Menuju konten utama

Bohir Parpol: Dari Era Sukarno ke Era Soeharto 

Partai politik di Indonesia memang dekat dengan para pengusaha sejak lama.

Bohir Parpol: Dari Era Sukarno ke Era Soeharto 
Soeharto di belakang Sukarno pada Maret 1966. Foto/Getty Images/Beryl Bernay

tirto.id - Dalam dunia politik, perjuangan butuh duit. Dari mana pun asalnya, uang akan mampu memutar gerak partai dalam memenangkan massa dan akhirnya bisa meraup suara dalam pemilu. Sedari dulu, selalu ada orang tajir—yang nyaris selalu pengusaha atau konglomerat—yang dekat dengan partai. Tak peduli mereka menyumbang untuk partainya atau tidak, beberapa di antara mereka punya kegiatan berdagang.

Muhammadiyah, misalnya, punya Ki Bagus Hadikusumo, orang yang kelak menjadi anggota BPUPKI dan bersikeras mencantumkan "Piagama Jakarta". Contoh lain di zaman kolonial adalah Sarekat Islam. Haji Samanhudi, pendiri SI, adalah pedagang batik.

Jangankan dua nasionalis yang dekat dengan pergerakan Islam itu, di antara anggota Partai Komunis Indonesia angkatan 1926 yang dibuang ke Boven Digoel pun ada yang berprofesi sebagai pedagang.

Agoes Moesin Dasaad, mungkin bukan orang partai tapi ia peduli terhadap orang pergerakan bernama Sukarno. Kala itu Sukarno baru keluar dari penjara. Kelak, dalam autobiografinya, Sukarno tak lupa pada apa yang dilakukan Dasaad ketika memulai hidup baru lagi sekeluar penjara.

“Di pagi hari aku keluar dari penjara sebagai seorang bebas. Seorang laki-laki yang belum pernah kulihat sebelumnya, menggenggamkan kepadaku dengan begitu saja uang empat ratus rupiah, lain tidak karena aku tidak mempunyai uang,” ujar Sukarno dalam Untold Story: Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2018: 315).

Tak hanya Sukarno, Mohammad Hatta pun menerima banyak bantuan dari pemilik firma Djohan-Djohor dan Ajub Rais.

Bohir Partai pada Orde Lama

Era 1950-an adalah era ketika pengusaha pribumi diangkat kekuatan modalnya. Mereka diberi kemudahan fasilitas kemudahan izin impor. Namun, usaha penguatan pengusaha pribumi dalam "Program Benteng" itu gagal menciptakan banyak pengusaha pribumi. Fasilitas Program Benteng itulah yang menjadi rebutan para pengusaha.

Era 1950-an juga adalah era ketika banyak partai tumbuh dan partai-partai itu bertarung pada Pemilu 1955. Tiap partai punya pengusaha dekatnya. Kemenangan sebuah partai memengaruhi nasib para pengusaha tersebut. Tak jarang muncul fenomena diskriminasi terhadap pengusaha berbeda haluan partai.

Deliar Noer dalam Islam dan Politik (2003: 102) menyebut “masa kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953-1955), banyak juga pengusaha simpatisan Masyumi dirugikan karena kebijaksanaan pemerintah yang diskriminatif berdasarkan kepentingan politik.” Ali Sastroamidjojo adalah tokoh Partai Nasional Indonesia.

Soal kasus diskriminasi itu, Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (2012: 162) menulis bahwa "bukti atas pengistimewaan pengusaha-pengusaha PNI mulai diangkat ke permukaan oleh pers dan parlemen.”

Benar tidaknya soal diskriminasi fasilitas itu, era 1950-an telah melahirkan pengusaha seperti Tumpal Dorianus Pardede. Pengusaha asal Medan yang dikenal simpatisan PNI ini kesohor dari zaman Orde Lama. Dalam Pengusaha Mandiri Pejuang Mandiri (1991: 57-58) Pardede mengaku dirinya “menjadi PNI karena keyakinan politik dan bukan karena fasilitas.” Pardede jadi loyalis PNI meski PNI terpuruk pada masa kejatuhan Sukarno sebagai Presiden RI.

Tak cuma PNI yang diisi pengusaha. Partai Sosialis Indonesia (PSI) punya pengusaha bernama Soedarpo Sastrotomo. Laki-laki yang dijuluki "Raja Kapal" ini adalah pendiri perusahaan Samudra Indonesia. Wartawan lima zaman Rosihan Anwar yang sekaligus simpatisan PSI dalam Sejarah Kecil 'Petite Histoire' Indonesia (2004: 234) menulis saat PKI naik daun, "kedudukan Soedarpo terjepit lantaran ia anggota PSI pimpinan Sutan Sjahrir."

Pengusaha lain yang dianggap dekat dengan PSI adalah Hasjim Ning, dikenal sebagai keponakan Hatta. Hasjim adalah pengusaha bengkel dan perakitan mobil. Ia dikenal "Raja Mobil Indonesia" pada masa awal industri otomotif dalam negeri berkembang.

Dalam autobiografinya yang disusun A.A. Navis, Pasang Surut Pengusaha Pejuang (1986: 143), Hasjim mengaku ikut mendirikan suatu partai bernama Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Asvi Warman Adam pada bab "Militerisasi Sejarah Indonesia: Peran AH Nasution" dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (2008) menulis bahwa IPKI dibentuk Abdul Haris Nasution untuk memberi kesempatan kepada tentara berpolitik untuk membendung pengaruh Sukarno. IPKI terlihat sebagai partainya Angkatan Darat. Ikut meramaikan Pemilu 1955, IPKI cuma jadi partai gurem.

Pada 1950-an hingga 1970-an, Nahdlatul Ulama (NU) adalah partai politik, dan berhasil bertengger di posisi tiga dalam Pemilu 1955. Salah satu orang tajir di NU adalah Djamaludin Malik, sorang pengusaha hasil bumi, pupuk, dan film.

“Haji Jamaludin Malik mempunyai sarana dan fasilitas yang cukup, maka bukan barang yang mengherankan kalau sekali-kali acara pertemuan atau rapat PBNU diadakan di dalam kompleks studio film Persari,” tulis Choirotun Chisaan dalam Lesbumi: Strategi Politik Kebudayaan (2008: 169).

Selain Djamaludin, NU punya tokoh pengusaha muda yang cukup berpengaruh di kalangan nahdliyin pada 1965, namanya Subhan Zaenuri Echsan, pengusaha kretek.

Infografik HL Indepth Pendanaan Parpol

Bohir Partai era Orde Baru

Pada awal Orde Baru, jumlah partai dipangkas. Beberapa partai akhirnya berfusi. Partai-partai Islam kemudian bersatu dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP); sementara partai dengan garis pandang sekuler-nasionalis tergabung dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Tapi, partai yang benar-benar berkuasa adalah Golongan Karya, yang selama 32 tahun menopang Orde Baru.

Seperti Orde Lama, pada Orde Baru juga partai punya orang tajir sendiri dan menjadi konglomerat. PPP setidaknya punya Thayeb Gobel. Ramadhan KH dalam Gobel: Pelopor Industri Elektronika Indonesia dengan Falsafah Usaha Pohon Pisang (1994: 319) menulis Gobel bertindak sebagai Wakil Presiden PPP yang berbicara di TVRI dan RRI pada Pemilu 1977.

Sewaktu Sukarno masih jadi presiden, Gobel adalah pengusaha elektronik yang merakit radio dan televisi. Sebelum ada PPP, Gobel adalah anggota Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Pada 1977, ia adalah pejabat Ketua Umum Sarekat Islam. Keturunan Gobel saat ini mengelola merek elektronik terkenal Indonesia bernama Panasonic.

Di PDI, ada pengusaha bernama Nico Daryanto. “Sebenarnya saya bukanlah orang politik, melainkan pengusaha. Pak Harto lah yang menjadikan saya orang politik,” ujar Daryanto dalam Pak Harto: The Untold Stories (2011: 302-305).

Ia mengaku selam 25 tahun berkarier sebagai pebisnis. Ia mulai aktif di PDI sejak 1986 dan pernah menjabat sebagai sekretaris jenderal. Saat konflik Soerjadi dengan Megawati, yang berujung pada "Peristiwa 27 Juli 1996", Daryanto berada pada kubu Soerjadi. Kini ia aktif di Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).

Ada juga Taufik Kiemas, kelak menjadi suami Megawati Soekarnoputri. Pria kelahiran Lampung pada 1942 ini pada masa mudanya bergiat dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Ia dikenal sebagai pengusaha SPBU. Derek Manangka dalam Jurus dan manuver politik Taufiq Kiemas (2009: 126) menulis bahwa Kiemas tergolong politikus kaya, dan dalam perhitungannya, bisa menghasilkan pemasukan sekitar Rp6 miliar/bulan. Bisnis pom bensinnya pun mempekerjakan sekitar 1.000 orang, tulis Manangka.

Di partai berlambang beringin, partainya penguasa Orde Baru, ada banyak pengusaha yang memanfaatkan serta dimanfaatkan oleh Soeharto. Dari rahim Golkar lah, usai Soeharto lengser, ada sejumlah kader yang mendirikan parpol baru setelah kalah bertarung, termasuk Wiranto (Hanura), Prabowo (Gerindra), Surya Paloh (NasDem), dan Tommy Soeharto (Berkarya). Golkar juga melahirkan ketua umum yang seorang pengusaha seperti Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, dan Airlangga Hartarto.

Surya Paloh, misalnya, dalam Pers Masa Orde Baru (2011: 109) karya David Hill, adalah pengusaha yang merintis bisnis katering lewat PT Indocater. Ia menjadi aktivis Golkar sejak 1971. Pada 1985, ia mengelola Surya Persindo. Setelah punya banyak koneksi, usaha medianya membesar. Belakangan, ia mendirikan Metro TV dan harian Media Indonesia.

Tentu saja ada pengusaha senior pada masa Orde Baru berhubungan dekat dengan Golkar, salah satunya Sukamdani Sahid Gitosardjono.

Sukamdani dikenal pengusaha hotel. Ia termasuk pengusaha pribumi yang diuntungkan berkat "Program Benteng". Ia mendirikan Hotel Sahid di Solo pada 8 Juli 1965. Saat Hotel Sahid Jaya di Jakarta berdiri pada 23 Maret 1974, Soeharto lah yang meresmikannya. Ia juga terlibat dalam sebuah yayasan keluarga Cendana yang mengurus Astana Giri Bangun, tempat Ibu Tien dan Soeharto dimakamkan.

Bisnisnya kelak merentang dari perhotelan, pariwisata, industri tekstil linen, keuangan, asuransi, properti, kawasan industri, percetakan, hingga penerbitan suratkabar. Selain itu, Sahid ikut mendirikan beberapa lembaga pendidikan seperti sekolah kejuruan maupun universitas di Jakarta.

Dalam satu acara Golkar pada 7 Juni 1984, partai pengusa itu memberi kartu anggota kepada petinggi Kamar Dagang Industri di Jakarta. "Saya yang pertama menerima tanda anggota Golkar dalam kesempatan itu,” ujar Sukamdani dalam autobiografi Wirausaha Mengabdi Pembangunan (1993: 304). Sukamdani meninggal pada 21 Desember 2017.

Baca juga artikel terkait PARTAI POLITIK atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam