Menuju konten utama
Periksa Data

Seberapa Kuat Suara Partai-Partai Islam dari Tiga Pilkada

Suara elektoral dari partai-partai Islam secara nasional cenderung stagnan, terutama pascareformasi.

Seberapa Kuat Suara Partai-Partai Islam dari Tiga Pilkada
Periksa Data Membaca Elektoral Partai-Partai Islam Dari 3 Pemilukada. tirto.id/Quita

tirto.id - Indonesia dikenal sebagai negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam. Catatan sensus penduduk dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2010 memperlihatkan ada 87,18 persen penduduk Muslim di Indonesia. Namun, catatan sejarah menunjukkan partai-partai Islam tidak memiliki daya untuk menyatukan suara penduduk Muslim di Indonesia. Termasuk soal bagaimana mereka mampu mengubah keyakinan mayoritas penduduk –agama, untuk menjadi suara elektoral–suara politik.

Suara elektoral dari partai-partai Islam secara nasional terlihat cenderung stagnan, terutama periode setelah 1999 –pascareformasi. Pada 1999, total gabungan suara partai-partai Islam tercatat mencapai 33,75 persen. Angkanya sempat meningkat menjadi 35 persen pada pemilu 2004. Namun, pada pemilu 2009 capaian suara politik partai-partai Islam turun menjadi hanya sebesar 25,99 persen, sebelum akhirnya naik padi ke kisaran 31,41 persen pada pemilu 2014.

Perolehan Kursi Hasil Elektoral Pemilu 2014

Pada pemilu 2014, hanya ada empat provinsi yang mendapatkan kursi legislatif (DPR-RI) dengan proporsi koalisi partai-partai Islam di atas 40 persen. Proporsi ini digunakan dengan membandingkan jumlah perolehan kursi dari partai-partai Islam dengan kursi yang dialokasikan di wilayah tersebut.

Perhitungan ini bertujuan untuk memperlihatkan representasi partai Islam dalam mewakili rakyat. Kalimantan Selatan tercatat menjadi provinsi yang berhasil memberikan kemenangan elektoral terbesar bagi partai-partai Islam, dengan hasil 5 buah kursi anggota dewan di Senayan. Empat kursi, masing-masing dua, disumbangkan oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara, satu kursi lagi berasal dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Infografik Periksa Data Membaca Elektoral Partai

Selain dari keempat provinsi tersebut, hasil kursi legislatif yang dimenangkan oleh partai-partai Islam berkisar antara 17 hingga 36 persen. Hanya di wilayah Provinsi Bangka Belitung, Bali, Sulawesi Tengah, Gorontalo dan Sulawesi Barat, serta Papua Barat, partai-partai Islam ini tidak mendapatkan jatah kursi sama sekali.

Karena dalam pemilu satuan administratif yang dipergunakan adalah daerah pemilihan (dapil), maka perlu ditelaah wilayah mana saja yang menjadi basis pemberi perolehan kursi anggota DPR RI? Hasilnya, setidaknya enam dapil utama yang berhasil membuat partai Islam memiliki kursi legislatif; dengan perolehan di atas 50 persen. Dapil Jawa Barat X (Sukabumi, Kota Sukabumi) dan Jawa Tengah X (Batang, Pekalongan, Pemalang, Kota Pekalongan) bahkan berhasil memberi 57 persen proporsi perolehan kursi.

Infografik Periksa Data Membaca Elektoral Partai

Ditemukan pula delapan dapil dengan perolehan di atas 40 persen, terutama untuk Aceh I (Aceh Besar, Kota Banda Aceh, Kota Sabang); Jambi (semuanya); Jawa Tengah VII (Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen) dan Jawa Timur III (Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo) yang mampu memberi hingga 43 persen. Sementara sisanya berada dalam proporsi 14-38 persen atas sumbangsihnya dalam menentukan perolehan kursi anggota DPR RI.

Infografik Periksa Data Membaca Elektoral Partai

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa penguasaan perolehan suara elektoral partai-partai Islam tidak merata. Catatan pemilu 2014 itu juga memperlihatkan bahwa, hanya terdapat 14 dapil (dari 77 dapil secara nasional) yang dapat dikatakan sebagai wilayah “basis suara” elektoral partai Islam. Itupun hanya enam wilayah yang dianggap mampu memberi proporsi sampai 50 persen, serta delapan wilayah yang menyumbang 40 persen kursi.

Bagaimana Hasil Elektoral Partai Islam Pada Pilkada?

