tirto.id - Andi Mallarangeng berada di Makassar, Sulawesi Selatan saat panggilan telepon dari Rektor Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Ryaas Rasyid masuk. Hari itu sepekan setelah Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden, 21 Mei 1998.
"Ayo ke Jakarta sini. Bantu saya. Kita harus bikin undang-undang baru," ujar Ryaas kepada Andi.
Presiden B.J. Habibie yang baru sepekan menjabat menggantikan Soeharto sudah didorong untuk menyelenggarakan pemilihan umum (Pemilu). Tetapi, segala macam perangkat peraturan yang melandasi Pemilu masih beraroma Orde Baru.
Semasa Soeharto menjadi presiden Indonesia (1967-1998), Pemilu memang dilaksanakan sebanyak 6 kali, rutin hampir setiap 5 tahun. Tetapi, Pemilu Orde Baru sulit dikatakan demokratis.
Sejak 1973, partai politik (parpol) berhaluan nasionalis dan non-Islam (Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik) dan nasionalis (PNI, IPKI, Murba) dipaksa berfusi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sedangkan parpol berhaluan Islam (Partai NU, Parmusi, PSII, Perti) berfusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Selama 6 Pemilu itu pula, Golongan Karya (Golkar), kelompok politik golongan fungsional pendukung pemerintah, selalu menjadi pemenang. Kekuasaan Soeharto pun langgeng karena selalu dipilih menjadi presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Indonesianis David T. Hill dalam "Communication for a New Democracy: Indonesia's First Online Elections" menyebutkan, Habibie sebenarnya berhak secara konstitusional menjabat hingga 2003, tetapi derasnya semangat reformasi menuntut Pemilu dilaksanakan lebih awal.
Pemerintah, melalui Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid, akhirnya menunjuk Ryaas Rasyid untuk merancang undang-undang baru guna melandasi Pemilu yang demokratis, adil, dan terbuka.
Andi, yang saat itu mengajar di Universitas Hasanuddin, baru saja menyelesaikan studi doktoral di Northern Illinois University (NIU) pada Oktober 1997. Disertasinya berjudul "Contextual Analysis on Indonesian Electoral Behavior". Tanpa banyak pikir, Andi menerima tawaran Ryaas. Hitung-hitung, ini juga sebagai ajang dia menerapkan ilmu.
"Oke, saya siap," balas Andi kepada Ryaas.
Tak lama, laki-laki kelahiran 14 Maret 1963 tersebut terbang ke Jakarta, bergabung dengan orang-orang yang telah dikumpulkan Ryaas. Karena mereka berjumlah tujuh, orang-orang ini kemudian disebut Tim Tujuh.
“Ada yang Bilang Kami NIU Mafia”
Empat orang anggota Tim Tujuh merupakan lulusan NIU. Selain Andi; Ryaas Rasyid, Ramlan Surbakti, dan Afan Gaffar juga lulusan NIU. Keempat orang ini sama-sama pernah berguru kepada indonesianis yang juga guru besar ilmu politik di NIU, Dwight Y. Knight.
Sedangkan tiga orang anggota Tim Tujuh lainnya adalah Lutfy A. Mutty, Djohermansyah Djohan (IIP); dan Anas Urbaningrum (mantan Ketua Umum PB Himpunan Mahasiswa Islam).
“Ada yang bilang kami ini NIU mafia. Itu kebetulan karena kuliah kami di NIU. Pak Dwight memang sebagai guru kami. Tetapi, dalam perancangan undang-undang, dia tidak ikut-ikutan,” ujar Andi kepada Tirto, Selasa (5/6/2018).
Tim Tujuh hanya diberi waktu tiga bulan untuk merancang UU. Meski singkat, Tim Tujuh berhasil menyelesaikan tiga Rancangan UU (RUU) dalam waktu tiga bulan tersebut. Kemudian, Tim Tujuh memaparkannya kepada pemerintah—Presiden Habibie, Mendagri Syarwan Hamid, dan Panglima ABRI Wiranto.
Menurut Andi, apa yang jadi usulan Tim Tujuh langsung disetujui Habibie dan Syarwan Hamid. Namun, RUU tersebut banyak ditentang saat diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Panglima ABRI Wiranto menentang usulan Tim Tujuh yang ingin meniadakan Fraksi ABRI di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Usulan Tim Tujuh mengenai penerapan sistem distrik dan sistem campuran seperti di Jerman untuk Pemilu 1999 pun ditolak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Setelah pihak pemerintah, ABRI, dan DPR berkompromi, akhirnya disetujui bahwa Fraksi ABRI mendapat jatah kursi 38 di MPR, separuh dari yang sebelumnya dia punya. DPR pun menerima usulan Tim Tujuh untuk menerapkan sistem proporsional terbuka di Pemilu 1999.
"Ya sistemnya seperti sekarang ini. Pemilih memilih calon legislatif. Mereka yang mendapat suara terbanyak yang berhak mewakili parpol dan dapilnya,” ujar Andi.
Paket RUU usulan Tim Tujuh diratifikasi DPR pada 29 Januari 1999. Dalam paket itu ada tiga UU, yakni UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang partai politik, UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, dan UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR/DPRD.
"Tampil laiknya pemerintahan liberal, tiga UU penting disahkan oleh DPR pada 29 Januari 1999 untuk mengizinkan pembentukan partai politik secara bebas, mereformasi proses pemilihan, dan mereformasi dua badan perwakilan nasional, DPR dan MPR," tulis Hill.