tirto.id - Kamis sore, 20 September 2018. Komisi Pemilihan Umum mengetuk palu: Pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno resmi berlaga melawan pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin. Laga pilpres akan digelar pada 17 April 2019. Walau kedua nama pasangan tersebut sudah diketahui sejak lebih dari satu bulan lalu, tapi masih ada yang bertanya-tanya: mengapa mereka?
Mengapa Prabowo-Sandiaga?
Untuk menjawabnya, kita perlu melihat tiga tahun ke belakang. Tepatnya, saat pembubaran fungsi Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) sebagai pintu masuk pengimpor minyak Pertamina.
Pembubaran Petral
13 Mei 2015, Petral dibubarkan. Mengapa Petral?
Jika ada pertanyaan, bagaimana dan siapa yang sanggup menjadi cukong politik di Indonesia? Jawabannya sebetulnya tidak terlampau sulit. Carilah bisnis yang besar dan kaya tapi bukan karena keunggulan produk atau komoditas.
Bisnis itu adalah bisnis perantara dalam skala masif dan terproteksi di bawah lindungan regulasi. Sampai tiga tahun lalu, hanya ada satu tipikal bisnis ini. Ia adalah Petral. Pekerjaannya mudah. Petral hanya menjadi perantara dari pemilik kilang yang ingin menjual minyaknya kepada Pertamina.
Dari jasa makelar ini, Petral dikabarkan mengantongi hampir Rp250 miliar per hari. Artinya, dalam setahun, Petral bisa mendulang dana Rp91,2 triliun. Itu dana yang sungguh-sungguh jumbo.
Angka tersebut tak jauh berbeda dari temuan Kordha Mentha, sebuah lembaga auditor forensik yang dikontrak oleh pemerintah. Laporan Kordha Mentha menyebut selama kurun 2012-2014, Petral mengeruk uang negara Rp250 triliun. Artinya, hampir Rp85 triliun per tahun.
Dengan uang segede itu, membiayai hajatan politik yang berisiko kehilangan sangat tinggi, bukanlah hal sulit dilakukannya.
Pertanyaan selanjutnya, siapa pengendali Petral? Laporan majalah Tempo mensinyalir sosok itu adalah Muhammad Riza Chalid; seorang yang tak tersentuh pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Tentu bukan kebetulan jika Riza kemudian dekat dengan Hatta Rajasa, besan SBY yang juga Menteri Perekonomian. Pada 2014, Hatta mencalonkan diri sebagai cawapres dari Prabowo Subianto. Riza saat itu menjadi salah satu donatur utama pasangan tersebut.
Pada 2 Desember 2015, dugaan atas donatur Pilpres 2014 itu terkuak secara tak sengaja berkat rekaman suara antara Setya Novanto (Ketua DPR 2014–2017), Riza Chalid, dan Direktur Utama PT Freeport McMoran Indonesia Maroef Sjamsoeddin. Momennya saat persidangan soal makelar saham Freeport oleh Mahkamah Kehormatan Dewan DPR di Jakarta. Petikan rekaman tersebut:
Setya Novanto: “Nasib, duit keluar banyak. Duit, Pak. Itu saya lihat kasihan. Ngapain itu? Udah. 50 M, 30 M. Begitu kita hitungin, udah 500 M. Ngapain? Hahahaa... .”
Riza Chalid: “Padahal, duit kalau kita bagi dua Pak, happy, Pak. 250 M ke Jokowi-JK, 250 M ke Prabowo-Hatta, kita duduk aja. Ke Singapura, main golf, aman. Hahahaa. Itu kan temen, temen semualah, Pak. Susahlah. Kita hubungan bukan baru kemarin. Masak kita tinggal, nggak baik. Tapi, kan sekarang udah nggak ada masalah. Sudah normal. Gitu.”
Dalam petikan rekaman itu, Riza mengakui menyokong Rp500 miliar untuk pasangan Prabowo-Hatta, yang akhirnya kalah oleh Joko Widodo–Jusuf Kalla pada Pilpres 2014. Setelah kalah, Riza merasa bahwa kehilangan uang sebanyak itu adalah hal yang enteng.
