Menuju konten utama

Jalan Terjal Partai Islami Menuju Pemilu 2019

Partai islami peserta pemilu kian mengempis, baik dari jumlah partai maupun volume suara yang diperoleh.

Jalan Terjal Partai Islami Menuju Pemilu 2019
Ilustrasi Partai Politik Islam. tirto.id/Istimewa

tirto.id - Yusril Ihza Mahendra geram. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan Partai Bulan Bintang (PBB) yang diketuainya tidak lolos verifikasi faktual sehingga tidak dapat mengikuti Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.

"Kami sekali lagi terzalimi KPU. Bahkan mungkin bukan hanya oleh KPU, tetapi oleh pihak-pihak yang tidak suka pada PBB karena kami membela Islam dan membela kaum yang tertindas. Saya mengajak segenap komponen bangsa yang anti kezaliman untuk melawan melalui cara yang sah dan konstitusional," cuit Yusril melalui akun Twitternya, Kamis (22/2/2018).

Partai Islami, Mekar Setelah Reformasi

PBB didirikan pada tanggal 17 Juli 1998, seiring berjalannya gelombang Reformasi 1998. Dalam "The Islamic Factor in Post Soeharto Indonesia" (2000), guru besar sejarah di Fakultas Adab UIN Syarief Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra mencatat 40 dari 141 partai baru yang didirikan sesaat setelah Soeharto tumbang merupakan partai islami.

Menurut Azyumardi, ada dua faktor legal yang membuat partai islami menjamur. Yang pertama, keputusan Presiden Habibie mencabut aturan sistem tiga partai—Golkar, PDI (kelompok nasionalis), PPP (kelompok islami)—yang diterapkan secara paksa oleh Soeharto melalui kebijakan fusi partai tahun 1973. Yang kedua, pencabutan Undang-Undang Ormas 1985 yang mengharuskan setiap organisasi di Indonesia menerapkan asas pancasila.

Lili Romli dalam "Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia" menyebutkan faktor teologis dan sosiologis Islam di Indonesia juga menjadi dalih kemunculan kembali partai-partai islami. Secara teologis, Islam meyakini agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan politik dan negara. Secara sosiologis, Islam adalah agama mayoritas di Indonesia. Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010 menyatakan sebanyak 87,18 persen penduduk Indonesia beragama Islam.

Azyumardi mengatakan salah satu elemen yang membuat suatu partai digolongkan partai islami adalah menjadikan Islam sebagai asas partai. Selain PBB, ada Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI) yang juga termasuk di dalam kelompok ini.

Ia kemudian menggolongkan partai berasas Pancasila yang pada saat bersamaan mengedepankan simbol-simbol Islam—seperti bulan-bintang, kakbah, atau aksara Arab—sebagai partai islami. Kelompok partai ini mencakup Partai Cinta Damai (PCD), Partai Indonesia Baru (PIB), Partai Bintang Reformasi (PBR), atau Partai Syariah Islam Indonesia (PSII).

Partai-partai yang berbasis massa Islam seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) didirikan kiai-kiai Nahdlatul Ulama, atau Partai Amanat Nasional (PAN) yang banyak tokoh sentralnya, misalnya Amien Rais, berasal dari kalangan Muhammadiyah juga dapat dikategorikan sebagai partai islami.

Namun, definisi tersebut bisa jadi cair. Misalnya, Syukron Ma'mun, pendiri PPNUI, adalah Pimpinan Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta yang berafiliasi dengan NU.

Dalam perjalanannya pun partai-partai islami tersebut cenderung berfusi dengan partai yang berada di luar kategori tersebut. Misalnya, PKNU berfusi ke Gerindra, sementara PBR bergabung ke PAN, jelang Pemilu 2014.

Suara Islam Tak Kunjung Berkibar

Dari 41 partai islami yang dicatat Azyumardi, hanya 20 di antaranya yang berhasil lolos seleksi untuk mengikuti Pemilu 1999.

Meski kemunculannya semarak, dari pemilu ke pemilu, jumlah partai dan suara yang diperoleh partai-partai islami stagnan, bahkan menurun. Dari tiga kelompok partai islami itu, hanya 5 partai yang lolos dalam Pemilu 2014.

Di Pemilu 2004, total perolehan suara empat partai islami berasas Islam hanya 18,77 persen suara nasional. PBB mendapat 2,62 persen perolehan suara nasional. Sementara itu, PPP mendapat 8,16 persen. PKS dan PPNUI menyusul, dengan perolehan suara, masing-masing sebesar 7,2 persen dan 0,79 persen.

Di dua pemilu berikutnya, total perolehan suara empat partai Islam itu menurun menjadi 15,15 persen di Pemilu 2009 dan 14,78 persen di Pemilu 2014.

Di dua pemilu itu, bahkan suara yang diperoleh PBB bahkan tidak mencapai 2 persen. Karena itu, PBB pun tidak bisa mendudukkan anggotanya sebagai di DPR. Sedangkan PNUI tidak bisa mengikuti Pemilu 2014.

Di Pemilu 2009, PBB mendapat 1,79 persen suara sedangkan PNUI (kelanjutan dari PPNUI) mendapat 0,14 persen. Sementara itu, PBB memperoleh 1,46 persen di Pemilu 2014. PPP pun menempuh jalan terjal dengan perolehan suara 5,33 persen pada Pemilu 2009 dan 6,53 persen pada pemilu selanjutnya.

Hanya PKS yang perolehan suaranya cukup stabil. Ia memperoleh 7,89 persen di Pemilu 2009, dan 6,79 persen di Pemilu 2014.

Dalam Politics of Shari'a Law (2016), Michael Buehler mencatat suara PBB, PPNUI, PKS, dan PPP pada lebih dari 1.000 pemilu lokal yang diadakan dari 1998 hingga 2009. Hasilnya, keempatnya hanya mendapat mayoritas suara di Kabupaten Aceh Besar, NAD sebanyak 51 persen pada Pemilu DPRD 1999. Keempat partai juga memperoleh 58,6 persen suara pemilu DPRD di Kabupaten Bone Bolanga, Gorontalo.

Nasib saudara mereka bisa dibilang cukup lebih baik. Suara PAN meningkat dari 6,41 persen (Pemilu 2004), 6,03 persen (Pemilu 2009), menjadi 7,59 persen (Pemilu 2014). Satu hal yang mempengaruhi penambahan suara ini adalah bergabungnya PBR pada 2011.

Sedangkan PKB mesti melalui jalan berliku untuk mendongkrak terjunnya suara. Di Pemilu 2004, PKB mendapat 10,61 persen. Namun, PKB pecah jelang Pemilu 2009. Hasilnya, PKB hanya mampu 4.95 persen suara di Pemilu 2009.

Pangkal perpecahan itu adalah Muktamar Luar Biasa Ancol yang digelar 2-4 Mei 2008 menetapkan Muhaimin Iskandar sebagai ketua umum PKB. Namun, pada saat yang sama, Muktamar Luar Biasa yang digelar pada 30 April-1 Mei 2008 di Parung menetapkan Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum Dewan Syuro PKB dan Ali Masykur Musa sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB.

Setelah islah para kubu pada 2011, PKB mampu mendulang suara hingga 9,04 persen di Pemilu 2014.

infografik partai islami indonesia

Menakar 2019

Setelah PBB dinyatakan tidak lolos verfikasi oleh KPU, secara otomatis partai islami yang bakal berlaga di Pemilu 2019 hanya PKS dan PPP plus PAN serta PKB.

Tantangan pun menghadang. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilansir akhir Januari 2018 menyatakan PKS, PPP, dan PAN masuk dalam kategori lima partai dengan elektabilitas terendah. PKS 3,8 persen, sementara PPP mendapat 3,5 persen. Bahkan elektabilitas PAN hanya sebesar 2 persen, di bawah Perindo, partai baru besutan Hary Tanoesudibyo dengan angka 3 persen.

Survei yang digelar 7-14 Januari 2018 justru menyebut PKB mendapat 6 persen. Angka elektabilitas itu membuat PKB bertengger pada peringkat ke-5 setelah PDI Perjuangan (22,2 persen), Golkar (15,5 persen), Demokrat (6,2 persen).

Survei elektabilitas yang diluncurkan Poltracking Indonesia pun menyatakan hasil yang tidak jauh berbeda. Rinciannya: PKB beroleh angka 5,1 persen, disusul PKS (2,6 persen), PAN (2,1 persen) dan PPP (2,1 persen).

Dari telaah survei LSI dan Poltracking Indonesia, kabar terang terkait masa depan partai islami hanya datang dari PKB. Tentu saja, semuanya

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Maulida Sri Handayani