tirto.id - Meski proklamasi sudah dibacakan pada 17 Agustus 1945, kemerdakaan Indonesia masih dirongrong oleh bekas penjajahnya hingga Belanda mengakui kedaulatan RI pada 1949. Selama empat tahun setelah Indonesia merdeka, Belanda masih mencoba kembali berkuasa di Indonesia.
Pada Desember 1949 Belanda memberikan pengakuan melalui Konferensi Meja Bundar (KMB). Namun pengakuan kedaulatan itu penuh dengan syarat yang merugikan Indonesia. Indonesia tak punya pilihan lain. Sebagian syarat akhirnya diterima. Tahun 1949 menjadi awal dari harapan Indonesia mandiri sebagai negara.
Layaknya sebuah negara baru yang berdiri, Indonesia menghadapi dua masalah besar yakni politik dan ekonomi.
Dari sisi politik, selama 10 tahun pertama, Indonesia harus menghadapi 10 kali ganti pemerintahan karena ketidakstabilan parlemen. Dimulai dari kabinet yang dipimpin Perdana Menteri Hatta (19 Desember 1949-6 September 1950), berlanjut ke kabinet Natsir, Sukiman, Wilopo, Ali Sastroamidjojo, Harahap, Ali Sastroamidjojo, dan Djuanda. Rata-rata kabinet hanya berkuasa kurang dari satu tahun, kecuali kabinet Ali Sastroamidjono yang bisa bertahan hingga hampir dua tahun dan Wilopo selama dua tahun dua bulan.
Pergantian pemerintahan tentu saja mengganggu proses rehabilitasi ekonomi yang sedang berjalan. Padahal, pada saat yang sama, Indonesia menghadapi masalah ekonomi yang tidak ringan seperti beban utang, defisit anggaran, tingkat produksi yang menurun, kerusakan infrastruktur, dan sebagainya.
Beban Ekonomi Negara Baru
Dalam salah satu poin Kesepakatan Ekonomi Keuangan (Financial-Economic Agreement) hasil perundingan KMB, Indonesia bersedia menanggung seluruh utang Pemerintah Hindia-Belanda sebelum perang dan utang NICA pasca-perang.
Menurut Prof. Sumitro Djojohadikusumo dalam Pelaku Berkisah: Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an (2005) yang ditulis Thee Kian Wie, Belanda minta Indonesia menanggung 3 miliar gulden utang dalam negeri dan 3,3 miliar gulden utang luar negeri. Indonesia hanya mau mengambil alih utang dalam negeri sebelum perang. Alasannya, utang pasca-perang sebesar 2 miliar gulden digunakan untuk membiayai agresi militer Belanda terhadap RI. “Belanda menyetujui pembatalan tuntutan pembayaran utang sebesar 2 miliar gulden yang kontroversial,” jelas Sumitro dalam buku yang ditulis Thee Kian Wie itu.
Utang itu jelas menjadi beban besar bagi Indonesia yang baru saja berdaulat. Howard Dick dalam The Emergence of A National Economy, an Economic History of Indonesia, 1800-2000 (2002), menuliskan, Indonesia bahkan harus menghabiskan hadiah kemerdekaan dari Amerika Serikat berupa pinjaman dari Export-Import Bank sebesar 100 juta dolar AS untuk membayar utang tersebut.
Kabinet Harahap yang berkuasa dari Agustus 1955 hingga 3 Maret 1956 pada akhirnya membatalkan kesepakatan soal utang tersebut pada Februari 1956. Namun, utang tersebut telah membebani keuangan Indonesia selama lima tahun. Dalam kurun waktu tersebut, Indonesia telah membayar 82% dari seluruh kewajiban utangnya, tulis Boediono dalam Ekonomi Indonesia dalam Lintasan Sejarah (2016).
Beban keuangan besar lain datang dari kewajiban untuk mempertahankan upah standar Eropa kepada 17.000 pegawai eks-Belanda. Bayaran yang mahal untuk para pegawai Belanda itu memicu kecemburuan para pegawai sipil pribumi. Indonesia juga diwajibkan menampung 26.000 tentara eks-KNIL, yang tentunya menelan anggaran tidak sedikit.
Tak hanya itu, Indonesia juga harus membenahi masalah infrastruktur. kepergian Belanda setelah datangnya Jepang diwarnai dengan penghancuran sejumlah infrastruktur. Sementara pada masa penjajahan Jepang, pembenahan infrastruktur tidak dilakukan. Kerusakan infrastruktur terjadi mulai dari transportasi, komunikasi, hingga irigasi, dan pembangkit listrik.
Pada saat yang sama, Indonesia harus menghadapi minimnya cadangan devisa. Anne Booth dalam The Indonesian Economic in the Nineteenth and Twentieth Centuries (1998) menuliskan, pada tahun 1949, Indonesia diperkirakan hanya memiliki cadangan devisa 142 juta dolar AS (tahun 1945 sebesar 458 juta dolar AS).Sementara rata-rata kebutuhan impor mencapai 137 juta dolar per bulan. Ini artinya, cadangan devisa yang dimiliki Indonesia tidak cukup untuk kebutuhan impor. Padahal impor dibutuhkan saat produksi nasional tidak mencukupi kebutuhan.
Masalah lain yang dihadapi adalah lemahnya daya saing ekonomi Indonesia. Boediono menuliskan, selama dijajah Jepang, ekonomi beroperasi dengan modus darurat perang. Salah satu akibat penerapan ekonomi dengan sistem ini adalah keterisolasian sehingga Indonesia kehilangan manfaat perdagangan.
Produksi dari perkebunan yang merupakan unggulan untuk ekspor, mengalami penurunan pada saat bersamaan. Thee Kian Wie menulis, Selama masa pendudukan Jepang, tentara Jepang memaksa perkebunan-perkebunan membabat pohonnya untuk ditanami tanaman pangan. Banyak pabrik gula di Jawa rusak berat akibat pendudukan Jepang dan perjuangan bersenjata melawan Belanda.
Sementara Bruce Glassbuner dalam The Economy of Indonesia (2007) menuliskan, kekuatan Indonesia sebagai salah satu sumber pemasok bahan mentah dunia melemah selama periode 1950-an, atau pasca-kemerdekaan. Ini karena penurunan produksi sejumlah komoditas, selama masa perang. Tercatat hanya karet dan minyak yang mengalami kenaikan ekspor pada periode tersebut. Pada saat yang sama, sejumlah negara justru semakin kuat posisinya di pasar dunia akhirnya menggeser peran Indonesia.
Anne Booth mencatat, kontribusi ekspor Indonesia pada perdagangan dunia mengalami penurunan drastis. Pada periode 1953 hingga 1966, volume ekspor Indonesia hanya tumbuh kurang dari 1% per tahun. Hal itu dinilai sebagai sebuah kemunduran karena pada awal 1920-an, Indonesia merupakan salah satu eksportir terkemuka dunia. Pada saat yang sama, menurut John R. Hanson, yang dikutip Anne Booth dalam bukunya, perdagangan dunia mengalami pertumbuhan sekitar 7% per tahun, level tercepat sejak 1800.
Persentase ekspor-impor Indonesia terhadap PDB juga mengalami penurunan tajam selama periode 1950-an hingga 1960-an
Berkah Sesaat “Boom Korea”
Dengan ekspor yang mengalami penurunan, otomatis Indonesia tidak bisa mendapatkan banyak devisa. Pendapatan lainnya juga belum optimal. Pada saat bersamaan, pengeluaran membesar untuk membayar utang dan juga kebutuhan untuk penanganan masalah keamanan.
Tidak berimbangnya pengeluaran dan pendapatan menciptakan defisit anggaran. Thee Kian Wie menyebut, pada tahun 1950-an, anggaran pemerintah mengalami defisit sekitar Rp1,7 miliar (kurs saat itu).
Memasuki tahun 1951, Indonesia tiba-tiba mendapatkan berkah dari Perang Korea. Terjadi “Boom Korea” yang secara drastis meningkatkan penerimaan ekspor Indonesia. Defisit anggaran langsung tertutupi.
Howard Dick menuliskan, Perang Korea membawa berkah karena adanya kenaikan harga-harga komoditas, terutama karet dan minyak, yang memberikan kontribusi hingga dua pertiga pendapatan ekspor. Hal itu membuat neraca perdagangan surplus. Pendapatan negara juga bertambah dari kenaikan pajak perdagangan.
Sayangnya, surplus hanya berlangsung selama satu tahun. Indonesia kembali mengalami defisit, bahkan lebih buruk jika dibandingkan pada tahun 1950. Menurut D.S. Paauw seperti dikutip Howard Dick, hal ini terjadi karena para eksportir--yang menerima dolar dalam jumlah banyak selama boom Korea--menukar dolar dengan barang-barang konsumer yang pada tahun 1951/1952 setengahnya merupakan barang impor.
Boom Korea kemudian malah menciptakan masalah baru. Banyak uang, tapi tidak banyak barang yang tersedia sehingga memicu impor. Yang terjadi selanjutnya justru defisit yang semakin parah baik neraca perdagangan maupun anggaran.
Kebijakan Tak Tepat Sasaran
Dari sisi anggaran, pendapatan semakin tidak bisa mengimbangi pengeluaran. Apalagi setelah pajak ekspor menurun drastis usai berakhirnya boom Korea. Menurut D.S. Paauw, seperti dikutip Howard Dick, akar masalah itu adalah kontraksi basis pajak. Pada 1956 dan 1957, hanya seperlima pendapatan diperoleh dari pajak langsung. Tahun 1939, angkanya malah dua kali lipat.
Pemerintah terlalu bergantung pada pajak perdagangan. Saat puncak boom Korea, pajak perdagangan--yang terutama berasal dari pajak ekspor--memberikan kontribusi hingga 70% pendapatan.
Langkah berikutnya untuk membatasi impor dengan pengenaan kurs ganda ternyata malah menimbulkan masalah.
Boediono menulis, sistem kurs ganda (multiple exchange rates) ini pada intinya merupakan pajak atas transaksi devisa. Perbedaan kurs antara devisa keluar dan devisa masuk inilah yang menjadi sumber penerimaan negara. Harapannya, defisit APBN akan tertanggulangi. Pada saat yang sama, impor akan berkurang karena kurs yang lebih mahal. Karena itu, defisit ganda bisa tertangani dalam satu waktu.
Sayangnya, kebijakan ini justru memunculkan masalah baru. Salah satunya adalah menjamurnya pasar gelap valas. Selama masa ini, kurs pasar bebas mencapai empat kali dari kurs resmi. Boediono menyebut, sistem kurs ganda tidak efektif menyelesaikan masalah karena tidak didukung oleh kebijakan fiskal. Akibatnya, uang beredar terus bertambah, sementara inflasi semakin meningkat tinggi.
Kurs ganda ini juga malah memunculkan kecurangan di bidang ekspor-impor. Para pengusaha pelayaran dan operator kapal melakukan kecurangan dengan mengurangi nilai tonase barang yang dikapalkan, untuk dilaporkan secara resmi. Tujuannya tentu saja untuk mengurangi “pajak” ekspor yang harus dibayar. Begitu pula dengan jumlah mata uang asing yang harus dilaporkan secara resmi. Saat kembali, mereka juga memalsukan data impor, khususnya tekstil dan barang elektronik.
Howard Dick dalam Antara Daerah dan Negara, Indonesia Tahun 1950-an (2011) menuliskan, sistem aneka kurs dan struktur perpajakan yang menyertainya sangat merugikan indonesia. Sistem ini telah menghancurkan perangsang untuk ekspor atau untuk menjaga kualitas ekspor. Sistem ini dianggap memberikan andil dalam turunnya ekspor Indonesia dari 1,7% pada tahun 1950 menjadi hanya 0,4% pada 1966.
Program-program lain yang diluncurkan juga memunculkan masalah-masalah kecurangan, misalnya Program Benteng yang semula ditujukan untuk mendorong kewirausahaan lokal sekaligus meredam impor.
Program Benteng ini menggunakan instrumen devisa dan kredit perbankan untuk meningkatkan importir pribumi. Mereka menerima jatah devisa dengan kurs murah. Sayangnya, program ini justru disalahgunakan karena pengusaha pribumi yang menerima jatah program ini justru “menjualnya” kepada importir yang sudah mapan.
Menurut van Zanden dan Marks, Program Benteng pada akhirnya menimbulkan korupsi skala besar dan mengacaukan praktik politik secara serius, dan hanya sedikit efektif mendorong pertumbuhan kewirausahaan. Banyak lisensi misalnya, dijual kepada importir Cina atau Belanda, sementara pengusaha pribumi hanya pura-pura tampil di muka saat berbisnis.
Teguh Sri Pambudi dan Harmanto Edy Djatmiko dalam buku Man of Honor, Kehidupan, Semangat, dan Kearifan William Soeryadjaya (2012) menuliskan, kurang lebih 700 pengusaha pribumi dihasilkan dari program ini. Namun, tak semua mampu mengelola bisnisnya dengan baik karena tidak adanya mental kewirausahaan. Mayoritas pengusaha pribumi kemudian melakukan kerjasama dengan pengusaha non-pribumi. Orang pribumi mengurusi lisensi bisnis, non-pribumi mengelola sisi operasionalnya.
Program ini akhirnya dihentikan karena dampak buruknya banyak.
Masalah-masalah baru bermunculan, sementara masalah defisit tetap tidak teratasi. Setelah boom Korea, defisit APBN terus meningkat dan memburuk di tahun 1958 saat batas pemberian kredit BI kepada pemerintah dihapus. Buruknya lagi, defisit diatasi dengan pencetakan uang secara masif.
Pada 1958, defisit tercatat sebesar Rp12,040 triliun, atau meningkat hingga 6 kali lipat dibandingkan defisit di tahun 1953. Sementara jumlah uang beredar mencapai Rp29,37 triliun, atau meningkat hampir 4 kali lipat dibandingkan jumlah uang beredar di tahun 1953.
Hal inilah yang kemudian memicu kondisi perekonomian yang semakin buruk di era 1960-an.
==========
Mulai Rabu, 30 September 2020, redaksi Tirto.id menurunkan serial artikel bertajuk "75 Tahun RI: dari Krisis ke Krisis". Serial ini akan memuat babak demi babak krisis ekonomi yang pernah dialami Indonesia. Artikel ditayangkan setiap Rabu.
Editor: Windu Jusuf