tirto.id - Setelah Pengembalian Kedaulatan 27 Desember 1949, seharusnya menjadi masa-masa aman bagi pegawai negeri sipil (PNS) macam Sukamdani Sahid Gitosardjono. Sebagai anak petani-pedagang, menurut catatan buku Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia1983-1984 (1984: 211), Sahid pernah jadi mantri polisi lalu pegawai setingkat camat.
Di masa Revolusi, Sahid adalah seorang Republiken yang ikut serta “menyediakan segala kebutuhan tentara, dari peralatan sampai pakaian dan bahan makanan.” Posisi Sahid muda boleh saja mentereng, tapi kondisi perekonomian nasional yang masih buruk membuatnya kurang sejahtera.
Sahid, pemuda kelahiran Solo, 14 Maret 1928 itu, tahu jalan untuk lebih sejahtera: cabut dari Departemen Dalam Negeri.
Sahid pun melamar ke kantor Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jakarta dan diterima. “Pagi-pagi saya pergi bersepeda menuju kantor PGRI di Tanah Abang III. Saya diterima oleh Bapak M. Hidayat, Sekjen PGRI. Selanjutnya saya ditanya apa bersedia diterima bekerja di NV (Naamlooze Vennootschap) Harapan Masa, perusahaan percetakan dan penerbitan, milik PGRI, saya jawab bersedia,” tuturnya dalam Sukamdani Sahid Gitosardjono, Wirausaha Mengabdi Pembangunan: Otobiografi, Volume 1 (1993: 53).
Ia menjalani pekerjaan barunya dengan telaten. Dari 1953 hingga 1955, Sahid jadi manajer di sana.
Bergelut di Dunia Wirausaha
Menurut catatan Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia1983-1984, Sahid mulai terjun sebagai wirausahawan setelah menikah dengan Juliah, yang terhitung masih kerabat Keraton Mangkunegaran, Solo (hlm. 212). Bahkan, di tahun 1953, Sukamdani Sahid Gitosardjono mendapat pinjaman uang Rp25 ribu dari mertuanya. Setelah punya pengalaman mengelola percetakan, Sahid berani mendirikan percetakan sendiri, CV Masyarakat Baru. Belakangan, pada 7 Oktober 1963, CV itu menjadi PT Tema Baru.
Masa-masa ketika Sahid bisnis percetakan, sebenarnya ada program bantuan bagi pengusaha Indonesia asli—yang dikenal sebagai Program Benteng. Meski diberi kemudahan izin dan difasilitasi modal, nyatanya banyak "pengusaha pribumi" yang gagal berwiraswasta. Mental wirausaha kurang dimiliki, meski modal dan izin dipermudah.
Baca juga:Benteng yang Gagal Memperkuat Pengusaha Pribumi
Tak hanya bidang percetakan yang dilakoni Sahid pada masa-masa sulit era Sukarno itu. Pada 1960, ia mendirikan sekaligus memimpin PT Sahid Trading & Industrial Co. Ia juga memulai bisnis baru dalam bidang perhotelan.
Tampaknya, bisnis baru itu yang menjadi tonggak penting bagi perjalanan wirausaha Sahid. Pada 8 Juli 1965, Sahid membuka hotel pertamanya di Solo. Dari sinilah muasal hotel-hotel megah Sahid di masa depan.
“Peresmian Hotel Sahid Solo, 8 Juli 1965, dihadiri oleh Menteri Urusan Funds & Forces/Ketua Umum Bamunas, Notohamiprojo, Menteri Asuransi/Sekjen Bamunas, Drs. Soetjipto S. Amidarmo, para pembesar dan tokoh pengusaha dari Jakarta, Gubernur Jawa Tengah Mochtar dan Muspidanya, serta Walikota Solo dan para pembesar setempat,” tutur Sahid dalam Memoar Sukamdani S.G.: Otobiografi II (1993-2001): Kisah Kegiatan Bisnis, Pendidikan, Sosial-Budaya, dan Harapan Saya (2001: 174).
Hotel itu, seperti diakui Sahid dalam Sukamdani Sahid Gitosardjono, Wirausaha Mengabdi Pembangunan, “[...] kami beri nama Hotel Sahid Sala, sesuai dengan rencana, berlantai tiga, 28 kamar, jumlah yang sangat kecil untuk ukuran sekarang” (hlm. 104). Setelahnya, ruangan hotel itu beranak-pinak menjadi 121 kamar. Bagi Sukamdani Sahid, inilah cikal bakalnya Sahid Group.
Lantaran hotel ini dibangun di masa-masa sulit perekonomian Indonesia, Sahid banyak mendapat pujian. “Keberanian saya membangun hotel di jaman yang serba sulit itu dipuji oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX,” katanya(hlm. 84). Bahkan beberapa bulan setelah hotel didirikan, sempat terjadi kerusuhan berdarah terkait tragedi 1965 di Solo.
Setelah tragedi 1965 berlalu, sepupu Sahid, Siti Hartinah alias Tien Soeharto jadi ibu negara. Pada 27 Maret 1968, suami Tien, Jenderal Soeharto, dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia menggantikan Sukarno. Tanpa perlu ada semacam Program Benteng, banyak pengusaha kaya bermunculan setelah Soeharto berkuasa. Bisnis hotel Sahid pun kian berkembang.
Baca juga: Masjid At-Tin untuk Ibu Tien
Ada kaitan dengan Tien Soeharto atau tidak, menurut Andrinof Chaniago dalam Gagalnya Pembangunan: Kajian Ekonomi Politik Terhadap Akar Krisis Indonesia (2001), “beberapa hak istimewa yang diperoleh Sukamdani sehingga berhasil melambungkan bisnisnya sejak masa ini juga tidak pernah jauh dari hak-hak istimewa yang selalu diperolehnya dari patronnya, yaitu Soeharto” (hlm. 29).
Sukamdani Sahid juga aktif di Yayasan Mangadeg yang berdiri pada 1969. Di yayasan itu, Tien Soeharto menjadi salah satu pengurusnya.
Hampir enam tahun Soeharto berkuasa, pada 23 Maret 1974, Hotel Sahid Jaya di Jakarta resmi berdiri. Jumlah kamarnya 439. Soeharto lah yang meresmikan hotel tersebut. Ini adalah hotel keduanya, yang disusul hotel-hotelnya yang lain.
Pada 1995, menurut Warta Ekonomi (Volume 7 tahun 1995), Sahid punya 15 hotel dengan 3021 kamar yang tersebar di seluruh Indonesia. Mulai dari bintang tiga hingga lima berlian (hlm. 24).
Ingat Sahid, orang akan ingat hotel. Menurut Hermawan Kertajaya dalam Hermawan Kartajaya on Positioning (2004), “Sahid sering diasosiasikan sebagai hotel” meski bisnisnya bermacam-macam (hlm. 29).
Cakupan bisnisnya terbentang dari perhotelan, pariwisata, industri tekstil linen, keuangan, asuransi, properti, kawasan industri, percetakan, hingga penerbitan suratkabar. Selain itu, Sahid ikut mendirikan beberapa lembaga pendidikan seperti sekolah kejuruan maupun universitas di Jakarta.
Sebagai bagian dari Yayasan Mangadeg yang mengurus Astana Giri Bangun (tempat Tien Soeharto dan suaminya dikebumikan), Sukamdani Sahid konon berhak dimakamkan di sana. Namun, ketika meninggal dunia hari ini, berdasarkan keterangan keluarga, Sukamdani Sahid dimakamkan di Pesantren Modern Sahid, Bogor.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan