tirto.id - Kehebohan terjadi usai Sajak Sikat Gigi dipilih sebagaiantologi puisi terbaik 1976-1977. Karya Yudhistira Ardi Noegraha Moelyana Massardi tersebut dipilih panel juri bentukan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang beranggotakan Toety Heraty, Dodong Djiwapraja, dan Goenawan Mohamad.
Ada empat pemenang. Tiga pemenang lain adalah Peta Perjalanan karya Sitor Situmorang, Meditasi (Abdul Hadi WM), dan Amuk (Sutardji Calzoum Bachri). Ketiga penyair ini berbeda generasi dengan Yudhis, lebih senior, apalagi Sitor. Mereka kompak menolak kemenangan Sajak Sikat Gigi.
“Kalau puisi Yudhis dideretkan dengan yang lain dan disebut sebagai puisi Indonesia yang baik, itu bisa kacau. Yudhis terlalu jauh di bawah. Ini bukan sentimen, bukan pula kesombongan. Sebab seandainya Rendra dengan sajaknya yang seperti pamflet itu dimenangkan, saya juga akan menolak,” kata Sutardji dalam TEMP0 22 April 1978.
Majalah sastra Horison memunculkan polemik ini dalam dua edisi: April dan Mei 1978. Pada edisi April 1978, Abdul Hadi menulis karangan pendek. Di sana ia mendedahkan alasan menolak kemenangan Sajak Sikat Gigi. Abdul Hadi menilai puisi-puisi Yudhis tak lebih dari kitsch.
“Apa yang diakemukakandalam sajaknya adalah sekadar melucu. Lebih-lebih bila dilihat dari judul bukunya, yang paling tidak mencerminkan motif dan sikapbersajak penulisnya. Berkali-kali saya coba membaca kembali, ternyata tetap saya tak menjumpai pendalaman masalah. Tidak menjumpai persepsi yang jelas, meskipun beberapa puisinya cukup menonjol,” papar penyair asal Madura tersebut.
Abdul Hadi juga mengutip Sitor yang menyebut karya-karya Yudhis merupakan parodi yang gagal dari sajak karena penulisnya tak memahami apa itu puisi dan peranan penyair.
Kala itu Yudhis baru 24 tahun. Sajak-sajaknya menggunakan diksi sehari-hari, berbalut humor dan ironi, jauh dari impresi berindah-indah. Kita baca ulang Sajak Sikat Gigi:
"Seseorang lupa menggosok giginya sebelum tidur
Di dalam tidurnya ia bermimpi
Ada sikat gigi menggosok-gosok mulutnya supaya terbuka
Ketika ia bangun pagi hari
Sikat giginya tinggal sepotong
Sepotong yang hilang itu agaknya
Tersesat dalam mimpinya dan tak bisa kembali
Dan ia berpendapat bahwa kejadian itu terlalu berlebih-lebihan"
Satu contoh lain mungkin perlu. Kita simak Sajak Dolanan Anak-anak:
"Sebuah boneka, namanya Poppy, punya Nency
Sebuah senapan, harganya mahal, punya Bobby
Sebuah mobil sedan, merk-nya Mercy, punya Tonny
Sebuah truk sampah, sopirnya mati, ditembak polisi"
Puisi Mbeling
Pada titik ini ingatan barangkali terbang ke puisi mbeling yangdipelopori Remy Sylado. Ada masa memang ketika Yudhis kerap menulis untuk majalah Aktuil yang diasuh Remy.
“Guru saya satu-satunya cuma dia. Remy yang mengajarkan saya menulis sajak sesuka-sukanya,” kata Yudhis seperti dikutip Agus Sopian dalam “Putus Dirundung Malang” di majalah Pantau Agustus 2001.
Sebagai gerakan sastra, ujar Yudhis, puisi mbeling bisa dibilang kredo sastrawan muda yang mau mendobrak kebekuan dan menggugat dominasi yang berpusat pada penyair seperti Sapardi Djoko Damono atau Goenawan Mohamad.
Salah satu modus menggugat adalah membikin parodi. Pada 1975, Yudhis membuat Di Beranda Ini, Mohamad Pariksit, Telah Jadi Logam yang merupakan parodi dua sajak Goenawan Mohamad berikut: Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi dan Di Kota Itu, Kata Orang, Gerimis Telah Jadi Logam. Parodi tersebut dipungkasi dua larik begini:
"Di beranda ini, angin tak kedengaran lagi. Soalnya dia sudah pergi mengantarkan salam Pariksit pada eyangnya di kampung".
Uniknya, Goenawan yang "diledek" justru mengapresiasi dan menjadi bagian panel juri yang memilih Sajak Sikat Gigi. Pada Horison edisi Mei 1978, wawancara Satyagraha Hoerip di koran Sinar Harapan dengan Goenawan dimuat kembali. Dalam wawancara tersebut, ia menegaskan kualitas sajak-sajak Yudhis setara dengan karya Sitor, Sutardji, dan Abdul Hadi.
“Saya memang merasa Abdul Hadi merasa direndahkan martabat puisinya karena bersamaan dengan pujian untuk puisinya, dewan juri juga memuji sajak Yudhis. Tapi kalau saya menyukai salah satu konserto Bach padahal sementara itu saya juga menyukai lagu Farid Hardja, itu tak berarti saya kusut pikiran dan Bach jatuh merek,” ujar Goenawan.
Sebelum polemik meruyak, HB Jassin pun berpandangan positif atas sajak-sajak Yudhis. Dalam Beberapa Penyair Muda di Depan Forum (1976), Paus Sastra itu menyatakan sajak-sajak Yudhis memberi kesan dibuat anak-anak tiada berdosa dan lugu. Logikanya pun adalah logika anak-anak yang dengan heran bertanya, anak-anak yang mengejar bayangannya sendiri, mencoba dan tiba pada kesimpulan-kesimpulan menggelikan.
“Ia adalah pengamat yang tajam dari masyarakatnya, tapi ia tak mau mendramatisir keadaan. Penderitaan dihadapinya dengan analisa yang dengan sendirinya menjadi humor… dihadapi dengan dewasa dan jauh dari kecengengan,” tulis Jassin.
Yudhis sesungguhnya bukan nama baru. Pada 1977, novelnya, Arjuna Mencari Cinta, dinobatkan sebagai bacaan remaja terbaik oleh Yayasan Buku Utama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada warsa yang sama, karyanya, Aku Bukan Komunis, memenangkan Sayembara Roman DKJ. Roman itu kemudian terbit di bawah judul Mencoba Tidak Menyerah. Sejumlah cerita pendeknya telah muncul di Horison dan Kompas.
Ia lahir di Subang, Jawa Barat, 28 Februari 1954, sebagai anak keenam dari sebelas bersaudara. Namanya semula adalah Moelyana. Ia bersaudara kembar dengan jurnalis cum sastrawan Noorca M. Massardi.
Keluarga mereka hidup dalam kemiskinan. Yudhis pernah berjualan koran dan rokok. Sang ayah, Mohammad Sardi, wafat ketika Yudhis kelas VI SD. Tapi, sejak kecil ia gemar menyimak komik wayang RA Kosasih dan cerita silat Kho Ping Hoo.
Setelah menyelesaikan SD di Subang, ia pindah ke Yogyakarta, menumpang di rumah kakak tertua yang menjadi guru. Ia belajar di Taman Dewasa, sekolah menengah dalam lingkungan Taman Siswa. Dalam surat kepada Savitri Scherer, terungkap bahwa teman-teman sekolahnya menyapa dengan nama pendek Yan (dari Moelyana) dan kata inilah yang lantas diolah menjadi Yudhistira Ardi Noegraha.
Ia mengaku memilih nama “Yudhistira” karena percaya tokoh wayang tersebut mempunyai kepribadian yang paling dekat dengan dirinya. Dalam khazanah wayang, Yudhistira adalah anggota Pandawa yang paling berbudi.
“Pilihan tersebut menunjukkan bahwa Yudhistira menganggap dirinya sebagai figur yang pada dasarnya serius dan peduli pada moralitas. Pada saat yang sama, jika menengok latar belakang ekonomi keluarganya, preferensi terhadap nama yang aristokrat dan heroik menunjukkan bahwa dia yakin akan harga dirinya dan tidak mengidap sindrom rendah diri,” tulis Savitri dalam “Yudhistira Ardi Noegraha: Social Attitudes in The Works of a Popular Writer” (Jurnal Indonesia, April 1981).
Menggelandang di Jakarta
Lulus SMA, Yudhis berangkat ke Jakarta, menyusul Noorca. Seperti dikisahkan Savitri, mereka sempat menggelandang, tak punya rumah. Saat malam, tidur beratap langit atau dalam mobil-mobil bekas di Jl Wahid Hasyim, dekat Sarinah. Ketika siang, bergaul dengan para seniman di Balai Budaya, Taman Ismail Marzuki, dan Gelanggang Remaja Bulungan (Jakarta Selatan).
Isi dompet mulai membaik saat bekerja sebagai wartawan. Menjadi wakil pemimpin redaksi majalah Le Laki (1976- 1978), ia lalu menjadi jurnalis majalah TEMPO (1979-1981). Ayah musisi Iga Massardi ini mundur dari TEMPO lantaran enggan diringkus rutinitas dan royalti karya mulai mengalir.
Saat bekerja di Le Laki, heboh Sajak Sikat Gigi terjadi--kehebohan yang juga melibatkan keteledoran administratif pihak DKJ. Jadi, buku yang berhak dinilai mesti terbit pada periode 1976-1977, tidak bisa sebelum atau setelahnya. Sementara Sajak Sikat Gigi terbit pada 1978 dan fakta ini baru disadari ketika sudah dipilih panel juri.
DKJ akhirnya meralat keputusan panel juri. Yudhis tak tahu-menahu karena tak pernah mengirim bukunya untuk dinilai, DKJ yang aktif mengumpulkan.
“Saya setuju [dengan keputusan pembatalan] karena buku puisi itu terbit 1978, bersamaan acara saya membaca sajak pada Februari lalu,” ujar Yudhis kepada TEMPO.
Meski membatalkan, DKJ tetap memberikan sejumlah duit plus tiket Jakarta-Tokyo PP. Yudhis tak bersedia menerima. Jika tak berhak dinilai, tak usah ada hadiah, katanya.
Lebih 40 tahun berselang, Sajak Sikat Gigi diterbitkan ulang. Di akun facebook-nya, 2 Mei 2019, Goenawan Mohamad kembali melayangkan apresiasi.
Pada masa Yudhis mulai menulis, tutur penulis Catatan Pinggir ini, usia muda ditandai sikap non-konformis. Tapi sekarang, yang kita saksikan adalah mereka yang alim, sopan santun, bersih, necis, yang dengan cepat merunduk, tak doyan bertanya, tak menggugat.
“Bisakah sajak sesegar puisi Yudhis dilahirkan generasi alim yang bisa berteriak 'tidak' dengan keras tapi tak berani bertanya 'kenapa?' Saya ragu. Mungkin sebab itu dalam keadaan seperti sekarang, sajak-sajak ini menjadikan kita nostalgik kepada sebuah generasi mbeling, anak-anak muda yang tak mudah jinak,” tulis Goenawan.
Yudhis meninggal dunia pada 2 April 2024. Khalayak sastra mengenang pengelola sekolah gratis Batutis Al-Ilmi ini sebagai sosok kreatif dan representasi kaum muda pada masanya yang ogah mengekor para tetua.
Penulis: Yus Ariyanto
Editor: Irfan Teguh Pribadi