Tak sampai setahun setelah kemenangan Jokowi-JK, Petral dibubarkan.
Melumpuhkan Logistik Musuh
Salah satu yang dilakukan pertama kali oleh pemerintahan Jokowi adalah membubarkan Petral. Dalam teori militer, untuk mengalahkan musuh, hal paling dasar untuk dilumpuhkan adalah sumber logistiknya. Salah satu pengendali utama Petral adalah Muhammad Riza Chalid.
Pemimpin Redaksi Rappler Indonesia, Uni Lubis, mengenal Riza Chalid sebagai pialang komoditas sejak lama. Riza bekas rekanan Mamiek alis putri bungsu Soeharto saat dulu mencomblangi pembelian pesawat Sukhoi oleh TNI dari Rusia. Setelah era Reformasi, Riza diundang oleh menteri energi saat itu, Purnomo Yusgiantoro, menjadi pemasok minyak impor untuk Pertamina.
Dana yang berlimpah dan bisnis yang bertumpu pada regulasi menggoda Riza Chalid ikut cawe-cawe dalam dunia politik. Problemnya, posisi politik Riza tidaklah jelas kepada siapa loyalitasnya. Setelah 2004, ia pernah dikenal dekat dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan lingkarannya, hingga membiayai pesta pernikahan putri bekas ajudan Kalla, Komjen Syafruddin, yang di masa pemerintahan Jokowi menjabat Wakapolri dan kini Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Pada 2014, ganti Riza berada di lingkaran Hatta Rajasa, menteri perekonomian, besan Presiden SBY.
Dan seperti kita tahu, Pertal akhirnya benar dibubarkan. Pintu logistik utama—yang potensial bisa digunakan lawan—sudah terpotong.
Ancang-Ancang Pilpres 2019
Waktu berjalan. Pemerintahan Jokowi memasuki tahun keempat. Dalam kurun itu, politik Islam menguat menyusul keberhasilan gerakan yang dimotori Rizieq Shihab memenjarakan Gubernur DKI Jakarta Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama dengan pasal penodaan agama. Kubu Prabowo berada dalam barisan ini.
Pada Agustus 2018, KPU membuka pendaftaran peserta capres dan cawapres yang akan ikut berkompetisi di Pilpres 2019.
6 April 2018. Empat bulan sebelum momentum itu, Luhut Binsar Panjaitan bertemu dengan Prabowo Subianto di Hotel Grand Hyatt, Jakarta.
(Keduanya teman lama sejak dari era dinas militer. Luhut adalah komandan di Kesatuan Antiteror TNI, sementara Prabowo adalah wakil Luhut ketika itu.Keduanya juga sempat berbisnis bareng usai pensiun dengan mendirikan PT Kiani Kertas.)
Tak banyak yang bisa digali saat mantan perwira tinggi itu bertemu. Tapi, dua hari kemudian, Luhut berbicara terbuka. Ia mengakui memang menyarankan Prabowo untuk kembali maju menjadi capres pada Pilpres 2019. Pengakuan ini disusul oleh pernyataan Wasekjen Partai Persatuan Pembangunan Achmad Baidowi. Menurutnya, tujuan Luhut mendorong Prabowo untuk maju semata agar tidak terjadi calon tunggal pada Pilpres 2019.
Pertimbangannya sederhana. Calon tunggal presiden adalah kondisi yang sama sekali baru bagi Indonesia. Situasi seperti itu memancing keriuhan politik tak terkendali karena akan banyak sekali serangan dan argumen politik yang bisa mengganggu keabsahan pemerintahan.
15 April 2018, atau dua minggu kemudian, media Hong Kong Asia Times menceritakan kembali apa yang terjadi pada pertemuan itu. Asia Times menulis bahwa pertemuan itu adalah kali ketiga dalam tempo yang singkat.
Asia Times menggambarkan Prabowo tak lagi seenerjik empat tahun silam. Respons dan pembawaannya cenderung dingin. Banyak yang mengartikan, ini karena ia tak lagi memiliki cukup dana untuk bertarung di kancah politik seperti pilpres.
Dalam dua pertemuan sebelumnya, Luhut selalu mendorong agar Prabowo maju sebagai capres. Nah, dalam pertemuan ketiga, permintaan berubah. Luhut kali ini menawarkan Prabowo bersedia menjadi cawapres bagi Jokowi pada Pilpres 2019.
Permintaan itu dijawab oleh Prabowo tanpa menunggu lama. Prabowo mengatakan ia bisa menerima tawaran itu asalkan ia diberi kewenangan atas militer serta jatah 7 menteri dalam kabinet yang akan dibentuk nanti. Luhut agaknya tak menanggapi syarat tersebut.
Logistik yang Terkulai
Berapa uang yang dibutuhkan oleh seseorang yang berniat maju pada pemilihan presiden di Indonesia?
Ketum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar menyebut angka Rp4,5 triliun. Angka yang disodorkan oleh Muhaimin boleh jadi terlalu pesimistis. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pernah menghitung bahwa untuk mengikuti pilpres di tahun 2014, seorang capres mestinya menyiapkan logistik senilai Rp7 triliun.
Banyak pihak yang meragukan Prabowo memiliki dukungan dana sebesar itu. Mengingat ia sudah habis-habisan berlaga di dua Pilpres yang sama-sama berakhir dengan kegagalan. Tahun 2009, Megawati-Prabowo takluk di tangan SBY-Boediono. Tahun 2014, Prabowo-Hatta kalah dari Jokowi-JK.
Liarnya isu itu membuat adik kandung Prabowo, Hashim Djojohadikusumo, keluar kandang. Ia memberi pernyataan menjamin ketersediaan dana penopang pencapresan Prabowo. Hashim memang masih tercatat sebagai barisan orang paling tajir. Dalam peringkat orang terkaya versi Majalah Forbes yang dirilis November 2017, Hashim memiliki pundi senilai 850 juta dolar AS atau sekitar Rp12,7 triliun (kurs Rp15.000/dolar). Hashim pernah punya pengalaman "merugi" ketika harus menopang dana Pilpres kakaknya.
Pertanyaannya, apakah kekayaan sebanyak itu sudah benar-benar cukup? Hashim pasti butuh kongsi pendanaan buat Prabowo. Ia pernah mengungkapkannya secara eksplisit. "Kalau cawapresnya nanti ada akses ke logistik, itu alhamdulillah, puji Tuhan," ucap Hashim, awal tahun ini.
Masalahnya, cukong-cukong politik yang semula mudah didapatkan pada 2014 tak lagi bisa ditemukan saat ini. Tak ada yang siap menjadi kongsi dana di tahun depan. ‘Dibunuhnya’ Petral cukup membawa pesan bagi cukong-cukong politik untuk berpikir panjang sebelum memutuskan kepada siapa dana sumbangan akan mereka limpahkan.
Thus, kondisi logistik demikian tentu tak bisa dibiarkan.
Maka, pada 21 Juni 2018, koalisi Prabowo memilih cara termudah tapi belum pernah terbukti sukses di Indonesia, yakni penggalangan donasi publik. Melalui akun Facebook pribadi, Prabowo meluncurkan program donasi publik untuk partai Gerindra dan upaya pencalonan dirinya sebagai presiden:
“Saudara-saudara saya merancang suatu program pencari dana dari rakyat langsung dari pendukung saya dan Gerindra, saya namakan program ini Galang Perjuangan.”
Dalam agenda donasi publik itu, Gerindra menargetkan bisa meraup dana Rp10 triliun.
Detik-Detik Pencapresan
Batas waktu pendaftaran capres-cawapres kian dekat. Gerindra sudah mendapatkan partai yang siap berkoalisi, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat nasional (PAN). Sementara Partai Demokrat belum menentukan sikap yang jelas, walau condong ke koalisi Gerindra.
Untuk mencari cawapres, Gerindra menugasi tim yang dipimpin oleh Sandiaga Uno. Tim ini menjajaki sederet nama calon wapres yang sekiranya cocok menjadi sekondan Prabowo. Kala itu beredar nama-nama seperti Anies Baswedan, Gatot Nurmantyo, Salim Segaf, Ahmad Heryawan, Rizieq Shihab, Abdul Somad, Muhaimin Iskandar, Zulkifli Hasan, sampai Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Upaya mencari cawapres rupanya berjalan tersendat. Dalam internal koalisi Prabowo pun ada beberapa faksi yang justru menginginkan Prabowo cukup menjadi ‘king maker’ dan koalisi memunculkan nama capres yang sama sekali baru. Sosok Anies Baswedan, pemenang Pilkada DKI 2017, yang justru diunggulkan untuk menumbangkan Jokowi.
Usulan ini bukan tanpa alasan. Menguatnya suara politik Islam menyusul kesuksesan Gerakan 212 menumbangkan dan memenjarakan Ahok adalah potensi dukungan yang bisa diraup dalam Pilpres 2019. Dan Anies ada di tengah pusaran sentimen itu.
Sayangnya, Anies tak punya kendaraan politik dan sudah tentu tak punya dana super jumbo. Ia hanya mantan akademisi kampus. Padahal, dua syarat itulah yang paling dibutuhkan Prabowo untuk menopang dirinya dalam krisis menjelang limit pendaftaran capres-cawapres.
6 Agustus 2018. Di tengah kegalauan, koalisi Prabowo ternyata masih memperhitungkan suara ulama. Mereka menunggu hasil Ijtima Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama yang sedang berkumpul untuk merekomendasikan nama cawapres untuk Prabowo.
8 Agustus 2018. Dinamika bergulir cepat. Nama Anies lenyap, apalagi Gatot Nurmantyo. Menjelang sore, justru terlihat Prabowo memberikan angin seolah akan memilih AHY. Prabowo menjanjikan malam itu akan datang ke rumah SBY.
Tapi, hingga pukul 20.30, Prabowo tak penah muncul ke rumah SBY di Kuningan. Sebaliknya, ia menerima banyak tamu, dan di antaranya adalah Sandiaga Uno, letnan-nya di Gerindra sekaligus konglomerat Grup Saratoga.
Pukul 21.03, situasi berubah. Andi Arief, Wasekjen Demokrat, melalui Twitter menyebut Prabowo sebagai "jenderal kardus." Ia menuding Prabowo sudah memilih Sandiaga Uno sebagai cawapres karena konglomerat itu telah "membeli" dukungan PKS dan PAN, masing-masing Rp500 miliar. Prabowo benar-benar batal datang ke rumah SBY.
9 Agustus 2018. Orang-orang Demokrat tak henti meradang. SBY harus menenangkan emosi anak buahnya hingga pukul 01.30. “Ketum terutama meredakan emosi para kader. Itu yang paling banyak. Tidak boleh emosional segala macam,” kata Wasekjen Demokrat Ferdinand Hutahaean.
Menjelang siang, Hashim Djojohadikusumo mengatakan koalisi Prabowo akan mengumumkan pasangan capres-cawapresnya sore hari. Di pihak lain, muncul kabar Partai Kebangkitan Bangsa dan Golongan Karya menolak figur Mahfud MD sebagai cawapres pilihan Jokowi.
Tepat siang hari, Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan sudah menerima berkas permohonan surat keterangan "tidak dalam kondisi pailit" atas nama Prabowo Subianto, Sandiaga Uno, dan Joko Widodo. Tidak ada nama Mahfud MD. Berkas tersebut adalah satu syarat pencalonan capres-cawapres.
Sore hari muncul kejutan. Mahfud MD mengklaim telah dipilih oleh Jokowi sebagai cawapres. Pada waktu bersamaan, Jokowi berikut dengan seluruh petinggi partai pendukungnya sedang berkumpul di Restoran Plataran, Menteng.
Tak lama kemudian, pukul 17.40, Sekjen PKB Abdul Kadir Karding menjelaskan ke pers bahwa Jokowi telah memilih Ketua Majelis Ulama Indonesia Ma’ruf Amin sebagai cawapres dalam Pilpres 2019. Petang harinya, pukul 18.21, Jokowi memberi pernyataan resmi tentang penunjukan Ma’ruf.
Dari kubu koalisi Prabowo, situasi kian sibuk. Sandiaga belum diumumkan secara resmi. Mendadak, GNPF Ulama mendatangi kediaman Prabowo. Mereka menyodorkan dua nama: Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) dan Arifin Ilham. Prabowo bergeming. Pukul 19.40, Ketua DPP Gerindra Riza Patria menyebut Sandiaga Uno adalah cawapres Prabowo.
Namun, agaknya pilihan Prabowo tak langsung diamini partai-partai pendukungnya. Prabowo membutuhkan waktu lebih untuk melobi koleganya. Ia sibuk menemui Amien Rais, Hatta Rajasa, Shohibul Iman, dan Rahmawati Sukarnoputri.
Situasi kian liar ketika Zulkifli Hasan datang dan menyampaikan hasil Rakernas PAN yang berakhir malam itu. PAN merekomendasikan dua nama: Zulkifli Hasan atau Abdul Somad.
Pukul 21.11, Prabowo bergerak menemui SBY di rumahnya di bilangan Patra Kuningan. Tak sampai 1 jam, ia sudah kembali ke rumahnya di Jl Kartanegara. Dari rumah SBY, Andi Arief kembali mencuit di akun Twitter bahwa, hingga pukul 22.30, Partai Demokrat belum bisa menerima sosok cawapres Sandiaga Uno.
Tapi, keputusan harus cepat diambil. Pukul 23.30, Prabowo-Sandiaga dideklarasikan secara resmi. Tak ada wakil dari Demokrat saat itu. Belakangan, Demokrat memutuskan ikut mendukung Prabowo-Sandiaga, esok harinya.
10 Agustus 2018. Pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto–Sandiaga Uno resmi didaftarkan ke KPU.
Kesimpulan: Memilih Pendamping Paling Kuat Logistiknya
Rangkaian peristiwa yang terjadi dalam 48 jam menjelang batas waktu penutupan pendaftaran capres-cawapres menunjukkan dinamika yang tinggi terhadap proses pemilihan Prabowo-Sandiaga. Namun, sebetulnya faktor yang menentukan muara dari terciptanya pasangan itu sudah dimulai sejak tiga tahun lalu, dengan lumpuhnya Petral, salah satu sumber logistik utama.
Prabowo dan koalisinya tak memiliki cukup gizi. Ketika waktu makin dekat, upaya menggalang dana publik dengan membuka rekening donasi ternyata tak mendapat sambutan yang cukup gemilang. Dalam waktu 11 hari setelah peluncuran, Dana Galang Perjuangan hanya terisi Rp643 juta. Seminggu kemudian, penambahan hanya Rp 45 juta. Masih jauh dari target Rp10 triliun.
Problem dana ini tak juga teratasi ketika tiba masa penjaringan calon wapres. Sederet nama tokoh yang diajukan oleh banyak pihak tak ada yang diamini Prabowo. Mereka hanya setor nama, tapi tak punya daya ikut menyediakan dana logistik yang cukup.
Akibatnya, perhitungan bakal meraih keuntungan politik dengan menggandeng cawapres yang berbeda partai, berbeda suku, berbeda pengalaman, berbeda audiens, berbeda generasi, terpaksa dikesampingkan terlebih dulu. Logistik adalah prioritas utama.
Berbarengan dengan kepelikan ini, masing-masing kubu sebenarnya telah membuat kalkulasi. Dari kubu koalisi Jokowi, muncul daftar cawapres "3 M." Huruf M merujuk pada Ma’ruf Amin, Mahfud MD, dan Moeldoko. Sementara dari koalisi Prabowo, yang paling diperhitungkan adalah Anies Baswedan atau AHY.
Bagi koalisi Jokowi, skenarionya, jika Prabowo sampai menggandeng Anies, Jokowi akan memilih Ma’ruf Amin sebagai cawapres. Sosok Ma’ruf diperlukan untuk mengimbangi pengaruh sentimen efek Gerakan 212 yang menyertai figur Anies saat ini. Dus, Ma’ruf juga akan efektif meredam serangan "anti-Islam" yang kerap dituduhkan ke Jokowi. Jika cawapres Prabowo bukan Anies, Jokowi akan memilih Mahfud MD atau Moeldoko.
Sialnya, hingga H-1 menjelang batas pendaftaran capres-cawapres di KPU ditutup, kubu Prabowo tak juga mengumumkan secara resmi siapa cawapres Prabowo. Di media massa memang sudah disebut-sebut nama Sandiaga Uno, tapi hal itu belum keputusan final. Artinya, sangat mungkin nama bisa berubah jika Jokowi ternyata tidak memilih Ma’ruf.
Tak mau tersandera, ditambah tekanan penolakan PKB dan Golkar atas figur Mahfud MD, Jokowi berikut koalisi pendukung akhirnya memilih sosok Ma’ruf Amin. Publik terhenyak, bahkan bagi para pendukung Jokowi sendiri.
Di lain pihak, terpilihnya Ma'ruf, membuat kubu Prabowo tak punya opsi lain. Jokowi sudah memilih calon dengan value politik tertinggi. Artinya, memilih cawapres siapa pun untuk Prabowo tak akan banyak gunanya. Apalagi cawapres tanpa dibarengi cukup modal logistik.
Alih-alih memilih cawapres tokoh lintas partai atau kelompok pendukung lain, Prabowo akhirnya menggandeng kawan separtai yang juga konglomerat: Sandiaga Uno.
Pilihan itu terdengar klop karena pada saat yang sama, Andi Arief berkoar di Twitter dengan menuduh Sandiaga telah membayar masing-masing Rp500 miliar kepada PKS dan PAN, guna memuluskan penunjukan Sandiaga.
(Sandiaga memang punya modal untuk itu. Walau sejak 2014 namanya tak lagi masuk dalam daftar 50 orang terkaya di Indonesia versi Forbes, tapi pundi hartanya masih membuat orang takjub. Dalam catatan Komisi Pemberantasan Korupsi, Sandi memiliki harta senilai Rp5,1 triliun.)
Tudingan Andi Arief tentu ramai-ramai dibantah. Baik oleh PKS, PAN, serta Sandiaga sendiri. Prabowo sendiri tak memberi alasan yang tegas mengapa ia memilih Sandiaga. Ia hanya mengatakan Sandiaga adalah "calon terbaik dari yang ada saat ini".
Yang jelas, dari sisi politis, penunjukan Sandiaga menggambarkan bahwa Prabowo tak memperhitungkan kekuatan lain yang perlu dirangkul erat, bahkan kekuatan sebagian kelompok Islam yang semula intens ia dekati dan setia mendukungnya.
Prabowo seperti ‘sadar diri’: ini batas maksimal yang bisa ia miliki untuk berlaga dalam Pilpres 2019. Karena itu, tak mengherankan jika ia tak menunjuk ‘orang luar’ untuk menjadi Ketua Tim Sukses Pencapresan Prabowo-Sandi. Sosok yang dipilih adalah Djoko Santoso, mantan Panglima TNI yang juga anggota Dewan Pembina Gerindra.
Pilihan-pilihan politik ini mengesankan suasana di kubu koalisi Prabowo saat ini, yang jauh dari semangat saat Pilpres 2014. Prabowo seperti Prabu Salya, yang tetap bertempur dengan kesadaran akan kalah.
Hasil sigi terbaru yang dilakukan oleh Lingkaran Survey Indonesia (LSI)–Denny JA, yang di-rilis akhir Agustus 2018, memperlihatkan pasangan Prabowo-Sandiaga tertinggal jauh dari elektabilitas Jokowi-Ma’ruf: 29,5% berbading 52,2%. Demikian juga hasil survei Alvara: Prabowo-Sandiaga 35,2%, Jokowi-Ma’ruf 53,6%.
Hanya hal luar biasa yang mampu mengubah keadaan.
Editor: Fahri Salam