tirto.id - Istilah "pribumi" kembali menjadi perdebatan setelah diucapkan Anies Baswedan dalam pidato pertamanya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Anies bukan satu-satunya pejabat publik yang menggunakan kata "pribumi". Salah satu yang mencuat setelah ucapan Anies adalah pernyataan Susi Pudjiastuti, Menteri Perikanan dan Kelautan.
"Sekarang, pemerintah akan menggulirkan program membangun konglomerasi pribumi, membangun perusahaan pribumi, supaya kuat,” ujar Susi pada 18 Januari 2017. “Bukan kami menganggap non-pribumi atau non-Indonesia asli itu bukan bangsa Indonesia, bukan itu. Namun, melihat situasi dan kondisi saat sekarang, di mana satu persen penduduk menguasai 70 persen ekonomi Indonesia,” kata dia.
Ucapan Susi ini mengingatkan kembali kepada program ekonomi yang pernah dilansir pemerintah Indonesia pada 1950an. Namanya Program Benteng.
Baca juga: "Kalau Nggak Terima, Silakan Gagalin Saya Jadi Menteri"
Etos Wirausaha Kaum Bumiputera
Di zaman kolonial, setinggi apapun sekolahnya, anak-anak orang terpandang yang digolongkan sebagai inlander/pribumi nyaris selalu diharapkan menjadi birokrat. Keluarga pejabat birokrasi kurang berminat menanamkan jiwa dagang atau kewirausahaan kepada anak-anak mereka. Jadi pegawai, bagi mereka adalah cara realistis dan ideal untuk terus kaya dan terpandang. Gagal dagang hanya akan membuat mereka miskin.
Bagi sebagian orang Jawa, terutama yang bukan golongan rendahan, ada semacam pantangan untuk berdagang. Sujamto, dalam Refleksi Budaya Jawa: dalam Pemerintahan dan Pembangunan (1992), dengan mengutip pendapat H.Karkono K. Partokusumo dalam makalahnya Bisnis orang Jawa, menyebut: "Berbisnis dalam arti berdagang atau usaha komersial secara dagang mencari untung, itu pantangan nenek moyang.”
Betapa mental pedagang atau pengusaha sulit terbentuk di Indonesia. Obsesi pada jabatan birokrasi itu bertahan hingga kini dalam bentuk antusiasme menjadi pegawai negeri sipil (PNS).
Baca juga: PNS, Warisan Kolonialisme Belanda
Pengusaha nasional H.B.R. Motik dalam Motik: Tokoh Perintis Ekonomi Nasional (1986) melihat, “Orang Indonesia pandai bertani, tapi tidak pandai menjual hasil pertaniannya. Pak Tani yang pergi ke sawah, tetapi penggilingan padi dan perdagangan beras di tangan Tionghoa […] Nelayan Indonesia yang menyabung nyawa menangkap ikan di tengah laut, tetapi perdagangan ikan asing dikuasai oleh Tionghoa.”
Tak heran jika banyak orang Tionghoa kaya di zaman kolonial. Sementara orang-orang yang disebut pribumi, yang menjadi hulu produksi, jauh dari kaya.
“Kepincangan ini tak pernah berubah sejak zaman penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, bahkan belum berubah dengan adanya Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia,” urai Motik (baca: .
Tak perlu heran jika di zaman kolonial, mereka kurang menonjol jumlahnya. Nama yang sohor antara lain: Ajoeb Rais, Djohan Djohor, Moesin Dasaad, Nitisemito atau Tasripin. Perdagangan di era kolonial lebih diramaikan golongan keturunan Tionghoa atau Arab yang belakangan dicap non-pribumi.
Baca Juga: Orang-orang Tajir Penolong Sukarno Hatta
Pada dekade 1950an, masih banyak perusahaan-perusahaan yang menguasai hajat hidup orang banyak berstatus perusahaan asing. Saat itu, keterlibatan juga geliat orang Indonesia non-Tionghoa atau non-Arab masih terhitung kecil.
Lisensi Impor untuk Pengusaha Bumiputera
“Tanggal 3 Maret 1950 pemerintah telah menjalankan suatu kebijaksanaan untuk mempergiat usaha pedagang nasional swasta khusus bangsa Indonesia dengan cara memberi mereka fasilitas tertentu,” kenang H.B.R Motik.
Program yang dimulai di era Perdana Menteri Muhammad Natsir itu dikenal sebagai Program Benteng. Program ini bisa dibaca sebagai politik afirmatif untuk menghidupkan kewirausahaan di kalangan kaum bumiputera. Bentuknya macam-macam, namun pada intinya terutama berupa pemberian dan kemudahan izin impor dan kredit bagi pedagang bumiputera.
Tujuannya untuk menumbuhkan kaum kapitalis pribumi. Dibayangkan bahwa program ini dapat melindungsi dominasi pribumi dalam sektor impor lewat kontrol terhadap alokasi lisensi-lisensi impor. Kontrol inilah yang diasumsikan dapat menjadi basis bagi laba yang akan melestarikan ekspansi modal pribumi ke sektor-sektor yang lain (Yudi Latief, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, 2003).
Baca juga: Persahabatan Lintas Ideologi dan Agama Antara Natsir, Kasimo dan Leimena
Program Benteng diniatkan, menurut Syahrir dalam Ekonomi Politik Kebutuhan Pokok (1986), ”menciptakan pengusaha pribumi Indonesia dengan mengeluarkan perundang-undangan untuk menunjang kredit.”
Bantuan dan perlindungan pemerintah itu melahirkan apa yang disebut: Benteng Group. Program Benteng itu, menurut Motik, “menggiurkan sehingga banyak pengusaha atau mereka yang bukan pengusaha beramai-ramai menikmati fasilitas itu.”
Menurut Benny G Setiono dalam Tionghoa Dalam Pusaran Politik (2008), program Benteng ini terkesan rasialis dan menjadi sumber korupsi. Dari program ini lahirlah pengusaha atau importir aktentas yang bermodalkan tas untuk menyimpan surat-surat penting. Mereka biasanya tak punya kantor dan modal alias modal dengkul saja.
“Mereka membawa sebuah aktentas keluar-masuk kantor-kantor instansi pemerintah, terutama Lembaga Alat-alat Pembayaran Luar Negeri (LAAPLN) di Jalan Gajah Mada untuk mendapatkan lisensi impor bermacam-macam barang. Dengan mengantongi lisensi ini mereka mendatangi pedagang-pedagang Tionghoa untuk menjual lisensi mereka,” tulis Benny Setiono.
Kongkalikong macam itu disebut sebagai Sistem Ali-Baba. Ali si Pribumi sebagai pengumpan lisensi (izin) dan Baba si Tionghoa sebagai pelaksananya. Pendeknya, lisensi untuk impor ini memang dikuasai oleh pengusaha atau pedagang bumiputera namun mereka kongkalikong dengan pengusaha-pengusaha peranakan. Lisensi itu "dijual" atau "dipinjamkan", dan modus-modus yang lain.
Baca juga: Sejarah Kebencian Terhadap Etnis Tionghoa
Menurut Richard Robison, seperti dikutip Yudi Latief, menjadi jelas bahwa beberapa penerima lisensi impor adalah importir pribumi yang telah mapan. Tidak hanya itu, selain sudah mapan mereka cenderung merupakan idividu-individu yang dekat dengan tokoh-tokoh yang berkuasa dalam birokrasi atau partai yang mengontrol alokasi lisensi-lisensi dan kredit.
Yang lebih merusak, ternyata bahwa mayoritas perusahaan yang ikut Program Benteng tidak menggunakan lisensi-lisensi itu untuk mengimpor tetapi semata-mata menjualnya kepada para importir yang sesungguhnya. Jadi yang terkonsolidasi bukanlah kaum borjuis pedagang pribumi, melainkan sekelompok makelar lisensi dan tukang suap politik (Yudi Latief, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, 2003).
Berkat program ini, menurut catatan Tridah Bangun dalam TD Pardede: Wajah Seorang Pejuang Wraswasta (1981), "Sebagian pengusaha nasional menjadi kaya-raya, rumah semakin cantik, kendaraan sedannya semakin mulus dan mereka bermewah-mewahan. Tapi di balik itu, para pedagang atau pengusaha asing terutama Tionghoa tetap memegang kendali ekonomi di negeri ini dan rakyat sama sekali tak menikmati apa-apa."
Program Benteng nyatanya hanya menghasilkan segelintir perusahaan lokal saja. Seperti PT Transistor Radio Manufacturing yang belakangan melahirkan Panasonic milik Gobel atau Indonesia Service Company milik Hasjim Ning, juga TD Pardede pendiri Pardedetex di Sumatra Utara. Selain mereka berdua ada juga ayah dari pengusaha cum politisi Aburizal Bakrie, yakni Achmad Bakrie.
Baca juga:
Program Benteng sendiri, menurut Benny Setiono, cukup rawan korupsi dan sogok menyogok yang membuat harga barang yang dijual pun jadi mahal. Belakangan program yang memanjakan pengusaha bumiputera ini pun gagal. Membangun dunia usaha nyatanya tak cukup dengan kredit modal dan izin semata.
Program Benteng ini kemudian dinyatakan gagal. Pada 1957, ketika Perdana Menteri Djuanda memimpin Kabinet Karya, program tersebut dihentikan.
“Program Benteng mengalami kegagalan karena pemberian fasilitas negara tidak mencapai sasarannya, yaitu para pengusaha pribumi, karena dimanipulasi oleh para pejabat negara yang mengambil keuntungan dari kebijakan tersebut,” tulis A. Prasetyantoko dalam Kaum Profesional Menentang Rezim Otoriter (1999).
Pada 1950an Indonesia diramaikan persaingan politik antar partai. Konflik itu juga ikut menjadi biang kegagalan Program Benteng. “Program tersebut menjadi semacam alat untuk memperoleh dukungan ekonomi dari para pengusaha,” tulis Prasetyantoko.
Baca juga: Isu Pribumi Amankan Perdana Menteri Malaysia dari Tuduhan Korupsi
Analisis lain menyebutkan Program Benteng gagal karena diterapkan di waktu yang salah. Ketika itu, dunia industri di Jawa masih lemah. Arus impor menjadi begitu kuat, kapal-kapal yang membawa barang asing berdatangan, tapi kapal-kapal itu tak ada muatan ketika keluar dari Indonesia.
Dalam artikel Ekonomi Indonesia Pada Tahun 1950an di buku Antara Daerah dan Negara (2011), Howard Dick menyebut, kapal-kapal asing yang mengirim barang impor ke Jawa itu ketika pulang berusaha singgah ke Sumatra berharap ada muatan karet. Namun, pemerintah hanya memberi restu hanya kepada kapal-kapal berbendera Indonesia saja untuk mengangkutnya. Akhirnya kapal-kapal berbendera Inggris pun merugi.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS