tirto.id - Belum selesai dengan polemik Kali Sentiong yang hitam dan bau, Pemerintah DKI Jakarta berhadapan dengan tantangan baru: menyediakan oksigen bersih bagi para atlet Asian Games 2018 yang akan berlaga mulai pertengahan Agustus.
Melalui akun Twitternya pada 24 Juli 2018, Greenpeace mengatakan bahwa Jakarta sempat berada di urutan kedua kota dengan tingkat polusi udara tertinggi di dunia menurut versi aplikasi AirVisual. Indeks Kualitas Udara (AQI) ibukota hanya berjarak 12 poin dari penghuni urutan pertama, Kota Krasnoyarsk, Rusia.
Peringkat AirVisual berubah secara fluktuatif setiap satu jam sekali. Satu hari berselang, pada 25 Juli 2018, Greenpeace Indonesia kembali melaporkan peringkat terbaru. Indonesia menempati posisi pertama, sementara Krasnoyarsk turun ke tangga kedua.
Berdasarkan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU), sesuai KEP-45/MENLH/10/1997, hingga akhir Juli 2018 AQI di DKI Jakarta masih tergolong “tidak sehat”.
Warga Jakarta otomatis terancam terkena berbagai penyakit pernafasan. Demikian juga para atlet yang akan berlaga di Velodrome Rawamangun—daerah dengan kualitas udara terburuk. Greenpeace Indonesia menyarankan masyarakat memakai masker, tapi penanggulangan terbaik tetap menyasar sumber polusi.
Setidaknya ada dua penyumbang emisi terbesar. Pertama, kendaraan bermotor. Mobil atau motor pribadi, angkutan umum, semua berkontribusi. Kedua, emisi dari pabrik dan pembangkit tenaga listrik terutama yang tenaga uap. Khusus untuk yang terakhir, isunya telah mengencang sejak lama.
Mengutip laporan Greenpeace Indonesia bertajuk "Pembunuhan Senyap di Jakarta", dibandingkan dengan ibu kota lain, Jakarta adalah ibukota negara yang dikelilingi PLTU terbanyak di dunia dalam radius 100 kilometer.
PLTU menghasilkan PM2.5—partikel sebesar 2,5 mikrometer yang berbahaya sebab mampu menembus celah masker. Resiko menumpuk PM2.5 di paru-paru antara lain mengakibatkan penyakit jantung, asma, penyakit pernapasan lain, hingga kematian dini.
Dua faktor tersebut mirip dengan yang mengancam warga Beijing, ibukota Republik Rakyat Cina (RRC). Isunya menguat jelang Olimpiade 2008 dan membuat publik internasional ragu: apakah kota terbesar kedua di Negeri Tirai Bambu itu layak menggelar kompetisi paling akbar sedunia?
Komite Olimpiade Internasional (IOC) sudah sejak jauh-jauh hari menugaskan pemerintah Cina untuk mengubah kualitas udara Beijing agar memenuhi standar keamanan untuk atlet.
Pesimisme dan optimisme berkelindan di sejak Beijing sukses mengamankan tiket tuan rumah. Pemerintah Cina dilaporkan menyediakan dana sebesar $17,3 miliar untuk memoles Beijing sebagai kota yang ramah bagi paru-paru atlet.
Laporan Wall Street Journal yang turun setahun sebelum kompetisi berlangsung mengungkapkan bahwa meskipun emisi karbon di Kota Beijing bisa dikurangi banyak, polusi udara tetap akan datang dari provinsi-provinsi tetangga. Kiriman dari wilayah yang mengepung Beijing diperkirakan menyumbang hingga 50 persen total emisi.
Kondisinya serupa dengan Jakarta, di mana polusi udara juga banyak yang datang sebagai kiriman dari PLTU yang beroperasi di Jabodetabek. Lagi-lagi Greenpeace mengkritik situasi ini, sebab, mengutip laporan Tirto April lalu, pemerintah justru menggenjot penambahan PLTU di kawasan penyangga ibukota tersebut.
Masih merujuk Wall Street Journal, Badan Kesehatan Dunia menyatakan polusi udara di Cina dua hingga tiga kali lipat lebih tinggi dari ambang batas aman. Sementara itu Asosiasi Olimpiade Inggris turut berkomentar bahwa ada perkara lain yang membuat polusi udara di Beijing memburuk: panas dan kelembaban.
BBC News melaporkan bahwa beberapa atlet sengaja datang terlambat di Beijing akibat isu polusi udara. Beberapa ada yang bikin tempat pelatihan di negara tetangga. Lainnya bahkan batal mengikuti kompetisi, hanya atas dasar ketakutan atas udara Beijing.
Meski dicibir banyak pihak, Beijing tetap berkomitmen untuk menanggulanginya dengan menghapus keberadaan 60.000 taksi dan bus dan jalanan pada akhir 2007. Mereka juga bikin program relokasi utuk 200-an pabrik lokal, termasuk sebuah pabrik baja terkemuka, sebelum kompetisi dilaksanakan.
Pada Juli 2008, program pemerintah Cina makin ketat dilaksanakan. New York Times mengabarkan bahwa waktu itu Cina sedang menangguhkan produksi lebih banyak pabrik dan pembangkit listrik tenaga batu bara. Cina menyasar 40 pabrik di Tiannjin dan 300 lainnya di Tangshan. Makin hari, makin banyak yang ditutup. Pembangkit listrik tenaga batu bara jadi sasaran utama sebab jadi sumber utama polusi udara yang menurut sebuah riset berkontribusi terhadap naiknya angka kematian dini di Cina.
Pemerintah Cina juga turut merealisasikan aturan baru dalam berkendara secara tegas di wilayah yang terbatas namun lama-kelamaan meluas. Di Indonesia, kebijakan ini dikenal dengan nama aturan ganjil-genap.
Kendaraan dengan nomor plat akhir genap hanya bisa melalui sejumlah jalur di tanggal genap, dan sebaliknya. Kebijakan ini ditujukan untuk mengurangi lalu lintas harian sebanyak dua juta kendaraan.
Guardian melaporkan pada H-1 jelang Olimpiade, tertanggal 7 Agustus 2008, IOC menyatakan pemerintah Cina telah melakukan segala cara yang mungkin untuk membersihkan udara di Beijing. IOC menilai ada kemajuan sebab level polusi udara benar-benar turun dan kualitas udara sudah aman bagi para atlet.
Data dari Pusat Pemantauan Lingkungan Cina menyatakan AQI di seantero Beijing pada waktu itu berada di level 88. Dengan kata lain pemerintah Cina berhasil merealisasikan targetnya sendiri yakni membuat AQI di Beijing berada di bawah level 100.
Saat dimintai komentar terkait kabut yang masing bergelayut di langit Beijing, IOC menjelaskan penyebabnya adalah kelembaban dan panas yang tinggi, bukan polusi. IOC menambahkan meski yang diharapkan adalah langit biru selama Olimpiade, tapi yang lebih esensial adalah turunnya level polusi udara.
Prestasi tersebut tergolong mengejutkan. Meski demikian suara sumbang tetap berdatangan. Greenpeace, misalnya, melaporkan bahwa pada akhir Juli 2008 konsentrasi rata-rata partikel jahar di Beijing masih dua kali lipat lebih tinggi dari level yang dianggap aman oleh Organisasi Kesehatan Dunia.
Cuma Sementara
Sejumlah atlet AS, bagaimanapun juga, berpendapat positif. Jamie Schroeder, misalnya. Saat dimintai keterangan oleh Guardian, ia mengatakan “Lebih baik dari yang aku perkirakan. Tiga kali aku ke Beijing pasti berkabut. Tapi kali ini kamu tak mencium bau terbakar atau polutan, jadi ya ada kemajuan”.
Pada pertengahan Agustus, saat kompetisi masih bergulir, National Geographic mengumpulkan testimoni serupa dari atlet-atlet lain. Hujan yang alami maupun buatan turut membantu membersihkan udara. Demikian pula angin kencang yang bergerak dari arah utara ke bagian selatan Cina.
Empat tahun kemudian berlalu. Api Olimpiade berpindah ke London. Pada Mei 2012 CBS News melaporkan hasil dari sebuah riset yang dijajaki oleh Dr. Junfeng Zhang dan para akademisi lain di Keck School of Medicine di University of Southern California, Amerika Serikat.
Keberhasilan pemerintah Cina dalam membersihkan udara di Beijing, menurut Zhang, berdampak pada peningkatan sementara kesehatan jantung penduduknya. Penelitian itu membuktikan bahwa polusi udara memang sesuatu yang mesti dikhawatirkan, dan harus dicari solusinya oleh para pemegang kebijakan.
Sayangnya, bak bulan madu, kebahagiaan atas udara bersih di langit Beijing berlangsung sementara. Sebagaimana dilaporkan South China Morning Post pada Agustus 2013, akibat aktifnya kembali pabrik, pembangkit tenaga listrik, dan mengendurnya kebijakan ganjil-genap, emisi gas jahat kembali membelit Beijing.
Hingga kini, pemerintah Cina masih menggelontorkan dana besar untuk menanggulangi polusi udara yang mengancam nyawa tak hanya penduduk Beijing, tetapi kota-kota besar di negara tersebut. Kebijakan di Beijing sebelum Olimpiade 2008 dijadikan acuan kerja sebab menunjukkan hasil nyata.
Pemerintah Jakarta belum mewacanakan penutupan sementara pabrik atau pembangkit listrik yang tiap hari menggelontorkan emisi dalam jumlah raksasa, namun sudah mulai menerapkan aturan ganjil-genap. Ada yang berpendapat bahwa targetnya seharusnya bukan cuma mobil, tetapi juga motor.
Dwi Sawung, koordinator Kampanye Urban dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), mendukung inisiatif tersebut. Namun, ia menyarankan harus dibarengi dengan penyediaan transportasi massal yang memadai.
"Yang penting pengurangan emisi harus dikurangi, karena polusi udara di Jakarta sudah tidak bisa ditoleransi," katanya kepada Tirto, Jumat (27/7/18).
Editor: Windu Jusuf