tirto.id - Pemilihan Umum 2019 adalah palagan ketiga Partai Gerakan Indonesia Raya. Pada pemilu sebelumnya, Gerindra lolos di peringkat ketiga, dengan meraup 11,81 persen suara. Namun, koalisi yang mereka pimpin gagal membawa Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto menjadi presiden.
Menghadapi Pemilu 2019, Prabowo punya racikan baru. Pada akhir Juni 2018, Gerindra memulai penggalangan dana publik (crowdfunding) berjuluk "Galang Perjuangan".
"Saya atas nama Partai Gerindra datang kepada penyandang dana saya, yaitu saudara-saudara sekalian. Saya tidak mau datang ke penyandang-penyandang dana yang di ujungnya saya tidak yakin kesetiaan mereka kepada bangsa dan negara," ujar Prabowo, sebagaimana ucapan klise seorang politikus, mengutip dari laman Facebook pribadinya.
Sekitar sebulan setelahnya, atau sepekan sesudah penutupan pendaftaran calon legislatif, Badan Pengawas Pemilu mengumumkan secara resmi bahwa ada 199 bakal caleg tingkat provinsi dan kabupaten/kota merupakan eks narapidana kasus korupsi.
Dari jumlah itu, Gerindra disebut Bawaslu menyumbang 27 nama, terbanyak dibanding parpol lain. Tetapi, Gerindra tidak sendiri. Kecuali Partai Solidaritas Indonesia, tidak ada parpol peserta Pemilu 2019 yang imun dari bacaleg eks koruptor.
Dua peristiwa di atas seolah terpisah. Yang pertama soal dana publik; yang kedua soal bakal caleg eks koruptor. Tetapi, keduanya terhubung oleh satu benang merah: uang.
Bagaimana uang menghubungkan mekanisme pendanaan parpol, korupsi, dan menjadi salah satu perkara runyam yang menjangkiti mayoritas parpol di Indonesia?
Sumber (Resmi) Dana Parpol
Uang hasil penggalangan dana, seperti yang dilakukan Gerindra lewat "Galang Perjuangan", termasuk dalam "sumbangan yang sah menurut hukum," sebagaimana diatur dalam pasal 34 ayat 1 Undang-Undang 2/2011 tentang partai politik.
Namun, Gerindra bukanlah kasus khusus. Sebelumnya sudah ada parpol atau elemen politik lain yang melakukan penggalangan dana publik.
Pada Pilpres 2014, Joko Widodo-Jusuf Kalla menghimpun dana bernama "Gotong Royong Jokowi-JK". Pada 2015, PSI menggalang dana guna membiayai "Kopi Darat Nasional", pertemuan tingkat nasional ala PSI. Partai Keadilan Sejahtera juga melancarkan "Gerakan Lima Puluh Ribu Rupiah" guna membiayai Musyawarah Nasional PKS pada 2015.
Jelang Pemilu 2019, PSI meluncurkan program bernama "Kartu Solidaritas Anti Korupsi dan Anti Intoleransi". PDIP juga punya program urun dana berjuluk "Rekening Gotong Royong" sejak 2015. Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan ada Rp22 miliar yang masuk ke rekening Gotong Royong per akhir Maret 2018.
Selain penggalangan dana, sumber keuangan lain parpol didapatkan dari iuran anggota.
Semua parpol yang berlaga pada Pemilu 2019 mencantumkan iuran anggota sebagai sumber keuangannya. Mereka juga menambahkan bahwa iuran wajib anggota bersumber dari kader yang duduk di legislatif (parlemen) dan eksekutif (menteri dan kepala daerah).
Merujuk studi Marcus Mietzner dalam "Dysfunction by Design: Political Finance and Corruption in Indonesia" (2015), lebih dari 40 persen gaji anggota legislatif dipotong bendahara parpol, sementara sejumlah uang mesti disetorkan untuk mendanai pertemuan, kegiatan sosial, dan program pendidikan politik parpol.
Sebagai gambaran, Mahfudz Siddiq, anggota DPR dari fraksi PKS, mengungkapkan kepada Tirto bahwa ia mesti menyetor Rp25 juta per bulan kepada partai. Mardani Ali Sera, salah satu petinggi PKS, dalam sebuah diskusi di Smart FM Jakarta pada Januari 2016, mengatakan iuran wajib di PKS itu disebut "infak".
Selain dari sumbangan dan iuran anggota, parpol mendapat jatah duit dari negara lewat APBN atau APBD. Praktik ini dimulai sejak Presiden Abdurrahman Wahid hingga Presiden Joko Widodo.
Pemerintahan Gus Dur menetapkan parpol mendapatkan Rp1.000 per suara sah pada Pemilu 1999. Peraturan ini diubah pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, semula menjadi Rp21 juta per kursi di DPR (tahun 2005) menjadi Rp108 per suara sah pada Pemilu 2009.
Kemudian, pada 4 Januari 2018, Presiden Jokowi mengubahnya lagi, tiap parpol yang punya kursi di parlemen disuntik duit negara antara Rp1.000 - Rp1.500 per suara sah. Peraturan baru ini telah meningkatkan jatah duit negara untuk parpol di tingkat nasional sebesar 826 persen. Gambarannya, PDIP yang semula menerima Rp2,6 miliar bakal memperoleh sekitar Rp23,7 miliar.
Tren: Pemenangnya yang Paling Besar Mengeluarkan Fulus
Namun, apakah sumber pendanaan resmi tersebut cukup untuk menggerakkan roda parpol?
Marcus Mietzner dalam "Dysfunction by Design" (2015) menulis bahwa uang parpol dari pemilu ke pemilu meningkat sejalan perubahan sistem pemilihan.
Pada 1999, pemilih memilih parpol, kemudian parpol menentukan siapa anggotanya yang mendapatkan kursi di DPR guna mewakili suatu daerah pemilihan. Selanjutnya, parpol memilih presiden dan wakil presiden melalui sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat. Namun, pada 2004, presiden dan wakilnya, begitu juga kepala daerah dan wakilnya, dipilih langsung.
Kemudian, pada Pemilu 2009, sistem proporsional terbuka diterapkan. Pemilih mencontreng caleg yang disediakan parpol. Caleg berlomba-lomba mendapatkan suara sebanyak-banyaknya sebab mereka tak hanya bersaing dengan caleg dari parpol lain, melainkan juga bersaing dengan caleg dari sesama parpol.
Seiring perubahan sistem pemilihan tersebut, duit buat pasang iklan di media dan membayar konsultan politik oleh parpol dan para kandidat di pemilu, pilkada, dan pilpres juga meningkat.
Ambil contoh PDIP. Berdasarkan data yang dirilis Komisi Pemilihan Umum, partai banteng moncong putih itu menghabiskan Rp69,1 miliar pada Pemilu 1999. Pengeluaran itu semakin besar pada dua pemilu selanjutnya: Rp376,3 miliar (Pemilu 2009) dan Rp720,4 miliar (Pemilu 2014).
Pada masa kampanye Pilpres 2014, Jokowi-JK menggelontorkan Rp92,9 miliar, sementara Prabowo-Hatta menghabiskan Rp93,72 miliar untuk biaya pasang iklan di televisi, menurut Adstensity, penyedia layanan pemantauan iklan televisi.
Adstensity juga mencatat dua parpol (Demokrat dan Hanura) menggelontorkan lebih dari Rp50 miliar dan 6 parpol (PKB, NasDem, Gerindra, Golkar, PDIP, dan PAN) menghabiskan antara Rp20 miliar hingga Rp50 miliar untuk pasang iklan di televisi pada masa kampanye Pemilu 2014.
Parpol juga harus merogoh kocek buat membayar saksi di tempat pemungutan suara. Pada Pemilu 2014, ada 546.278 TPS. Sejumlah saksi mengatakan dibayar Rp50 ribu hingga Rp100 ribu. Apabila dihitung secara kasar, total uang yang mesti disediakan untuk saksi sekitar Rp27,3 miliar hingga Rp54,6 miliar.
Hasil penelitian Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dalam "Basa-Basi Dana Kampanye" (2013) menunjukkan tren bahwa parpol yang belanja kampanyenya paling banyak berpotensi sebagai pemenang: Golkar pada Pemilu 2004 dan Demokrat pada Pemilu 2009.
Partai baru yang mengeluarkan dana lebih banyak dibandingkan partai baru lain juga memperoleh kursi lebih banyak, seperti Demokrat pada Pemilu 2004 atau Gerindra pada Pemilu 2009.
Itu baru dana yang dikeluarkan parpol saat pemilu.
Pada 2015, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menerbitkan Sensus Nasional Ketua Parpol di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota. Salah satu hasilnya menyebutkan PDIP mengeluarkan minimal Rp3 miliar per bulan (Rp36 miliar per tahun) untuk biaya operasional.
Pendeknya, jatah duit dari ketiga sumber pendanaan resmi itu jelas besar pasak daripada tiang: parpol harus mencari fulus dari sumber-sumber dana siluman.
Dibelenggu Oligarki
Mahalnya ongkos politik jelas memengaruhi dinamika internal parpol di Indonesia. Salah satu contoh paling baik untuk menggambarkan ini adalah Golkar, satu dari tiga kaki penopang oligarki Orde Baru (dua lain adalah tangsi dan istana).
Setelah 1998, para cukong berebut partai berlambang pohon beringin tersebut.
Dirk Tomsa dalam Politics and Democratization in Indonesia: Golkar in the Post-Suharto Era (2007) menulis bahwa "ledakan biaya kampanye membuat jalan bagi masuknya pengusaha kaya ke Golkar, sementara kader Golkar yang setia menyadari posisi mereka semakin terpinggirkan."
Jumlah pengusaha yang sekaligus politikus Golkar di DPR bertambah: 35,8 persen pada periode 1999-2004 dan 46,4 persen pada periode 2004-2009.
Pada 2004, Jusuf Kalla, saudagar yang menjalankan bisnis segala bidang di bawah payung Kalla Group, terpilih sebagai ketua umum Golkar.
JK adalah oligark—merujuk istilah yang didefinisikan Marcus Mietzner sebagai "aktor politik yang sumber daya utamanya adalah kepemilikan secara pribadi dan langsung terhadap sejumlah besar modal."
Setelah JK memimpin Golkar, para oligark lain hengkang lalu mendirikan partai baru. Wiranto mendirikan Hanura pada 2007, Prabowo Subianto mendirikan Gerindra pada 2008, dan Surya Paloh mendirikan NasDem pada 2011.
Tren oligark menguasai parpol berlanjut. Prabowo dan Surya Paloh bertahan hingga sekarang. Ketua umum Golkar setelah JK adalah saudagar: Aburizal Bakrie, Setya Novanto, dan Airlangga Hartarto. Ketua Umum PAN setelah Amien Rais juga pengusaha: Soetrisno Bachir, Hatta Rajasa, dan Zulkifli Hasan. Sementara Ketua umum Hanura sekarang dijabat seorang konglomerat dari Kalimantan Barat bernama Oesman Sapta Odang.
Parpol-parpol yang berdiri setelah Pemilu 2014 pun tak lepas dari para cukong. Pengusaha media Hary Tanoesoedibjo mendirikan Partai Perindo pada 2015. Hutomo Mandala alias Tommy Soeharto mendirikan dan menjadi ketua umum Partai Berkarya pada 2017. Di PSI, pengusaha bernama Jeffrie Geovanie menjabat ketua dewan pembina. (Dewan Pembina PSI adalah pemegang otoritas tertinggi di PSI menurut pasal 14 anggaran dasar partai tersebut.)
Tren Politikus sebagai Pengusaha: Menyuburkan Korupsi
Alhasil, untuk menjaga pundi-pundi uang, parpol membolehkan anggotanya di parlemen atau yang menjabat menteri dan kepala daerah untuk berbisnis. Mengutip Wajah DPR dan DPD (2010), sebanyak 54 persen anggota DPR periode 2009-2014 adalah pengusaha. Tren ini tetap berjalan di DPR periode selanjutnya.
Lembaga Indonesia Corruption Watch mencatat 52,3 persen anggota DPR periode 2014-2019 adalah pengusaha. Dan 25 di antaranya, menurut ICW, berpotensi konflik kepentingan langsung dengan jabatan, wewenang, dan tugas anggota DPR.
Konflik kepentingan semacam itu bisa terlihat dari sejumlah politikus yang diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi.
Misalnya kasus Luthfi Hasan Ishaaq, anggota DPR plus Presiden PKS. Bersama Ahmad Fathanah, ia terbukti menerima suap pemberian rekomendasi kuota impor daging sapi kepada Kementerian Pertanian. Ada juga kasus Ketua PPP Suryadharma Ali yang ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus korupsi dana penyelenggaraan haji saat menjabat menteri agama.
Sedangkan Anas Urbaningrum, ketua umum Demokrat, terbukti menerima uang hasil korupsi Nazaruddin, anggota DPR sekaligus bendahara Demokrat. Anas menggunakan uang itu untuk mengalahkan rekannya, Andi Mallarangeng, dalam kongres pemilihan ketua umum Demokrat pada 2010. Pada kongres itu juga Mallarangeng memakai dana dari hasil korupsi wisma atlet Hambalang saat menjabat menteri pemuda dan olahraga.
Kasus korupsi yang masih hangat adalah pengadaan e-KTP oleh Setya Novanto, Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Golkar.
Merujuk data KPK, jumlah tindak pidana korupsi anggota DPR dan DPRD meningkat dari tahun ke tahun: 9 orang pada 2014, 19 orang (2015), 23 orang (2016), dan 61 orang (2017).
Perkara lain menyangkut mahar politik, yang menurut KPK membuat mayoritas caleg atau calon kepala daerah mengeluarkan ongkos politik lebih besar ketimbang laporan harta kekayaan mereka. Implikasinya, kepala daerah cenderung memudahkan izin dan akses proyek pemerintah kepada pihak tertentu, yang gilirannya berpotensi sebagai suap atau korupsi.
Marcus Mietzner dalam "Dysfunction by Design" (2015) menyatakan jika Indonesia ingin menutup pintu politikusnya dari penetrasi oligarki dan korupsi, bantuan dana pemerintah maupun sumbangan kepada parpol tetap diperlukan.
Namun, inti permasalahannya, seberapa banyak bantuan negara harus diberikan kepada siapa, dan mekanisme macam apa yang dapat mendorong serta secara efektif memonitor donasi publik kepada parpol?
Peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Almas Sjafrina mengapresiasi langkah parpol meluncurkan penggalangan dana. Namun, ia mengatakan langkah itu sulit dilakukan sebab parpol punya citra buruk di mata masyarakat.
"Pekerjaan rumah parpol tidak hanya menggalang dana dari masyarakat, tetapi juga mengubah citra diri mereka sendiri. Itu tidak instan. Perlu dibuktikan oleh parpol sendiri," ujar Almas kepada Tirto pada akhir Juli.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Fahri Salam