tirto.id - Hutan yang semakin gundul, korban yang terus berjatuhan, kecaman dari negara tetangga akibat asap, merupakan dampak dari kebakaran hutan menahun yang terjadi di Indonesia. Ini belum termasuk kerugian materi akibat tersendatnya aktivitas warga akibat kabut asap.
“Seluruh pihak harus benar-benar sangat waspada, dan siaga terjadinya kebakaran hutan dan lahan, jangan sampai bencana kabut asap seperti tahun sebelumnya kembali terjadi,"
Itulah ungkapan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya kepada Antara pada 27 Agustus 2016 lalu, ketika merespons sejumlah titik api yang melahap hutan dan lahan dibeberapa provinsi Indonesia.
Pernyataan Siti Nurbaya memang benar adanya. Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sekitar enam provinsi telah berstatus siaga darurat kebakaran hutan dan lahan. Provinsi itu antara lain, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.
Kebakaran hutan tak pernah absen dalam daftar persoalan di Tanah Air, hal itu menjadi ancaman serius bagi Indonesia. Pada 2015 lalu, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menyebutkan, bencana kabut asap di wilayah Sumatera dan Kalimantan menewaskan kurang lebih 19 orang. Dari angka itu, 5 orang di antaranya berasal dari Kalimantan Tengah, 5 orang dari Sumatera Selatan, dan 5 orang dari Riau, 1 orang dari Jambi, dan 3 orang dari Kalimantan Selatan
Sementara menurut Dinas Kesehatan Provinsi Riau, dalam periode 29 Juni- 27 September 2015, sebanyak 44.871 orang terkena risiko asap. Dari angka itu, sebanyak 37.396 orang lainnya menderita ISPA, 656 orang menderita pneumonia, 1.702 orang terkena asma, 2.207 orang menderita penyakit mata, dan penyakit kulit sebanyak 2.911 orang.
Bagaimana dampak ekonominya ?
Menurut laporan Bank Dunia, total kerugian Indonesia akibat bencana kabut asap tahun 2015 telah melampaui 16 miliar dolar AS. Angka ini dua kali lebih besar dari kerugian Indonesia saat dilanda tsunami di Aceh tahun 2004 lalu. Kerugian itu berasal dari sektor pertanian, kehutanan, transportasi, perdagangan, industri, pariwisata dan sektor-sektor lainnya.
Selain itu, kualitas udara di sekitar area kebakaran lahan juga dinilai sangat berbahaya, yakni melampaui angka 1.000 pada Indeks Standar Polutan (PSI). Udara itu mengandung karbondioksida, sianida dan amonium yang menyebabkan gangguan pernafasan, mata dan kulit. Bencana ini juga menghentikan kegiatan belajar sekitar 5 juta siswa karena penutupan sekolah.
Kejadian itu diperkirakan membakar lebih dari 2,6 juta hektar hutan, lahan gambut dan lahan lainnya. Angka itu mencapai 4,5 kali lebih luas dari Pulau Bali. Kerugian lingkungan karena punahnya keanekaragaman hayati juga diperkirakan bernilai 295 juta dolar AS.
Sejumlah pihak menilai, bencana kabut asap tahun 2015 lalu, hampir menyamai bencana kabut asap di tahun 1997 silam, seperti dilansir dari National Geographic. Menurut pantauan Robert Field, kebakaran hutan dan lahan di tahun 2015 sangat parah dan hampir menyamai peristiwa 1997.
Robert Field yang merupakan seorang peneliti dari Universitas Colombia melakukan kajian di Goddard Institute for Space Studies milik Badan Antariksa Amerika Serikat itu menyebut kondisi di Singapura dan Sumatera bagian tenggara saat itu berada jalur mendekati 1997.
Tahun 1997 dan 1998 adalah tragedi asap terparah yang pernah terjadi di Indonesia. Menurut pemerintah Indonesia, jumlah lahan yang terbakar saat itu mencapai 750.000 hektare. Sementara menurut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) jumlah itu mencapai 13 juta hektare. Sedangkan data lain yang disampaikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bersama Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan jumlah lahan akibat kebakaran mencapai 9,75 juta hektare.
Sementara dampak ekonominya, menurut Economy and Environment Programme for Southeast Asia, kerugian Indonesia akibat bencana pada tahun 1997 itu mencapai 5 hingga 6 miliar dolar AS. Sedangkan menurut studi Bappenas dan ADB, kerugian Indonesia mencapai 4,861 miliar dolar AS.
Keterlibatan Perusahaan
Siapa yang menjadi aktor dibalik bencana asap itu ? Dikutip dari Antara 2013 lalu, Kementerian Lingkungan Hidup bersama penyidik Kepolisian Indonesia mencari bukti atas keterlibatan delapan perusahaan sawit yang diduga kuat membakar lahan.
Delapan perusahaan itu antara lain, PT Langgam Inti Hiberida, PT Bumi Raksa Sejati, PT Tunggal Mitra Plantation, PT Udaya Loh Dinawi, PT Adei Plantation, PT Jatim Jaya Perkasa, PT Multi Gambut Industri, dan PT Mustika Agro Lestari.
Luas lahan dan hutan yang terbakar di Provinsi Riau sejak 1-19 Juni 2013 diperkirakan mencapai 3.709 hektare, asap yang ditimbulkan akibat itu juga meresahkan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.
Terkait dengan hal itu, Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong bahkan mengaku akan memberikan hukuman berat bagi pebisnis dan perusahaan berbadan hukum Singapura, yang terlibat pembakaran hutan dan lahan Sumatera itu.
Sudariyono selaku Deputi bidang Penaatan Hukum Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup saat itu mengatakan, pelaku pembakaran lahan dan hutan akan dituntut pidana dan perdata. Dasar hukum yang akan digunakan adalah Undang-undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pada 2014, Kementerian Lingkungan Hidup juga kembali menyatakan sekitar empat perusahaan yang diduga melakukan pembakaran lahan di Provinsi Riau. Empat perusahaan yang terindikasi itu adalah TKW, RML, SG dan RUJ. Indikasi tersebut berdasarkan data satelit dan peta konsesi.
Sementara 2015 lalu, Kepolisian Daerah Riau juga kembali mendalami dugaan 16 perusahaan melakukan pembakaran lahan yang tersebar di delapan kabupaten.
"Seluruh korporasi yang diduga terlibat pembakaran lahan itu saat ini ditangani oleh Polres masing-masing daerah," kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Riau AKBP Guntur Aryo Tejo kepada Antara.
Selain itu, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Riau juga menangkap petinggi PT Langgam Inti Hibrido berinisial FK, sebagai tersangka kasus dugaan kebakaran lahan di Kabupaten Pelalawan.
PT LIH secara korporasi sudah ditetapkan sebagai tersangka dugaan kebakaran lahan di area konsesinya di Kabupaten Pelalawan, yang terjadi pada pertengahan tahun 2015.
Baru-baru ini, AidEnvironment Indonesia juga mengatakan bahwa PT Korindo, sebuah perusahaan milik Korea Selatan berbasis di Jakarta, telah membabat dan membakar hutan untuk ditanami sawit.
Laporan itu mengatakan, PT Korindo telah membersihkan lebih dari 50.000 hektar (193 mil persegi) hutan tropis dataran rendah untuk perkebunan kelapa sawit di provinsi terpencil Papua dan Maluku.
Akibat perbuatan itu, salah satu pelanggan utama Korindo, Wilmar International Ltd, bahkan mengatakan kepada Reuters perusahaannya telah berhenti membeli sawit dari Korindo karena melanggar kebijakan.
Namun, tuduhan itu dibantah oleh Korindo, "Tuduhan bahwa Korindo Group adalah kontributor besar terhadap asap dan kabut pada tahun 2015 dan akibatnya berdampak pada perekonomian dan merusak lingkungan hidup di Indonesia adalah tidak benar," kata perusahaan itu dalam sebuah pernyataan pada 3 September 2016 lalu, seperti dikutip dari Reuters.
Korindo memegang total 160.000 hektar (619 mil persegi) dari konsesi kelapa sawit di delapan wilayah Papua dan Maluku. Perusahaan tersebut adalah salah satu perusahaan perkebunan terbesar di Indonesia timur. Korindo Group mempekerjakan sekitar 20.000 orang di 30 perusahaan afiliasi terutama yang terlibat dalam kayu lapis, kertas dan pulp dan kelapa sawit.
Sikap Pemerintah
September 2015 lalu, Presiden Joko Widodo secara tegas memerintahkan jajarannya untuk mencabut izin perusahaan atau korporasi yang secara sengaja dan terbukti melakukan pembakaran kawasan hutan untuk pembukaan lahan baru.
"Saya sudah tegas perintahkan pencabutan izin perusahaan yang sengaja dan terbukti membakar hutan maupun lahan," ujar Jokowi kepada Antara.
Jokowi mengatakan tindakan tegas itu layak dilakukan karena perbuatan tersebut telah menimbulkan dampak besar dalam berbagai aspek. Selain itu, kabut asap yang ditimbulkan kebakaran tersebut sangat mengganggu aktivitas masyarakat dan menghambat roda perekonomian. "Kerugian yang ditimbulkan sangat besar dan hitungannya bukan lagi miliaran tapi sudah triliunan sehingga wajar disikapi secara serius dengan sanksi berat," ucap Jokowi.
Saat itu, kepolisian telah menetapkan tujuh pimpinan perusahaan yang diduga melakukan pembakaran kawasan hutan untuk pembukaan lahan baru.
"Kementerian LH dan Kehutanan juga sudah saya minta membekukan atau mencabut izin konsesi jika mereka tidak menjaga hutan dan lahan agar terhindari dari kebakaran," kata Jokowi menegaskan.
Apa sanksi tegas bagi perusahaan yang terbukti melakukan ini? Menurut hukum di Indonesia, sebuah perusahaan yang terbukti secara sengaja membakar lahan akan didenda sebesar 10 miliar rupiah dan manajemen akan mendapat hukuman 10 tahun penjara. Sayangnya, sejauh ini, belum ada yang mendapatkan hukuman maksimal karena kebakaran hutan.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti