Menuju konten utama
Kebijakan Energi

Harga Pertamax & Urgensi Naiknya Harga BBM dan LPG Nonsubsidi

Fahmy Radhi mengingatkan Pertamina agar saat harga minyak dunia turun, maka harga BBM dan LPG non-subsidi harus disesuaikan kembali.

Harga Pertamax & Urgensi Naiknya Harga BBM dan LPG Nonsubsidi
Operator SPBU menunggu proses penyesuaian atau penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) di SPBU Dago, Bandung, Jawa Barat, Minggu (5/1/2020). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/ama.

tirto.id - “Pada saat harga minyak dunia turun, maka harga BBM non-subsidi juga harus diturunkan!” demikian pernyataan dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi ketika merespons kenaikan harga BBM non-subsidi. Sementara BBM jenis Pertamax (RON 92) dan elpiji melon atau LPG 3 Kg harganya tetap atau tidak naik.

Terhitung sejak Senin, 11 Juli 2022, harga Pertamax Turbo (RON 98), Pertamina Dex (CN 53), dan Dexlite (CN 51), serta LPG seperti Bright Gas serempak naik. Rata-rata penyesuaian pada bahan bakar tersebut mencapai Rp2.000.

Pertamax Turbo dari Rp14.500 naik menjadi Rp16.200. Pertamina Dex dari Rp13.700 menjadi Rp16.500. Sementara Dexlite (CN 51) dari Rp12.950 menjadi Rp15.000. Harga tersebut ditetapkan untuk wilayah Jakarta atau daerah dengan besaran pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) 5 persen.

Pertamina beralasan penyesuaian harga dilakukan mengikuti tren harga industri minyak dan gas dunia. Saat ini harga minyak ICP per Juni menyentuh angka 117,62 dolar AS per barel. Ini lebih tinggi sekitar 37 persen dari harga ICP pada Januari 2022.

Sedangkan untuk LPG, tren harga (CPA) masih di tinggi pada Juli ini yakni mencapai 725 dolar AS per Metrik Ton (MT). Jumlah itu lebih tinggi 13 persen dari rata-rata CPA sepanjang 2021.

“Penyesuaian harga ini dilakukan mengikuti tren harga pada industri minyak dan gas dunia," kata Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting ketika mengumumkan kenaikan pada Minggu (10/7/2022).

Irto mengklaim penyesuaian diberlakukan secara berkala sesuai dengan Keputusan Menteri ESDM 62/K/12/MEM/2020 tentang formulasi harga jenis bahan bakar umum (JBU).

Saat ini, penyesuaian dilakukan untuk tiga produk BBM, porsinya hanya sekitar 5 persen dari total konsumsi BBM nasional. Sedangkan produk LPG non-subsidi porsinya sekitar 6 persen dari total konsumsi LPG nasional.

Fahmy Radhi menilai, jika kenaikan harga BBM dan LPG non-subsidi tujuannya dilakukan untuk menyesuaikan harga keekonomian, maka sangat wajar. Terlebih ketiga produk BBM tersebut harga keekonomiannya masih jauh dari harga yang ditetapkan saat ini.

Namun, Fahmy mengingatkan Pertamina pada saat harga minyak dunia turun, maka harga BBM dan LPG non-subsidi harus disesuaikan kembali. Sebab, dasar Pertamina menaikkan nilai jual BBM tersebut adalah merespons penyesuaian harga minyak mentah dunia.

Meski begitu, dia memahami penyesuaian harga ke atas dapat menguntungkan Pertamina dan pemerintah. Bagi perusahaan pelat merah kenaikan harga BBM dan LPG non-subsidi bisa memperbaiki cash inflow. Sedangkan bagi pemerintah bisa menurunkan kompensasi.

Merujuk hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) biaya kompensasi Pertamina melonjak pada 2021 mencapai Rp68,5 triliun. Sementara masih terdapat pula Rp15,9 triliun kewajiban kompensasi pada 2020 belum dibayarkan pemerintah.

“Bagi pemerintah [kenaikan ini] bisa menurun dana kompensasi," kata Fahmi.

Penyesuaian Harga Sudah Tepat?

Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan menilai, kenaikan harga BBB non-subsidi merupakan aksi korporasi Pertamina. Kenaikan mengacu kepada peraturan pemerintah terkait formula harga BBM umum dalam Keputusan Menteri ESDM 62/2020. Di samping juga formula harga LPG sesuai dengan kenaikan CP Aramco.

Selain itu, jika mengacu kepada Perpres 69/2021 Pasal 14A ayat 1, maka kenaikan ini dinilai tidak salah. Sebab dalam pasal tersebut berbunyi: Harga jual eceran jenis BBM umum di titik serah untuk setiap liter, dihitung dan ditetapkan oleh Badan Usaha berdasarkan formula harga tertinggi yang terdiri atas harga dasar ditambah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

“Penyesuaian ini dipastikan sudah tepat karena ICP kita di Juni mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Begitu juga dengan kenaikan CP Aramco," ujarnya saat dihubungi reporter Tirto.

Meski demikian, berdasarkan perhitungannya kenaikan harga produk Pertamina ini masih di bawah keekonomiannya. Sehingga masih ada selisih yang harus ditanggung oleh Pertamina.

Selain itu, Mamit meyakini penyesuaian ini tidak akan membuat masyarakat bermigrasi dari pengguna BBM dan LPG non-subsidi ke subsidi. Karena berdasarkan catatan dia, saat ini pengguna Pertamax Turbo hanya 0,5 persen, Dexlite dan Pertamina Dex 5 persen dari total konsumsi BBM secara nasional. Untuk LPG Non-PSO sendiri konsumsi hanya 6 persen saja, sedangkan 94 persen masih menggunakan LPG 3 kg subsidi.

“Untuk migrasi saya kira sangat kecil ya," imbuhnya.

Meski berpotensi kecil, Mamit tetap mendorong pemerintah dan Pertamina untuk terus melakukan sosialisasi mengenai subsidi tepat sasaran. Setidaknya memberikan penjelasan bahwa penerima subsidi hanya untuk masyarakat tidak mampu.

Kedua, dia juga mendorong agar program pembatasan BBM subsidi seperti saat ini harus diteruskan dan dilakukan di seluruh wilayah Indonesia. Ketiga tidak kalah adalah perlunya reformasi subsidi dari berbasis barang ke berbasis orang harus disegerakan.

SOSIALISASI PENGGUNAAN TABUNG GAS

Petugas mempraktekkan cara pemasangan regulator ke tabung gas saat Sosialisasi Penggunaan elpiji dan Program Kemitraan Pertamina di Kelurahan Slerok, Tegal, Jawa Tengah, Rabu (27/3/2019). ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/foc.

Bakal Timbulkan Inflasi dan Gejolak di Masyarakat?

Fahmy Radhi benarani menjamin kenaikan harga Pertamax Turbo Cs dan LPG non-subsidi tidak akan memicu terjadinya inflasi dan menimbulkan gejolak di masyarakat. Sebab, jumlah konsumen Pertamax nonsubsidi ke atas proporsinya kecil dan kebanyakan golongan menengah ke atas.

“Biasanya orang kaya tidak suka gejolak," kata Fahmy.

Sementara, Mamit Setiawan menilai kenaikan harga BBM dan LPG non-subsidi juga tidak akan berdampak signifikan terhadap kenaikan inflasi. Adapun inflasi pada Juni 2022 tercatat tembus mencapai 4,35 persen secara year on year (yoy).

Berdasarkan kelompoknya, inflasi Juni disebabkan oleh makanan minuman dan tembakau. Sektor itu menjadi memberikan sumbangsih terbesar yakni 8,26 persen terhadap inflasi Juni secara yoy. Kemudian terbesar kedua diikuti sektor transportasi yang berikan andil 5,45 persen. Lalu sektor peralatan pribadi dan jasa lainnya berikan sumbangsih 4,43 persen.

“Karenanya kenaikan ini tidak ada berdampak signifikan terhadap inflasi," pungkas dia.

Baca juga artikel terkait HARGA BBM atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz