Menuju konten utama
Kebijakan Subsidi Energi

Menimbang Rencana Pembatasan Pembelian Pertalite & Subsidi Tertutup

Fahmi menilai jika pemberian subsidi melalui pembatasan pembelian pertalite dengan penetapan kriteria konsumen, maka sangat tidak tepat.

Menimbang Rencana Pembatasan Pembelian Pertalite & Subsidi Tertutup
Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite ke sepeda motor konsumen di SPBU Yos Sudarso, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Selasa (5/4/2022). ANTARA FOTO/Makna Zaezar/rwa.

tirto.id - Pemerintah berencana menerapkan skema subsidi tertutup untuk pembelian bahan bakar minyak (BBM) dan LPG 3 kg atau gas melon. Pertimbangan ini diambil lantaran masih banyaknya pemberian subsidi energi di lapangan tidak tepat sasaran.

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Edy Priyono menilai, skema subsidi terbuka seperti sekarang ini, dikhawatirkan volumenya bisa menjadi tidak terbatas. Masyarakat yang tidak masuk kategori penerima subsidi malah ikut menikmati.

“Agar lebih tetap sasaran, hanya mereka yang miskin atau rentan miskin yang [boleh] menikmati," kata Edy dalam pernyataannya, di Jakarta, Rabu (25/5/2022).

Untuk implementasi skema subsidi energi tertutup nantinya akan disesuaikan dengan waktu. Terutama melihat kondisi perekonomian terkini. Pemerintah juga masih menunggu kesiapan dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

“Ini untuk menjaring masyarakat yang berhak mendapat subsidi dan tidak menggangu daya belinya," ungkapnya.

Pjs Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting menjelaskan, pada prinsipnya baik BBM maupun LPG bersubsidi sudah seharusnya diterima oleh masyarakat yang berhak. Apalagi pemerintah sendiri sudah menetapkan pertalite atau BBM RON 90 menjadi jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP).

“Maka penyalurannya harus tepat kepada masyarakat yang berhak mendapatkan subsidi. Sehingga perlu diatur kriteria yang tepat," kata dia saat dihubungi reporter Tirto, Senin (30/5/2022).

Kriteria pembelian BBM dan LPG bakal diatur melalui revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM. Lampiran baru nantinya akan menekankan siapa-siapa saja kriteria yang berhak mendapatkan BBM bersubsidi.

"Ini yang sedang direvisi [Perpres 191] oleh pemerintah," kata Irto.

Mengacu pada Perpres di atas, sejauh ini hanya mengatur beberapa pengguna yang berhak atas solar subsidi. Di antaranya untuk sektor transportasi adalah kendaraan bermotor pelat hitam untuk pengangkut orang atau barang, kendaraan bermotor pelat kuning kecuali mobil pengangkut hasil tambang dan perkebunan dengan roda lebih dari enam.

Selain itu, kendaraan layanan umum (ambulans, pemadam kebakaran, pengangkut sampah), kapal angkutan umum berbendera Indonesia, kapal perintis, serta kereta api penumpang umum dan barang.

Direktur BBM Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas, Alfon Simanjuntak mengakui, pihaknya sudah memegang kriteria masyarakat berhak untuk membeli maupun mendapatkan BBM bersubsidi. Hanya saja, ia enggan membocorkan sebelum aturan teknis tersebut selesai.

“Saya belum bisa menyampaikan sampai ketentuan sebagai dasar hukum terbit," kata dia saat dihubungi terpisah.

Waktu yang Tepat untuk Subsidi Tertutup?

Terlepas dari aturan teknis mengenai kriteria masyarakat berhak mendapatkan subsidi, sudah seharusnya pemerintah melakukan transformasi ke arah subsidi tertutup dengan mengatur pembelian. Hal ini meminimalisir pemberian subsidi tidak tepat sasaran.

“Sudah saatnya kita memberikan subsidi kepada orang bukan lagi barang. Hal ini sangat penting karena jika kita subsidi kepada barang, maka dipastikan tidak tepat sasaran," ujar Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan saat dihubungi reporter Tirto.

Mamit menilai berapapun kouta yang dianggarkan dalam APBN pasti akan jebol karena siapapun bisa menggunakan barang subsidi tersebut. Hal ini karena tidak ada larangan yang jelas dari pemerintah terkait dengan hukuman bila tidak tepat sasaran.

Berdasarkan data APBN Kita, realisasi belanja negara untuk subsidi BBM dan LPG membengkak mencapai Rp34,8 triliun pada April 2022. Jumlah ini lebih tinggi 50 persen dibandingkan periode yang sama pada 2021, yakni Rp23,3 triliun.

Mamit menambahkan dengan adanya pengaturan pembelian subsidi energi ini pada akhirnya akan membantu negara meringankan beban keuangan selama ini untuk menambal subsidi. Dengan begitu, pemerintah bisa mengalokasikan dana tersebut untuk pembangunan sektor lain, tidak melulu subsidi energi.

“Bagi masyarakat, akan berdampak terhadap mereka penikmat subsidi tidak tepat sasaran," kata Mamit.

Sedikit banyaknya, kata Mamit, pengaturan subsidi tertutup juga akan berdampak terhadap pengeluaran dan daya beli bagi masyarakat. Karena ketika subsidi tepat sasaran, potensi kenaikan barang akan terjadi lantaran ada kenaikan biaya produksi bagi perusahaan selama ini seharusnya tidak menggunakan barang subsidi, tetapi menggunakan barang subsidi.

Pengamat BUMN, Hery Gunawan menambahkan, pengaturan pembelian BBM dan LPG dicanangkan pemerintah bertujuan agar tidak menabrak kuota subsidi sudah disediakan. Karena dengan model seperti sekarang, pembelian bebas, potensi realisasinya di atas kuota sangat besar.

“Dampaknya bukan hanya keuangan Pertamina karena harus talangi ketersediaan BBM bersubsidi itu, tapi juga beban keuangan pemerintah lantaran harus bayar kompensasi selisih harga keekonomian dengan harga jual," ujarnya.

Oleh karenanya, kata Hery, memang sebaiknya pola pemberian subsidi diubah langsung ke yang berhak. "Jadi transfer. Selanjutnya, untuk harga BBM subsidi cukup dikenakan batas atas," tandasnya.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi justru punya pandangan berbeda. Ia menilai jika pemberian subsidi melalui pembatasan pembelian Pertalite dengan penetapan kriteria konsumen, maka sangat tidak tepat.

“Alasannya sulit merumuskan kriteria siapa yang berhak membeli Pertalite harga subsidi. Lebih sulit lagi menerapkan kriteria di SPBU," kata Fahmi.

Selain itu, kata Fahmi, mekanisme tersebut akan ada dua harga berbeda antara subsidi dan nonsubsidi. Adanya dua harga berbeda otomatis akan mendorong moral hazard, baik dilakukan SPBU, maupun konsumen.

“Berdasarkan alasan tersebut, sebaiknya rencana pembatasan pertalite dan solar melalui penetapan kriteria harus dibatalkan," kata Fahmi yang juga mantan anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas pada era awal-awal Jokowi menjadi presiden.

Baca juga artikel terkait SUBSIDI ENERGI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz