tirto.id - 'Pertamina ribet!'. Kalimat itu muncul dari mulut Putra (bukan nama sebenarnya) ketika mendengar ada rencana uji coba pembelian bahan bakar minyak (BBM) subsidi menggunakan aplikasi MyPertamina. Pemilik kendaraan roda empat itu, heran dengan logika berpikir sang pemangku kebijakan.
Putra menekankan jika tujuannya adalah pembatasan, maka seharusnya yang dibenahi adalah sistem pengawasan di lapangan. Bukan justru mengatur dengan pembelian lewat aplikasi. Karena hal tersebut menurutnya, justru akan mempersulit masyarakat ketika di lapangan.
“Cukup dengan pembatasan kendaraan saja tidak perlu mengatur dengan pembelian. Karena bakal ribet!” kata Putra kepada reporter Tirto, Rabu (29/6/2022).
Pembelian BBM lewat MyPertamina tahap I akan diuji coba dilakukan di 11 titik kabupaten/kota. Di antaranya: Kota Bukit Tinggi, Kabupaten Agam, Kota Padang Panjang, Kabupaten Tanah Datar, Kota Banjarmasin, Kota Manado, dan Kota Yogyakarta. Sementara untuk di wilayah Jawa Barat akan diberlakukan di empat kota/kabupaten, yaitu: Kota Bandung, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis dan Kota Sukabumi.
Nantinya, pengendara terlebih dahulu mendaftar melalui laman https://subsiditepat.mypertamina.id mulai Jumat, 1 Juli 2022. Sebelum mendaftar masyarakat perlu menyiapkan dokumen yaitu: KTP, STNK, Foto Kendaraan, dan dokumen pendukung lainnya. Setelah dokumen siap, warga bisa buka website, kemudian centang informasi memahami persyaratan. Klik daftar sekarang dan ikuti instruksi dalam website tersebut.
Setelah itu, masyarakat tinggal tunggu pencocokan data maksimal tujuh hari kerja di alamat email yang telah didaftarkan, atau cek status pendaftaran di website secara berkala. Apabila sudah terkonfirmasi, unduh (download) kode QR dan simpan untuk bertransaksi di SPBU Pertamina
Pjs Corporate Secretary Pertamina Niaga, Irto Ginting mengatakan, pembelian BBM melalui sistem aplikasi MyPertamina saat ini hanya dikhususkan untuk kendaraan roda empat atau lebih. Sementara roda dua atau sepeda motor masih bisa menggunakan nontunai dan tidak perlu mendaftar.
“Sementara untuk roda empat ke atas [roda dua] belum," kata Irto saat dikonfirmasi reporter Tirto.
Dari hasil kajian Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas), masyatakat bisa mendaftar hanya yang memiliki kendaraan roda empat ke atas dengan mesin di bawah 2.000 cc. Sementara di atas itu tidak bisa atau tak berhak mengonsumsi BBM jenis pertalite dan solar subsidi.
“Kendaraan roda empat tergolong mewah berdasar hasil kajian di atas 2.000 cc tidak bisa daftar. Selain mobil mewah, kalau dia mau dapat JBKP mesti register nanti diverifikasi," ujar Anggota Komite BPH Migas, Saleh Abdurrahman.
Infrastruktur Belum Memadai
Upaya perseroan membatasi dengan mengatur pembelian BBM jenis pertalite dan solar melalui aplikasi dinilai terlalu dipaksakan. Padahal dari sisi kesiapan infrastruktur dasar belum cukup memadai.
Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan, saat ini infrastruktur telekomunikasi di beberapa daerah masih belom maksimal. Sebab di Jakarta saja, sebagai Ibu Kota Negara masih susah mendapatkan akses sinyal. Apalagi daerah luar jauh dari Jakarta.
"Oleh karena itu jika serius ingin lakukan digitalisasi dengan melakukan pembatasan melalui mekanisme digitalisasi ini harus bangun infrastruktur dulu pastikan dari sinyal, telekomunikasi sudah bagus sampai ke daerah daerah," kata Mamit dihubungi terpisah.
Jika infrastruktur di atas sudah cukup memadai, maka BBM bersubsidi ini otomatis akan dinikmati oleh masyarakat-masyarakat berada di pelosok daerah. Terlebih, kata dia, masih banyak masyarakat di daerah terpencil yang berhak mendapatkan subsidi ini.
"Di pelosok sana justru masyarakat berhak mendapatkan ini berada di wilayah cukup jauh," ujarnya.
Selain telekomunikasi, Mamit melihat kendala lain terkait dengan edukasi. Ia mengatakan rata-rata penerima kompensasi atau subsidi BBM ini adalah masyarakat yang mayoritas adalah orang tua. Sehingga kemungkinan besar mereka tidak mengerti teknologi sangat besar.
“Banyak orang tua bisa saya katakan gaptek. Bahkan tidak punya handphone. Itu jadi kendala. Mudah-mudahan saja, mungkin orangtua gaptek tapi anaknya seharusnya bisa membantunya," jelasnya.
Pengamat Ekonomi IndiGo Network, Ajib Hamdani memahami, pembelian BBM subsidi menggunakan aplikasi MyPertamina memang akan menyusahkan masyarakat. Terlebih tidak semua masyarakat memiliki smartphone dan melek terhadap teknologi.
“Yang perlu menjadi perhatian adalah, kebijakan ini akan menimbulkan kesulitan di lapangan," ujarnya dihubungi terpisah.
Selain itu, kebijakan ini juga dinilai bakal menimbulkan potensi dispute atau perselisihan ketika di lapangan. Misalnya saja ketika ada masyarakat naik mobil dengan CC besar, namun ia memiliki aplikasi yang terdaftar di MyPertamina untuk beli BBM bersubsidi.
“Apakah petugas lapangan akan memberi atau tidak?" kata dia mempertanyakan.
Seharusnya, kata Ajib, pemerintah membuat aturan yang lebih substansif. Misalnya BBM bersubsidi, hanya untuk motor atau mobil dengan dengan CC rendah dan kendaraan umum. Sehingga penyaluran di lapangan bisa lebih tepat sasaran.
“Substansi subsidi akan lebih tepat sasaran,” kata dia.
Desakan untuk Dibatalkan
Di sisi lain, Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi justru mendesak pemerintah dan Pertamina untuk membatalkan kebijakan tersebut. Ia bahkan tak yakin pembatasan pertalite dan solar akan berhasil menggunakan MyPertamina.
Alasannya, pertama tidak semua konsumen menggunakan handpone untuk akses MyPertamina. Kedua, tidak semua SPBU punya akses internet, yang dibutuhkan aplikasi MyPertamina.
“Dengan potensi masalah tersebut, pembatasan pertalite via MyPertamina sebaiknya dibatalkan," ujar Fahmy saat dihubungi reporter Tirto.
Fahmy menyebut jika ini tetap dijalankan, maka ada potensi rakyat di daerah tidak bisa memperoleh subsidi. Hal ini karena masyarakat tidak bisa gunakan MyPertamina disebabkan tidak punya gadget dan tidak ada akses internet.
“Jadi silakan uji coba, tapi kalau misalnya uji coba menimbulkan masalah dan tujuan pembelian subsidi tidak tercapai, maka Pertamina harus membatalkan!" tegasnya.
Anggota Komisi VI DPR, Rudi Hartono Bangun mengingatkan, jangan sampai kebijakan ini justru menyulitkan masyarakat, karena harus menggunakan smartphone. Pembuat kebijakan yang menyangkut kehidupan masyarakat luas, menurutnya, juga harus menyesuaikan kondisi masyarakat. Karena tidak semua lapisan masyarakat mudah mengakses akun MyPertamina.
“Jadi selain mempertimbangkan soal penyaluran BBM bersubsidi, juga harus dipikirkan perlakuan kepada masyarakat yang HP-nya belum bisa mengunduh aplikasi MyPertamina,” ujar Rudi.
Sebagai mitra kerja Kementerian BUMN dan Pertamina, Rudi mengaku akan memantau implementasi kebijakan ini di daerah pemilihannya, Sumatera Utara III. Termasuk dia akan mempertanyakan hal ini dalam rapat kerja dan rapat dengar pendapat mendatang antara Komisi VI DPR RI dan direksi Pertamina.
“Intinya, jangan sampai membuat kebijakan yang menyulitkan rakyat kecil dan di daerah,” pesan Rudi.
Alasan di Balik Pembelian BBM Lewat Aplikasi
Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Alfian Nasution mengungkapkan, salah satu alasan Pertamina mengambil inisiatif tersebut karena banyak penyaluran di lapangan tidak tepat sasaran. Jika tidak diatur, maka besar potensinya kuota yang telah ditetapkan selama satu tahun tidak akan mencukupi.
“Untuk memastikan mekanisme penyaluran makin tepat sasaran, maka Pertamina Patra Niaga berinisiatif dan berinovasi untuk melakukan uji coba penyaluran pertalite dan solar bagi pengguna berhak yang sudah terdaftar di dalam sistem MyPertamina," ujarnya.
Penyaluran BBM subsidi, menjadi satu amanah yang diberikan kepada Pertamina Patra Niaga, Sub Holding Commercial & Trading PT Pertamina (Persero) dalam rangka memenuhi kebutuhan energi yang terjangkau bagi masyarakat. Sebagai BBM bersubsidi, penyaluran solar dan pertalite penugasan ini diatur oleh regulasi, antara lain Peraturan Presiden No 191/2014 dan Surat Keputusan (SK) BPH Migas No 4/2020.
“Dalam menyalurkan BBM subsidi ada aturannya, baik dari sisi kuota atau jumlah maupun dari sisi segmentasi penggunanya," jelasnya.
Saat ini segmen pengguna solar subsidi ini sudah diatur. Sedangkan pertalite segmentasi penggunanya masih terlalu luas. Oleh karena itu, sebagai badan usaha yang menjual pertalite dan solar, pihaknya harus patuh, tepat sasaran dan tepat kuota dalam menyalurkan BBM yang disubsidi pemerintah.
Sementara itu, Kantor Staf Presiden (KSP) menyebut pengaturan pembelian BBM jenis khusus penugasan seperti pertalite dan solar subsidi dalam rangka untuk menjaga ketahanan energi Indonesia.
"Jika tidak diatur, besar potensinya kuota yang telah ditetapkan selama satu tahun tidak akan cukup. Ini demi menjaga ketahanan energi kita,” ujar Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Hageng Nugroho.
Berdasarkan catatan Pertamina dari kuota yang diberikan sebesar 23,05 juta kiloliter, konsumsi pertalite sudah mencapai 80 persen pada Mei 2022. Sementara konsumsi solar subsidi mencapai 93 persen dari total kuota awal tahun sebesar 15,10 juta kiloliter.
Sehingga penyaluran BBM subsidi harus sesuai ketentuan yang berlaku baik jumlah kuota maupun segmentasi pengguna. Saat ini, segmen solar subsidi dinilai lebih tepat sasaran, sementara pertalite masih belum optimal.
“Oleh sebab itu, perlu diatur yang bisa mengonsumsi pertalite. Misalnya apakah mobil mewah masih boleh? Padahal mereka mampu beli yang nonsubsidi,” jelasnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz