tirto.id - Pemilu masih tahun depan, tapi ada satu pertanyaan dasar pada partai politik baru: apa mungkin suaranya bakal di atas parliamentary threshold (ambang batas parlemen) sehingga setidaknya 1 politikusnya bisa menjadi anggota DPR?
Dari 16 parpol peserta Pemilu 2019, 4 di antaranya adalah parpol baru: Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Berkarya, dan Garuda.
Keempat parpol itu belum pernah mengikuti pemilu sebelumnya. Berkaca pada empat pemilu sebelumnya, performa yang ditampilkan parpol baru memang ada yang menggebrak. Namun, masih kalah dengan jumlah parpol baru yang bernasib gurem.
Pasca-Orde Baru, 45 dari 48 parpol Pemilu 1999 adalah parpol baru, dan tiga di antara mereka masuk dalam lima parpol pemilik suara terbanyak (PDIP, PKB, dan PAN). Namun, hasil itu berkebalikan dari 37 parpol baru lain yang hanya mendapatkan kurang dari 1 persen suara.
Tren gurem parpol baru terlihat pada pemilu selanjutnya. Pada Pemilu 2004, ada 18 parpol baru; sebagian berdiri setelah Pemilu 1999, sebagian lain salinan partai lama yang berganti nama. Meski begitu, hanya Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera yang tampil moncer, masing-masing meraih sekitar 7,5 persen suara. Sedangkan pada Pemilu 2009, hanya Hanura dan Gerindra dari 18 parpol baru yang mampu mendudukkan wakilnya di parlemen dengan perolehan 4 persen suara.
Jelang Pemilu 2014, undang-undang tentang partai politik dan pemilu mengetatkan pendirian parpol. Alhasil, parpol baru yang berlaga hanya NasDem. Parpol pimpinan saudagar media Surya Paloh itu memperoleh 6,68 persen suara.
Wajah Lama dan Wajah Baru
Hikayat parpol baru itu menunjukkan betapa kecil kans mereka, kecuali bagi yang punya satu tokoh sentral dengan sumber dana besar dan jaringan patron luas. Nama-nama mereka termasuk Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono, Prabowo Subianto, dan Surya Paloh.
Parpol baru bikinan pensiunan jenderal-pengusaha-politikus lawas itu dikembangkan dari jaringan politik sebelumnya. Wiranto, Prabowo, dan Surya Paloh adalah anggota Golkar yang gagal terpilih sebagai kandidat presiden pada Pilpres 2009. Wiranto, Prabowo, dan SBY adalah perwira militer hasil didikan Orde Baru. PKS didirikan berbekal jaringan gerakan dakwah Tarbiyah yang telah dibangun sejak 1980-an.
Resep itu tampaknya masih diikuti parpol baru pada Pemilu 2019. Perindo, Berkarya, juga Garuda sebenarnya dipimpin wajah-wajah lama.
Ketua Umum Perindo Hary Tanoesoedibjo sudah muncul sejak Pemilihan Presiden 2014. Tanoesoedibjo sempat masuk Hanura dan digadang sebagai kandidat wakil presiden mendampingi Wiranto. Namun, ia berubah haluan dengan mendukung Prabowo, sedangkan Wiranto mendukung Joko Widodo.
Sementara Ketua Umum Berkarya Hutomo Mandala Putra adalah anak Soeharto. Akrab disapa Tommy, laki-laki yang pernah dipenjara karena merancang pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita itu adalah putra kandung Golkar. Tommy kalah dalam pemilihan ketua umum Golkar 2009.
Adapun Ketua Umum Garuda Ahmad Ridha Sabana pernah menjadi calon anggota DPRD DKI Jakarta pada Pemilu 2014 lewat Partai Gerindra, tapi hanya mendapatkan 3.691 suara.
Yang agak bersih dari wajah-wajah lama sekarang adalah PSI. Pengurus PSI berusia di bawah 40 tahun dan mengklaim menolak eks kader parpol lain menjabat pengurus harian. Untuk mendapatkan calon anggota legislatif, PSI menyelenggarakan seleksi secara terbuka dengan syarat si pendaftar harus anti-korupsi dan memegang nilai toleransi.
Dalam pelbagai kesempatan, PSI menyerukan para generasi Milenial untuk terlibat dalam politik. Di dalam PSI, seorang pengusaha bernama Jeffrie Geovanie menjabat ketua dewan pembina. (Dewan Pembina PSI adalah pemegang otoritas tertinggi di PSI menurut pasal 14 anggaran dasar partai tersebut.)
Berkaca Pada Hong Kong
Fenomena parpol baru tentu tak hanya di Indonesia. Sebagaimana di Indonesia, kisah parpol di negara lain tak melulu indah. Meski demikian, elan yang mereka lakukan menunjukkan bahwa demokrasi pantas diperjuangkan.
Di Hong Kong, Partai Demosisto dibentuk sejumlah anak muda, penggiat demonstrasi berjuluk "Gerakan Payung" yang diikuti ratusan ribu orang pada 2014.
Hong Kong adalah koloni Inggris sejak 1842. Pada 1997, Inggris menyerahkan Hong Kong kepada Republik Rakyat Tionghoa (RRT). Dalam beberapa hal, Hong Kong amat berbeda dari Tiongkok. Orang Hong Kong berbahasa Kanton, sementara RRT berbahasa resmi Mandarin. Hong Kong menerapkan sistem multipartai, sementara di RRT hanya ada partai tunggal bernama Partai Komunis Tiongkok.
Sejak RRT menguasai Hong Kong, Beijing menyiarkan lagu kebangsaan RRT diikuti berita berbahasa Mandarin melalui saluran televisi Hong Kong. Beijing juga membuat buku sekolah berbahasa Mandarin yang di dalamnya seolah mempromosikan sistem yang diterapkan RRT.
Intervensi Beijing terhadap Hong Kong juga dapat dilihat dalam konteks turunnya produk domestik bruto (PDB) Hong Kong terhadap RRT dari 27 persen pada 1993 menjadi kurang dari 3 persen pada 2017. RRT tumbuh besar, dan itu membuat Beijing mengintervensi kehidupan warga Hong Kong.
Di lain pihak, berdasarkan survei Hong Kong University pada 2011 dan 2018, warga berbahasa Kanton itu semakin banyak mengidentifikasi diri sebagai "orang Hong Kong" daripada "orang Tionghoa".
Para aktivis "Gerakan Payung" menuntut kebebasan Hong Kong melaksanakan pemilu. Sebelumnya, Beijing mengumumkan akan memeriksa kandidat yang bakal maju dalam Pemilu Hong Kong 2017. Tuntutan gerakan itu beranjak bahwa Hong Kong harus independen sepenuhnya.
Melawan Bersama Demosisto
Demosisto didirikan pada 10 April 2016 oleh pimpinan Scholarism, Joshua Wong dan Agnes Chow, bersama pimpinan Hong Kong Federations of Students, Nathan Law dan Chris Kwok Hei Yiu.
“Demosisto bertujuan untuk mencapai penentuan nasib sendiri yang demokratis di Hong Kong. Melalui aksi langsung, referendum rakyat, dan cara-cara tanpa kekerasan, kami mendorong otonomi politik dan ekonomi kota dari penindasan Partai Komunis Tiongkok dan hegemoni kapitalis,” sebut Demosisto dalam situs webnya.
Demosisto berlaga pertama kali pada Pemilu Dewan Legislatif (LegCo) Hong Kong 2016. Parpol yang identik dengan warna toska ini mengusung Nathan Law di daerah pemilihan Hong Kong Island dan Oscar Lai di dapil Kowloon East. Pemilu Legislatif Hong Kong menerapkan sistem proporsional dengan metode perhitungan suara Kuota Hare.
Melalui penggalangan dana publik, Demosisto menghimpun 1,4 juta dolar Hong Kong selama April-Juli 2016. South China Morning Post melansir biaya untuk berkampanye di dapil Hong Kong Island sebesar 2,4 juta dolar Hong Kong, sementara di dapil Kowloon East dan Kowloon West sebesar 1,8 juta dolar Hong Kong.
Selain melalui Demosisto, para aktivis "Gerakan Payung" membuat AllinHK dan Hong Kong National Party (HKNP). Beberapa di antaranya, sepeti Lau Siu-lai, juga menjadi calon independen untuk mengikuti pemilu.
Sebelum pemilu dimulai, Oscar Lai mundur. Sedangkan Nathan Law berhasil meraup 50.818 suara dan melenggang ke parlemen. AllinHK mengamankan 2 kursi dewan legislatif. Sedangkan HKNP didiskualifiasi sebab menyerukan kemerdekaan Hong Kong dari RRT. Secara keseluruhan, ada 6 aktivis "Gerakan Payung" terpilih sebagai anggota Dewan Legislatif Hong Kong.
"Ini adalah pemilu penting yang diadakan setelah gerakan Occupy Central (sebutan 'Gerakan Payung'). Mengingat enam pemimpin muda adalah pendukung otonomi/ kemerdekaan/ lokalisme; mereka dipandang wakil dari kelompok yang mendukung demokratisasi yang lebih cepat," tulis Tai Wei Lim dalam "The Future of Hong Kong Governance: The Pro‐Independence Legislators' Election Fallout and Beijing's Political Voice in Hong Kong" (2018).
Apakah perjuangan menegakkan demokrasi di Hong Kong langsung surut begitu mereka terpilih sebagai anggota dewan legislatif? Tidak. Bahkan, sikap anti-pemerintahan RRT ditunjukkan oleh mereka sejak pengambilan sumpah jabatan.
Nathan Law dari Demosisto menolak diambil sumpah jabatan demi protes terhadap cara pemerintah Beijing menekan Hong Kong. Lau Siu-lai membaca sumpah secara amat lambat. Dua perwakilan dari AllinHK, Sixtus Leung dan Yau Wai-ching, juga mengkritik RRT saat diambil sumpah jabatan.
Bagaimana dengan parpol baru pada Pemilu 2019?
PSI, yang mengklaim sebagai partainya anak muda, telah menyatakan dukungan kepada Jokowi pada Pilpres 2019. Begitupun Perindo yang dimiliki Hary Tanoesoedibjo. Sementara Berkarya, yang notabene dimiliki Tommy Soeharto, bersikap pragmatis dengan "merangkul" semua kandidat presiden.
Bagaimana Garuda? Partai ini hanya mengubah nama dari partai lama bikinan Harmoko, orang kepercayaan Soeharto, yang gagal dalam proses verifikasi Komisi Pemilihan Umum. Wajah-wajah pengurusnya pun diisi oleh caleg gagal pada Pileg sebelumnya.
Editor: Fahri Salam