Apa yang tergambar melalui temuan basis suara partai Islam dalam pemilu 2014 tidak sepenuhnya dapat dijadikan landasan dalam melihat kekuatan elektoral saat Pemilihan Umum Kepala Daerah. Melalui pengolahan data atas Pemilihan Gubernur (Pilgub)–pilkada tingkat provinsi, pada 2013, 2015 dan 2017; ditemukan semakin banyak wilayah basis suara partai Islam. Sekalipun dengan catatan, pada pemilihan ini, partai politik Islam acapkali tidak berjalan sendiri.

Praktik koalisi antarpartai menjadi semacam kewajaran dalam upaya memenuhi syarat, strategi pemenangan kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur, serta kepentingan lainnya. Pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur periode 2013-2014, dari 15 wilayah pemilihan, partai Islam hanya kehilangan dua wilayah saja. Riau dan Jawa Tengah, gagal dimenangkan dengan koalisi yang melibatkan partai-partai Islam. Sementara, 13 wilayah lainnya, berhasil memang dengan proporsi partisipasi koalisi partai Islam yang berbeda-beda.

Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Jawa Barat pada 2013 itu lantas menjadi wilayah dengan proporsi koalisi partai-partai Islam tertinggi, mencapai hampir 67 persen. PKS dan PPP menjadi wakil dari partai-partai Islam untuk kasus ini. Namun, tidak saja di Jawa Barat, pada pemilihan kepala daerah untuk NTT tahun yang sama, tiga partai Islam (PPP, PKB dan PKS) berhasil memenangkan pemilihan. Proporsi partisipasi mereka ini mencapai 60 persen terhadap koalisi yang terbentuk selama pencalonan.

Infografik Periksa Data Membaca Elektoral Partai

Pada kasus Pilgub 2015, koalisi yang dibentuk dengan unsur partai-partai Islam, secara umum mampu memenangkan delapan wilayah kompetisi. Partai-partai Islam hanya gagal untuk wilayah Sulawesi Utara yang dimenangkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) secara tunggal.

Wilayah Jambi (60%) dan Sulawasi Tengah (75%) pada tahun 2015 juga diketahui menjadi wilayah koalisi dengan proporsi partai Islam yang besar. Koalisi partai di Jambi berhasil dibangun oleh PKB, PAN, PBB dengan partai-partai nasional lainnya. Sementara untuk wilayah Sulawesi Tengah melalui peran serta PBB dan PAN.

Infografik Periksa Data Membaca Elektoral Partai

Pada Pilgub 2017, enam wilayah berhasil dimenangkan oleh koalisi yang melibatkan unsur partai-partai Islam, hanya di wilayah Gorontalo yang tercatat gagal dimenangkan. Kasus koalisi terbaik yang melibatkan partai Islam pada periode ini adalah DKI Jakarta (50%) dan Sulawesi Barat (50%).

Infografik Periksa Data Membaca Elektoral Partai

Melihat paparan data di atas, meskipun mayoritas penduduk beragama Islam, tetapi partai politik berlandaskan agama mayoritas di Indonesia belum menjadi pemain penting dalam politik Indonesia. Pada tataran nasional, dalam hal ini pemilihan legislatif, pasca-reformasi, tidak ada satu partai Islam yang berhasil mendapatkan kursi mayoritas. Jika digabungkan pun, jumlahnya tidak mencapai setengahnya.

Estimasi Suara Partai-Partai Islam Cenderung Masih Kecil

Pada pemilu 2014 total keseluruhan suara yang diperoleh partai-partai Islam mencapai 31,41 persen. Berbekal data jumlah anggota partai politik yang dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk pemilu 2019, estimasinya, suara dari partai-patai Islam hanya mencapai sekitar 23,14 persen.

Jika estimasi ini konsisten, angka perolehan yang muncul mengingatkan situasi pemilu 2009. Saat itu suara-suara partai politik Islam turun drastis dibandingkan dengan pemilu 2004. Tentu, angka estimasi ini mesti disertai catatan, yaitu belum menyertakan potensi suara dari non-anggota partai politik.

Infografik Periksa Data Membaca Elektoral Partai

Gambaran tersebut juga cenderung membantu asumsi, bahwa situasi yang tidak jauh berbeda hampir dipastikan terjadi. Suara elektoral partai-partai Islam cenderung tidak akan berpotensi menjadi suara mayoritas dalam pemilihan. Terutama pemilihan legislatif secara nasional. Sekalipun suara keseluruhan partai Islam digabung, jumlahnya tidak pernah menyentuh angka 40 persen atau bahkan 50 persen.

Kemenangan Lokal

Hal yang serupa tentu akan terjadi pula pada Pilkada. Suara partai-partai Islam sepertinya tidak akan menjadi satu-satunya “single fighter” atas perolehan kemenangan. Susahnya mereka mendapatkan mayoritas suara elektoral membuat praktik koalisi antarpartai politik mesti berlaku. Mereka perlu melakukan koalisi untuk menang pemilihan, bahkan harus menjalani model koalisi lintas ideologis –antarpartai-partai Islam dengan sekuler dan nasionalis. Kasus yang terjadi pada pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur pada periode 2013-2014; 2015 dan 2017 membuktikan hal tersebut.

Kemenangan Pilkada yang dihasilkan bukan semata-mata atas koalisi partai-partai Islam. Mereka memenangkan pemilihan dengan melakukan praktik terbuka berkoalisi dengan sekuler dan nasionalis. Menariknya, hanya sedikit kasus yang terjadi, di mana partai sekuler dan nasionalis dapat menang tanpa adanya koalisi sama sekali dengan partai-partai politik Islam.

Pada Pilkada 2013, kasus yang mencolok terjadi di wilayah Jawa Tengah, sementara pada Pilkada 2015 terjadi di Sulawesi Utara. Artinya, konsekuensi harus berhubungan dengan partai-partai Islam pun mesti dijalankan oleh partai-partai sekuler dan nasionalis. Berdasarkan catatan kemenangan pemilukada itu, partai-partai Islam sepertinya terasa diperhitungkan sebagai aspek strategis dalam mewujudkan koalisi antarpartai. Terutama koalisi antarpartai yang memungkinan kemenangan.

Strategi ini juga membuktikan bahwa “partisan affiliation” berdasarkan “cleavage” antara partai Islam dengan partai sekuler dan nasionalis di Indonesia tidak benar-benar terbentuk sempurna. Meskipun pemisahan ideologis tersebut tetap relevan dalam membangun basis dan pengumpulan suara pada konteks pemilihan. Diego Fossati dalam Partisan Affiliations Remain Strong in Indonesia (ISEAS, September 2016) dengan studi berbeda turut memperlihatkan aspek relevansi ini. Diego memberikan suatu insight hasil yang menarik soal korelasi signifikan dan kuat atas situasi historis masa lalu dengan sekarang –dalam penentuan suara politik pemilih.

Salah satunya terkait dengan cleavage antara kelompok sekuler atau nasionalis dengan partai-partai Islam –terutama di Pulau Jawa. Situasi dari tiga kasus pemilukada tersebut juga memperlihatkan bagaimana basis suara partai-partai politik Islam bergerak pada tataran lokal. Jika pada pemilu 2014 diketahui wilayah provinsi mana yang berhasil menjadi penyumbang kursi leglislatif untuk partai-partai Islam; pada case tiga pemilukada, beberapa wilayah itu semakin meluas. Beberapa wilayah yang belum menjadi penyumbang suara pada pemilu 2014, pada eksemplar pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur malah menjadi penyumbang kemenangan.

Kita dapat melihat kasus di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Utara; atau bahkan pada kasus-kasus di Maluku dan Papua. Artinya suara pada tingkatan lokal cenderung lebih dinamis dibandingkan dengan hasil pemilu nasional setiap lima tahun itu. Partai-partai Islam juga cenderung memiliki kesempatan membangun basis suara wilayah melalui strategi koalisi yang berhasil dibangunnya –termasuk hasil kemenangannya.

Sekalipun tidak ada jaminan pasti, bahwa kemenangan pada tataran lokal itu akan membantu perolehan suara pada tingkat nasional. Bahkan, hal ini dapat berkaca pada estimasi jumlah total suara partai-partai Islam yang masih dibawah 25 persen (berdasarkan perhitungan diatas). Terakhir, untuk pemilukada 2018 ini, beberapa hal baru masih perlu dinantikan jawabannya. Jawa Barat yang beberapa dapilnya dikuasai sebagai basis suara partai-partai Islam.

Atau, kasus di Jawa Tengah, yang pada tahun 2009 menjadi wilayah dengan kemenangan tanpa koalisi dengan partai Islam. Apakah hal yang sama terjadi lagi? Ataukah ada perubahan? Jika hasilnya tidak jauh berbeda, pembaca dapat membuat estimasi sendiri bagaimana situasi suara partai-partai Islam yang akan terjadi pada pemilu 2019.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Frendy Kurniawan

tirto.id - Politik
Reporter: Frendy Kurniawan
Penulis: Frendy Kurniawan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti