tirto.id - Seorang bocah selalu menantikan ibunya pulang berbelanja. Bukan ibunya betul yang ia tunggu, tapi bungkus-bungkus belanjaan dari koran yang kerap menyajikan potongan-potongan komik Tarzan. Kisah yang terpotong-potong sesuai dengan sobekan-sobekan kertas itu ia ikuti dengan penuh minat. Setelah lulus dari Inlands School pada 1932, ia melanjutkan ke HIS Pasundan. Di sekolah ini ia mulai tertarik pada seni menggambar.
“Ilustrasi pada buku pelajaran bahasa Belanda bagus-bagus. Buku catatan saya banyak yang cepat habis karena saya gambari,” ujar si bocah itu ketika telah menua, seperti dikutip Aulia A. Muhammad di harian Suara Merdeka tahun 2004.
Bocah itu adalah Raden Ahmad Kosasih. Kelak, saat ia mulai membuat buku komik, namanya lebih populer dengan sebutan R.A. Kosasih.
Dilahirkan pada 1919 di desa Bondongan, Bogor, Kosasih adalah anak dari pasangan Raden Wiradikusuma, seorang pedagang dari Purwakarta, dan Sumami, perempuan asli Bogor.
Setelah tamat dari HIS Pasundan, meski kesempatan untuk menjadi ambtenaar terbuka lebar, Kosasih lebih memilih menganggur. Waktu luangnya banyak ia habiskan untuk menggambar dan menonton pertunjukan wayang golek sampai pagi.
“Jika pulang nonton, kepala saya masih selalu dipenuhi gambaran ceritanya. Saya lalu dapat ide, jika cerita itu dipersingkat tapi tetap berbobot, tentu disukai banyak orang,” tulis Aulia A. Muhammad mengutip Kosasih.
Waktu berlalu, idenya menguap. Masa menganggur berakhir saat ia diterima sebagai juru gambar di Museum Zoologi Bogor pada 1939. Ia bertugas membuat gambar-gambar hewan dan tumbuhan secara detail untuk buku-buku terbitan museum dan buku pelajaran. Selain itu, Kosasih juga sempat membuat komik strip di koran lokal Bogor.
Saat Jepang masuk, kehidupan banyak berubah, penderitaan di mana-mana. Penghiburannya hanya satu: komik Flash Gordon. Memasuki 1953, banyak koran yang membuka lowongan untuk para penggambar. Kosasih melamar ke harian Pedoman di Bandung, dan diterima. Jam kerjanya bertambah, karena selain menggambar untuk harian Pedoman, ia juga tetap bekerja di Museum Zoologi.
Karya-karyanya membuat penerbit Melodie di Bandung tertarik, lalu menawarinya untuk membuat komik. Buku komik pertamanya berjudul Sri Asih yang terinspirasi dari karakter superhero Amerika Wonder Woman. Sri Asih dicetak sebanyak 3.000 eksemplar dan langsung habis. Penerbit memberinya honor sebesar Rp4.000—angka yang sangat besar jika dibandingkan dengan gajinya sebagai pegawai yang hanya Rp150.
Kecintaan Kosasih terhadap wayang golek, dan pengalamannya menonton pertunjukan tersebut, ia tuangkan ke dalam tokoh Sri Asih yang dipadupadankan dengan karakter perempuan super yang dihasilkan budaya Barat.
Sri Asih adalah sosok bernama Nani. Jika mengucapkan kata sakti “Dewi Asih”, ia berubah menjadi perempuan super yang kebal senjata dan bisa terbang.
“Tokoh Sri Asih digambarkan sanggup melesat cepat ke angkasa seperti Superman, gagah berani bagai Wonder Woman, cantik, dan halus tutur katanya bak putri keraton. Uniknya, Kosasih rupanya berupaya merancang tipografi khas figur superhero Indonesia. Berbeda dibandingkan dengan Superman atau Wonder Woman, sosok Sri Asih tampil menggunakan kostum seperti wayang golek Sunda,” tulis Erwin Y. Salim dalam majalah Gatra edisi 14 Januari 2013.
Menurut Paul Heri Wibowo dalam Masa Depan Kemanusiaan: Superhero dalam Pop Culture (2012), seperti dikutip Erwin, lewat sosok Sri Asih, Kosasih melakukan sebuah revolusi dalam dunia teks naratif masyarakat Indonesia modern karena menempatkan perempuan sebagai protagonis. Pada masa itu, baik di Indonesia maupun di Amerika Serikat yang banyak memberi pengaruh terhadap tokoh-tokoh superhero, sosok pahlawan didominasi kaum laki-laki.
Tradisi naratif di Indonesia, sambung Erwin, jarang menempatkan perempuan sebagai tokoh utama, karena perempuan dianggap tidak mampu dan tidak layak tampil sebagai penyelesai masalah.
Setelah sukses dengan karya pertamanya, Kosasih lalu membuat Siti Gahara. Meski sosok yang ditampilkan mirip seperti Sri Asih yang sakti dan penolong kaum lemah, tapi secara kostum Siti Gahara ditampilkan dengan kostum tokoh dalam kisah Seribu Satu Malam.
Karena Siti Gahara lagi-lagi laku keras, semangat Kosasih semakin bertambah. Ia lalu membuat Sri Dewi. Imajinasinya yang menjompak bahkan mendorong ia untuk melahirkan edisi Sri Dewi kontra Dewi Sputnik.
“Saya mau menunjukkan, tradisi lawan modern tidak selalu dimenangkan yang modern. Sri Dewi harus tetap menang,” ujarnya kepada Aulia A. Muhammad.
Permintaan pasar yang semakin deras membuat ia mulai kewalahan. Perkerjaannya sebagai juru gambar di Museum Zoologi Bogor ditinggalkan. Namun, masa-masa jaya itu sempat terhenti saat situasi politik di Indonesia kembali memanas. Lembaga Kebudayaan Rakyat yang menjadi motor kebudayaan di banyak lini mengecam komik-komiknya karena dianggap kebarat-baratan.
Tiras komiknya menurun drastis. Atas pertimbangan kelokalan, ia kemudian membuat komik Mundinglaya Dikusuma, Ganesha Bangun, Buriswara Gandrung, dan Buriswara Merindukan Bulan. Perlahan komiknya mulai disukai kembali oleh pasar.
Sekali waktu ia berkunjung ke Perpustakaan Bogor, dan melihat buku Bhagavad Gita terbitan Balai Pustaka. Saat itu pula ia teringat pada ide lamanya untuk menampilkan tokoh perwayangan.
Tak lama setelah itu, lahirlah komik Mahabharata dan Ramayana yang sampai saat ini disebut-sebut sebagai komik lokal dengan penjualan paling tinggi. Menurut Kosasih, kesuksesan dua komik wayang ini didukung oleh pertunjukan wayang golek yang saat itu tengah populer. Penjualan dua komik inilah yang membuatnya mampu membeli rumah.
Pada 1970-an, penerbit Maranatha di Bandung memintanya untuk menulis ulang komik Mahabharata. Namun karena hasilnya tak sama dengan karyanya yang pertama, komik tersebut dinilai gagal.
“Memang, jika menggambar saya mengikutkan suasana hati. Jadi, kadang menjadi beda sama sekali,” ujarnya.
Hari Komik dan Penerbitan Ulang
Saat usia Kosasih semakin senja, ia kerap sakit-sakitan. Beberapa hari sebelum ia meninggal, Beng Rahadian pendiri Akademi Samali sempat menemaninya di rumah sakit. Dengan suara pelan bercampur bahasa Sunda, ia berkata kepada Beng agar tak ragu untuk memakai namanya pada sejumlah kegiatan atau organisasi komik yang dipelopori anak-anak muda. Bahkan ia menyarankan mengubah nama Akademi Samali dengan Akademi Kosasih.
Beng berkisah dengan agak terbata, air matanya tak bisa dibendung. Keharuan itu timbul karena ia dan kawan-kawannya sempat tak dipercaya dan dimarahi habis-habisan oleh Kosasih, yang sudah tidak percaya lagi kepada orang-orang yang berkunjung ke rumahnya dan berbicara tentang komik. Sejumlah koleksi komiknya yang dipinjam para tamu kerap tak kembali. Ia merasa dimanfaatkan.
Saat itu Beng meminta izin meminjam namanya untuk dipakai sebagai nama penghargaan bagi komik-komik Indonesia terbaik setiap tahun dengan nama Kosasih Award. Namun, karena sudah sering dibohongi para tamu, Kosasih malah menyangkanya dan Beng hanya memanfaatkan nama dia untuk keuntungan yang tak akan dia terima.
Kepercayaan Kosasih yang akhirnya Beng dan kawan-kawannya dapatkan bahkan menjadi hubungan personal. Saat Kosasih sakit, ia dan kawan-kawannya kerap dihubungi keluarga pembuat komik Mahabharata tersebut.
Setelah berjuang melawan sakit, R.A. Kosasih akhirnya meninggal pada 24 Juli 2012, tepat hari ini enam tahun lalu. Beng dan kawan-kawannya, termasuk Hikmat Darmawan (kolektor dan peneliti komik Indonesia), mendapuk Kosasih sebagai bapak komik Indonesia.
“Saya termasuk yang setuju kalau beliau dinobatkan sebagai bapak komik Indonesia. Tapi tidak semua sepakat, termasuk mas Seno Gumira Ajidarma, karena bagi beliau bukan R.A. Kosasih yang memulai komik di Indonesia,” ujarnya kepada Tirto (12/7/2018).
Selain itu, berdasarkan penerbitan buku komik pertama di Indonesia yang menurut Beng dipelopori Kosasih dan penyebarannya sangat masif, mereka juga menjadikan tanggal lahir Kosasih sebagai hari komik nasional. Namun, seperti halnya penamaan bapak komik Indonesia, penentuan hari jadi komik ini pun masih belum ada kesepakatan dari para penggiat komik di Indonesia.
Menurut Beng, komunitas yang menamakan dirinya Masyarakat Komik Indonesia menganggap bahwa kalau mau mencanangkan hari komik, mesti mengacu pada Pekan Komik dan Animasi pertama yang digelar pada 1997.
Beng dan kawan-kawannya keberatan, karena mereka menginginkan hari komik saja tanpa animasi. Menurutnya, kawan-kawan animasi pun pasti menginginkan hari mereka sendiri tanpa komik.
Belum adanya kesamaan suara dari para penggiat komik dalam menentukan hari komik nasional tak membuat Beng dan kawan-kawannya menjadi tidak produktif. Setiap hari lahir Kosasih, mereka menggelar acara “Kosasih Day” yang isinya berbagai kegiatan yang berhubungan dengan komik.
“Tapi karena masih perdebatan, jadi kalau kami [setiap tanggal] 4 April itu menggelar ‘Kosasih Day’. Karena kan hari komik itu yang penting aktivitasnya,” tambahnya.
Sementara itu, Kosasih Award, penghargaan yang diberikan kepada komik-komik terbaik Indonesia dalam kurun satu tahun, tersendat lantaran keterbatasan dana.
Sampai sekarang, komik-komik wayang Kosasih masih diterbitkan ulang, salah satunya oleh Anjaya Books dan Plus+ milik Andi Wijaya. Saat dihubungi Tirto (12/7/2018), Andi mengatakan bahwa ia menerbitkan komik Kosasih dalam bentuk hard cover dan didistribusikan lewat sejumlah toko buku besar seperti Gramedia dengan harga Rp915.000.
Ia sadar bahwa harga itu cukup mahal, tapi dengan kualitas yang prima ia yakin bahwa produknya tidak akan mengecewakan konsumen.
“Eksklusif dan memang collector item. Jadi itu semacam konservasi. Cover dan isinya juga ditata dengan baik,” kata Beng mengomentari komik R.A. Kosasih terbitan Plus+.
Selain dalam bentuk fisik, Andi Wijaya lewat Anjaya Books juga menerbitkan komik-komik Kosasih di Google Play. Menurutnya, selama setahun lebih terbit di Google Play, komik-komik Kosasih mendapat respon yang cukup signifikan. Namun tiga bulan ke belakang, karena masalah kebijakan, komik-komik tersebut untuk sementara ditarik dari Google Play.
“Saya belum tahu [kapan naik lagi di Google Play], saya lagi tanya ke vendor saya dulu,” ujarnya.
Editor: Ivan Aulia Ahsan