Menuju konten utama

Petral Memang Bubar, tapi Praktik Mafia Migas Masih Gentayangan?

Petral resmi dibubarkan pemerintah Jokowi pada 13 Mei 2015. Bagaimana dengan praktik mafia migas saat ini?

Petral Memang Bubar, tapi Praktik Mafia Migas Masih Gentayangan?
Capres nomor urut 01 Joko Widodo menyampaikan pendapatnya saat debat capres 2019 putaran kedua di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay.

tirto.id - Pembubaran Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) menjadi salah satu capaian yang dipamerkan Joko Widodo pada sesi debat Pilpres 2019 jilid II, akhir pekan lalu. Di hadapan Prabowo Subianto, ia mengatakan pembubaran Petral sebagai bagian dari bentuk ketegasan pemerintah membersihkan tata kelola migas.

Pembubaran Petral pada 13 Mei 2015 sebagai salah satu rekomendasi dari Tim Tata Kelola Migas yang dibentuk Jokowi, memang sempat menjadi berita besar dan mendapat tempat dalam perbincangan publik dan elite politik.

Sebab, entitas anak usaha PT Pertamina (Persero) yang awalnya berbasis di Hongkong itu kerap disebut sebagai sarangnya para mafia migas.

Namun, benarkah pembubaran Petral telah berhasil membasmi praktik mafia migas di Indonesia?

Tak Diusut Tuntas

Saat didirikan pada 1978, Petral sebenarnya punya tugas sebagai "agen pemasaran" minyak bumi Indonesia. Mengingat, pada saat itu, Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor minyak bumi dan masih menjadi bagian dari OPEC atau Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Bumi.

Namun, sejak defisit minyak mentah menghantam Indonesia pada 2003, bisnis Petral turut berubah menjadi "agen pengadaan" minyak bumi dan bahan bakar minyak (BBM).

Sederhananya, Petral hanya bertugas sebagai makelar dari pemilik kilang yang ingin menjual minyaknya kepada Pertamina untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri.

Akan tetapi, cuan atau untung yang didapat dari bisnis ini ternyata sangat menggiurkan. Dari jasa makelar ini, Petral dikabarkan mengantongi hampir Rp250 miliar per hari. Artinya, dalam setahun, Petral bisa mendulang dana Rp91,2 triliun.

Angka itu tak jauh berbeda dengan hasil audit Kordha Mentha, lembaga auditor yang disewa pemerintah untuk mengaudit Petral, yang menunjukkan bahwa jaringan mafia migas Petral menguasai kontrak suplai minyak senilai 18 miliar dolar AS atau sekitar Rp250 triliun selama periode 2014-2015.

Semua pemasok minyak mentah dan BBM pada periode tersebut berafiliasi pada satu perusahaan yang menguasai kontrak pengadaan minyak senilai Rp6 miliar setahun--sekitar 15 persen dari total impor Pertamina.

Akibat ulah para mafia migas tersebut, Pertamina tidak memperoleh harga terbaik dalam pengadaan produk BBM.

Belakangan, Sudirman Said, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) era Jokowi yang kini berada di kubu Prabowo, mengatakan pembubaran Petral tak serta-merta membasmi praktik mafia migas di Indonesia.

Sebab, kata Sudirman, teka-teki soal penyebab kerugian Petral serta jaringan mafia yang berada di dalamnya belum diungkap secara tuntas.

Sudirman menyebut dirinya sempat berencana melaporkan temuan audit soal keberadaan mafia migas Petral ke KPK. Namun, rencana tersebut batal karena dihentikan "atasannya".

“Ketika mau melapor di malam itu dihentikan untuk tidak diteruskan. Jadi kalau dikatakan menterinya takut, guyonan saya 'enggak kebalik bro'," kata Sudirman di Media Center Prabowo-Sandi, Jakarta, pada 16 Februari 2019 atau sehari menjelang debat capres kedua.

Kala itu, kata Sudirman, dirinya memegang dua kasus mafia energi besar, yaitu: “Papa Minta Saham” dan Petral. Usai pelaporan Setya Novento ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI, kata Sudirman, ia sudah mewacanakan untuk melapor soal Petral ke KPK, tetapi "atasannya" meminta untuk tidak melanjutkan.

“Yang agak cemas atasan saya itu terhadap proses pembubaran Petral karena ditakut-takuti beberapa menteri, tapi saya mengatakan 'pak ini janji bapak dan saya itu diangkat jadi menteri diminta membersihkan mafia migas' karena itu saya push terus dan itu tadi saya tidak tahu sampai di mana, audit sudah selesai dan sudah jelas hasilnya," kata Sudirman.

Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmi Radhi menampik “tudingan” adanya upaya menghalang-halangi pengusutan tuntas mafia migas Petral saat Sudirman Said menjabat menteri ESDM.

Sebab, saat itu Fahmi yang masih menjabat sebagai anggota Tim Tata Kelola Migas (Satgas Anti Mafia Migas) telah lebih dulu menemukan kejanggalan-kejanggalan pengadaan minyak di Petral dan telah melaporkan temuannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Sesungguhnya kami sudah ke KPK, tapi hasil diskusi dengan KPK itu memang kesulitan mencari dua alat bukti atau tentang berapa kerugian negara. Jadi kalau Sudirman Said mengatakan Jokowi mencegah itu tidak sepenuhnya benar,” kata Fahmi saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (20/2/2019).

Hasil temuan satgas yang disebut oleh Fami juga tak jauh berbeda dengan hasil audit Kordha Mentha. “Kami menemukan suatu keanehan, yang memenangkan bidding (penawaran) itu negara yang tidak menghasilkan minyak seperti Italia dan Maldives,” kata Fahmi.

Sayangnya, kata Fahmi, waktu itu audit yang dilakukan oleh Tim Tata Kelola Migas hanya sebatas pada periode 2012-2014. Padahal, pengadaan minyak oleh Petral masih, bahkan setelah perusahaan itu dibubarkan.

Kontrak pengadaan minyak sekitar 10 juta kiloliter untuk periode Januari-Juni 2015 tidak segera diinvestigasi. Semenntara saat itu, Pertamina sudah langsung sesumbar bahwa pembubaran Petral membuat ongkos pengadaan minyak dapat dihemat jutaan dolar AS.

Meski demikian, kata Fahmi, kini impor minyak yang dilakukan Pertamina lewat Integrated Supply Chain (ISC) bisa lebih transparan lantaran dilakukan di Indonesia. Pertamina dapat secara langsung mencari minyak mentah maupun hasil minyak ke produsen-produsen minyak dunia, dan memperoleh harga lebih murah.

Dengan kata lain, mata rantai transaksi perdagangan bisa dipangkas. Karena itu, kata Fahmi, keberhasilan Jokowi patut diapresiasi, meskipun praktik mafia migas masih bergentayangan di Indonesia.

“Pembubaran Petral ini tidak mudah, banyak kekuatan yang ingin mencegah. […] pemerintah sebelum nya, Dahlan Iskan [menteri BUMN era SBY] juga enggak bisa [bubarkan Petral]. Dia bilang ada kekuatan langit ketujuh yang mencegahnya,” kata Fahmi.

Fahmi mengatakan, masih adanya praktik-praktik mafia migas di tahan air bisa dilihat dari sejumlah indikasi. Salah satunya upaya sistemik untuk menghalang-menghalangi Pertamina membangun kilang-kilang baru di Indonesia.

“Apa tujuannya? Kalau kilang enggak dibangun, maka impornya membengkak,” kata Fahmi.

Dalam kasus ini, KPK sebenarnya sudah menelaah hasil audit forensik terhadap Petral dalam pengadaan minyak pada 2012-2014. Seperti dikutip Antara, 13 November 2015, Pertamina telah menyerahkan audit dari auditor Kordha Mentha.

Menurut temuan lembaga auditor Kordha Mentha, jaringan mafia migas telah menguasai kontrak suplai minyak senilai 18 miliar dolar AS selama tiga tahun.

Sayangnya, hingga saat ini, belum ada progres. Juru Bicara KPK, Febri Diansyah hanya menjawab singkat saat dikonfirmasi reporter Tirto.

“Saya belum dapat informasi tentang itu [progres penyelidikan dugaan korupsi Petral]” kata Febri, Rabu (20/2/2019).

Sementara Wakil Ketua KPK Suat Situmorang mengatakan, institusinya masih senantiasa menindak lanjuti prioritas kasus yang telah dibuat komisi antirasuah, apalagi yang menjadi perhatian publik.

"Migas masih jadi prioritas KPK jilid IV," kata Saut saat dikonfirmasi reporter Tirto soal kelanjutan kasus Petral, Rabu (20/2/2019).

Baca juga artikel terkait PETRAL atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana & Andrian Pratama Taher
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz