi kenyataan pada 1971.

Repelita I

Selama masa peralihan kepemimpinan pada 1966-1967, proses perbaikan ekonomi berjalan perlahan. Di tengah upaya untuk memulihkan ekonomi, datang El Nino yang menyebabkan kemarau panjang. Hasil panen turun drastis. Impor beras tidak mencukupi kebutuhan nasional. Upaya menambah impor, tidak memungkinkan lagi karena negara-negara pemasok juga mengalami penurunan produksi. Harga beras melonjak tajam. Di Jakarta, kenaikan harga beras bahkan mencapai 5 kali lipat.

Kenaikan harga beras sedikit teredam setelah datangnya bantuan beras dan bulgur dari AS pada Desember 1967 dan Januari 1968. Namun, tulis Boediono, harga baru benar-benar turun dan stabil setelah panen besar pada April 1968.

Krisis beras kembali terjadi beberapa kali di awal era Orde Baru, hingga akhirnya keputusan swasembada beras diambil.

Secara perlahan, inflasi mulai bisa dikendalikan, dari 650% pada 1966 menjadi 112% pada 1967, dan 85% pada 1968, 10% pada 1969. Jumlah uang beredar juga semakin berkurang. Pemerintahan Orde Baru kemudian menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita I) untuk periode 1969-1974.

Akar-akar masalah ekonomi memang mulai dikendalikan oleh tim ekonomi pemerintahan Orde Baru. Hiperinflasi terkendali, utang bisa dinegosiasikan, kredit untuk pembangunan berhasil didapat, aktivitas produksi mulai bergerak.

Namun, Pelita I dimulai dengan situasi yang belum baik. Bondan Winarno dalam “J.B. Sumarlin, Cabe Rawit yang Lahir di Sawah” (2012) menyebut beberapa data ekonomi dan sosial Indonesia saat itu. Pada 1968, produksi beras hanya 103 kilogram per jiwa per tahun, jauh di bawah tingkat konsumsi rata-rata. Kekurangan masih harus ditutup dari impor.

Dari sisi pendidikan, hanya 41% anak-anak usia sekolah yang dapat ditampung oleh sistem dan fasilitas pendidikan dasar. Angka kematian bayi di Indonesia tercatat sebagai salah satu yang tertinggi di dunia, yakni 142 kematian untuk setiap 1.000 kelahiran bayi. Usia harapan hidup hanya 46 tahun. Jumlah penduduk miskin mencapai 70%.

Sebuah awal yang berat untuk dibenahi pada awal Pelita I. Bagaimana Soeharto mengatasinya? Nantikan serial krisis ekonomi Tirto berikutnya.

=====

Mulai Rabu, 30 September 2020, redaksi Tirto.id menurunkan serial artikel bertajuk "75 Tahun RI: dari Krisis ke Krisis". Serial ini akan memuat babak demi babak krisis ekonomi yang pernah dialami Indonesia. Artikel ditayangkan setiap Rabu.

Baca juga artikel terkait KRISIS EKONOMI atau tulisan lainnya dari Nurul Qomariyah Pramisti

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Windu Jusuf