tirto.id - “Kita pasti enggak mau bencana kabut asap 2015 lalu terulang lagi,” kata Asep Komarudin, juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, organisasi nirlaba peduli lingkungan, saat saya menemui di kantornya.
Komarudin berkata tentang kemungkinan bencana kabut asap datang lagi.
Menurut pantauan Greenpeace, yang mengutip dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), titik panas (hotspot) dan kebakaran sudah muncul sejak Februari tahun lalu, yang meningkat saat musim kemarau pada bulan Mei hingga Oktober kemarin.
“Awal tahun ini saja, titik panasnya meningkat lagi, Menteri LHK bilang sampai 20 persen,” tambah Asep, mengutip pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, akhir Februari kemarin. Hal ini penting untuk jadi peringatan, kata Komarudin.
Kebakaran hutan memang sudah jadi "bencana" musiman di Indonesia. Tanda-tanda yang dibaca Greenpeace dan Kementerian LHK bukan cuma ketakutan tak beralasan. Kurang dari tiga tahun lalu, bencana serupa sudah terjadi.
Kabut Asap 2015 Jangan Terulang
Pada 2015, Indonesia menjadi kepala berita media-media internasional. Kebakaran hutan yang menimbulkan kabut asap adalah penyebabnya. Bukan cuma udara di sejumlah provinsi menjadi pekat dan tidak sehat, negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia juga dapat kabut kiriman.
Akibat bencana itu, 19 orang tewas. Puluhan ribu orang terkena risiko asap, dari penyakit pneumonia, asma, penyakit mata, hingga penyakit kulit. Dampak ekonominya, Indonesia diprediksi Bank Dunia merugi lebih dari 16 miliar dolar AS—dua kali lebih besar dari kerugian Indonesia saat dilanda tsunami Aceh pada 2004.
Kerugian itu datang dari sektor pertanian, kehutanan, transportasi, distribusi, perdagangan, industri, dan pariwisata.
Bencana ini diperkirakan akibat kebakaran di lebih dari 2,6 juta hektare hutan, lahan gambut, dan lahan lainnya—yang bukan cuma disebabkan cuaca, tapi juga ulah manusia. Angka itu 4,5 kali lebih luas dari Pulau Bali. Kerugian lingkungan karena punahnya keanekaragaman hayati diperkirakan bernilai 295 juta dolar AS.
Tahun ini, ketika tanda-tanda kemungkinan bencana serupa kembali hadir, pemerintah tampak ketar-ketir. Bukan cuma dampak-dampak buruk yang terjadi pada 2015 silam yang ditakuti; nama baik Indonesia juga jadi taruhan menjelang Asian Games 2018.
Dalam ajang akbar yang dimulai sejak 18 Agustus hingga 2 September nanti, Indonesia akan menjamu puluhan ribu atlet dan tamu. Masalahnya, kabut asap itu diprediksi muncul dalam rentang waktu yang sama.
Parahnya lagi, Palembang, yang jadi kota tuan rumah selain Jakarta, adalah salah satu area yang dinilai berisiko jadi penyumbang kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sekaligus tempat asap berkumpul.
World Resources Institute mencatat 44 persen kebakaran hutan di Indonesia sejak 2011 terjadi di provinsi Sumatera Selatan, Riau, dan Kalimantan Tengah.
Sementara menurut catatan BMKG, sejak awal 2018, ada sembilan wilayah yang berpotensi tinggi mengalami kebakaran hutan dan lahan. Pada minggu ketiga Februari lalu, Sumatera Selatan, Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah sudah menetapkan status siaga karhutla.
Data LAPAN, per 1 Februari kemarin, bahkan menunjukkan ada 17 titik panas di dekat Palembang. Sebanyak 13 titik berstatus waspada dan 4 lain perlu segera ditangani. Lokasi titik panas terdekat berjarak sekitar 57 kilometer dari Kota Palembang.
Selain itu, kualitas udara di sekitar area kebakaran lahan juga dinilai sangat berbahaya, yakni melampaui angka 1.000 pada Indeks Standar Polutan (PSI). Udara itu mengandung karbondioksida, sianida, dan amonium yang menyebabkan gangguan pernapasan, mata, dan kulit.
Apabila kebakaran terjadi saat Asian Games dan menyebabkan kabut asap, menurut Komarudin dari Greenpeace Indonesia, “Ini tak hanya mengganggu berlangsungnya pertandingan yang ada di sana, tapi juga jadi pertaruhan kredibilitas Indonesia di mata dunia internasional."
Hal ini juga jadi perhatian Presiden Joko Widodo. Ia menginstruksikan jajarannya termasuk Polri dan TNI untuk ikut mencegah hal paling buruk yang bisa terjadi. Dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Karhutla di Istana Negara awal Februari lalu, Jokowi bahkan mengancam:
“Saya ulang lagi aturan mainnya. Kalau di wilayah saudara ada kebakaran dan tidak tertangani dengan baik, aturan main tetap sama, belum saya ganti. Masih ingat? Ya dicopot. Sudah. Tegas. Ini saya ulang lagi,” kata Jokowi.
“Kita harus kerja keras agar Asian Games dapat lancar tanpa terganggu masalah karhutla,” tambahnya.
Pencegahan dan Mitigasi
Kekhawatiran di Palembang tak berlebihan. Sepanjang 2017 kemarin, tercatat luas kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan mencapai 3,007 hektare. Ini terjadi selama Februari hingga Oktober.
Di provinsi ini, titik panas terdeteksi di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Ogan Ilir. Lokasi kebakaran di Ogan Ilir pada tahun lalu hanya berjarak sekitar 15 kilometer dari Kota Palembang.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) juga memprediksi cuaca tahun ini akan lebih kering dibandingkan tahun lalu. Keadaan itu akan semakin parah karena prakiraan angin pada Agustus, saat Asian Games berlangsung, akan bertiup dari arah selatan serta timur menuju utara. Efeknya, jika kebakaran hutan dan lahan terjadi di sebelah timur dan selatan provinsi Lampung dan Palembang, kabut asap berpotensi menyelimuti Palembang.
Namun, menurut Raffles Brotestes Panjaitan, Direktur Pengendalian Karhutla dari Kementerian LHK, sejauh ini ancaman tersebut "masih aman terkendali."
Pemerintah menganggap serius peringatan tentang kemungkinan karhutla dan ketat melakukan pencegahan dan mitigasi, katanya. Salah satunya melakukan sosialisasi pada masyarakat untuk tidak membakar hutan saat membuka lahan, atau mengawasi perusahaan-perusahaan yang tercatat memiliki lahan dengan potensi titik api.
“Perusahaan memang tugasnya begitu. Kan, tanggung jawab mereka. Dan hasil pemantauan itu sudah berjalan,” ujar Panjaitan saat dihubungi via WhatsApp.
Gatot Dewa Broto, asisten keuangan Indonesia Asian Games Organizing Committee (Inasgoc)—panitia penyelenggara Asian Games—berkata khawatir atas ancaman kabut asap. Namun, menurutnya, pencegahan dan mitigasi yang dilakukan pemerintah sudah berjalan dengan "semaksimal mungkin."
“Sejak 2015, masalah ini sudah diupayakan lewat inpres 2015 (Inpres Karhutla 2015),” ujar Broto kepada Tirto.
Polusi Udara Jakarta
Ancaman kebakaran hutan di Palembang bukan satu-satunya masalah lingkungan yang dihadapi Asian Games 2018. Kualitas udara Jakarta juga dipertanyakan.
Dalam laporan Greenpeace, "Pembunuhan Senyap di Jakarta" (hlm. 5, PDF), ibu kota negara ini dikelilingi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) terbanyak sedunia; setidaknya dalam radius 100 kilometer dibandingkan ibu kota negara lain.
Jakarta adalah salah satu kota dengan kondisi udara terburuk. Sekalipun memakai masker hijau yang biasa digunakan warga Jakarta, masih ada PM2.5—sebuah partikel berbahaya—yang bisa menembus lewat celah masker sampai ke saluran pernapasan.
Bahaya PM2.5 tak main-main. Bila menumpuk pada paru-paru dan organ lain, ia bisa menyebabkan munculnya penyakit pernapasan, asma, sampai sakit jantung. Partikel yang ukurannya hanya tiga persen dari diameter rambut ini juga terkenal dengan julukan “pembunuh dalam senyap” karena bisa memicu kematian dini.
Bukannya mengurangi penyebab kotor udara ibu kota, pemerintah justru merencanakan penambahan PLTU baru di sekitar Jabodetabek (Merak, Suralaya, Labuan, Lontar, Cikarang, Pelabuhan Ratu) untuk memasok kebutuhan listrik di Jawa-Bali. Rencananya akan ada 4 PLTU baru atau setara 7 unit pembangkit. Sementara yang sudah beroperasi ada 8 PLTU atau setara 22 unit.
Emisi dari PLTU yang telah beroperasi maupun yang direncanakan ini bakal meningkatkan risiko kesehatan seluruh penduduk Jabodetabek—termasuk 7,8 juta anak-anak. Imbasnya, warga terpapar PM2.5 di atas standar udara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Dampak kesehatan dari polusi udara diprediksi Greenpeace Indonesia akan menyebabkan 10.600 kematian dini dan 2.800 kelahiran dengan berat lahir yang rendah per tahun; dan hampir setengahnya berada di Jabodetabek.
Dalam catatan Greenpeace, peraturan dan penerapan standar emisi untuk polutan utama, seperti PM2.5, SO2, NO2 dan debu, juga masih sangat lemah di Indonesia.
Temuan Greenpeace juga mencatat dalam dua tahun terakhir (2016 dan 2017) hanya ada satu hari kualitas udara baik pada rentang Juli, Agustus, dan September. Selebihnya, kualitas udara cenderung "cukup" bahkan "berbahaya." Menurut Bondan Andriyanu dari Greenpeace, pola tersebut masih besar kemungkinan terulang tahun ini.
“Sejak 2016 dan 2017, polanya hampir sama. (Nyaris) tidak ada hari dengan kualitas udara sehat,” kata Andriyanu.
Sumber pencemaran udara Jakarta pada umumnya berasal dari transportasi umum. Akan tetapi, sumbangan pencemaran udara dari industri PLTU juga tak bisa dielakkan.
“Kalau bicara sumber pencemar, harusnya fair juga. Jika ada rencana, katakanlah, mengurangi kendaraan bermotor yang melewati Gelora Bung Karno—atau lokasi perhelatan Asian Games—bagaimana dengan sumber (pencemaran) yang tidak bergerak seperti industri dan PLTU?” ujar Andriyanu.
Pemerintah, menurutnya, harus menambah jumlah alat pantau udara yang saat ini hanya berjumlah 5 stasiun pantau. Ini penting agar pantauan kondisi udara benar-benar terwakili. Hal lain adalah memperketat regulasi.
“Harusnya dengan ukuran Jakarta, saat ini sudah butuh sekitar 20 titik pemantauan,” tambah Andriyanu.
Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga DKI Jakarta Ratiyono mengatakan bahwa masalah kualitas kotor udara Jakarta akan disiasati dengan "penggantian bahan bakar lebih ramah lingkungan" selama Asian Games.
“Bus-busnya akan di-upgrade jadi lebih cepat,” katanya via telepon.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam