tirto.id - Krisis kebakaran dan asap yang terjadi di Indonesia ada tahun lalu disebut sebagai tindakan kriminal lingkungan hidup terbesar pada abad ke 21. Lebih dari 2,6 juta hektare hutan dan lahan gambut terbakar. Itu berarti 4,5 kali lebih luas dari Pulau Bali.
Kebakaran juga sudah menjadi “agenda tahunan”. Presiden Joko Widodo murka. Ia terjun langsung ke Jambi, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat untuk melihat langsung kebakaran hutan. Presiden mengisntruksikan penegakan hukum tak hanya menyasar rakyat biasa tapi perusahaan yang terlibat pembakaran hutan ditindak secara tegas.
"Jangan hanya menyasar rakyat biasa, tapi harus juga tegas dan keras pada perusahaan yang menyuruh membakar," kata Presiden Jokowi, Jakarta, Rabu (16/9/2015) seperti dikutip dari keterangan resmi Tim Komunikasi Presiden Ari Dwipayana.
Para menteri diperintahkan bertindak tegas dan tidak ragu melakukan peninjauan dan pencabutan izin konsesi bagi perusahaan pembakar lahan. Pada 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencabut tiga izin perusahaan, 16 perusahaan dibekukan izin dan admitrasi paksaan paksaan empat perusahaan.
Sementara 14 perusahaan lainnya dalam tahap penyusunan sanksi admistrasi, pengawasan 19 perusahaan. Jadi totalnya ada 56 perusahaan disanksi. Tetapi, hingga awal Januari 2016, hanya 23 perusahaan yang telah diberikan sanksi pencabutan izin, paksaan pemerintah, dan pembekuan izin.
Data Kepolisian (2015) menyebut ada 218 kasus peristiwa pembakaran hutan yang ditangani oleh Badan Reserse Kriminal [Bareskrim] Polri, Polda dan Polres. Bareskrim empat kasus, Polda Sumatera Selatan 34, Polda Riau 68, Jambi 18, Kalimanatan Tengah 57, Kalimanatan Barat 25, Kalimantan Selatan 8 dan Kalimanatan Timur 4.
Sepuluh bulan kemudian, Kepolisian Daerah Riau Brigadir Jenderal Supriyanto menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kepada 15 perusahaan yang telah ditetapkan menjadi tersangka pembakaran hutan di Riau. Alasannya tidak ada bukti kuat karena lahan terbakar di wilayah sengketa antara perusahaan dan masyarakat.
Kelima belas perusahaan yang beruntung mendapatkan SP3 itu yakni PT Bina Duta Laksana (HTI), PT Ruas Utama Jaya (HTI), PT Perawang Sukses Perkasa Indonesia (HTI), PT Suntara Gajah Pati (HTI), PT Dexter Perkasa Industri (HTI), PT Siak Raya Timber (HTI), dan PT Sumatera Riang Lestari (HTI). Lalu, PT Bukit Raya Pelalawan (HTI), PT Hutani Sola Lestari, KUD Bina Jaya Langgam (HTI), PT Rimba Lazuardi (HTI), PT PAN United (HTI), PT Parawira (Perkebunan), PT Alam Sari Lestari (Perkebunan), dan PT Riau Jaya Utama.
Alasan Polda menerbitkan SP3 itu dinilai sumir. Fredi K Simanungkalit anggota Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) mengatakan SP3 itu dianggapnya abal-abal. "Kok bisa level Kapolda mengeluarkan SP3 dengan pertimbangan sumir. Padahal sudah banyak korban akibat pembakaran hutan hingga sampai negara tetangga," kata Fredi kepada tirto.id di Jakarta, Minggu (24/7/2016).
Data BNPB (2015) menunjukkan bahwa kerugian materil yang dapat diidentifikasi jangka pendek lebih dari Rp 20 triliun. Sedangkan pemerintah telah mengeluarkan anggaran hingga Rp500 miliar. Dana tersebut terbagi untuk dana penyewaan pesawat dan helikopter, hujan buatan, pengerahan personel hingga aktivasi posko.
Sedangkan jumlah korban jiwa hingga Oktober mencapai 19 orang dan 529.527 orang terserang penyakit infeksi saluran pernafasan atas (ISPA). Kerugian lain yang tidak teridentifikasi termasuk kerugian sosial dan immateril dipastikan lebih luas dari yang sudah diperhitungkan.
Sementara Bank Dunia memperkirakan, kerugian ekonomi untuk Indonesia akibat kebakaran hutan tahun 2015 melampaui $16 miliar. Jumlah itu dua kali lebih besar dari kerugian dan kerusakan akibat tsunami tahun 2004 di Aceh. Estimasi ini mencakup kerugian pertanian, kehutanan, transportasi, perdagangan, industri, pariwisata, dan sektor-sektor lainnya.
Bagi negara tetangga Singapura dan Malaysia, keberadaan kabut asap dengan angka indeks standar polutan (PSI) di atas 300 jelas sangat mengganggu. Sekolah-sekolah terpaksa diliburkan. Restoran-restoran cepat saji menghentikan layanan antar demi keselamatan para kurir. Laju kereta cepat pun harus melambat, demi keselamatan. Aktivitas bandar udara dan pelabuhan juga ikut terganggu. Total kerugian akibat kabut asap di tahun itu diprediksi mencapai 700 juta dolar Singapura atau sekitar Rp 6,9 triliun.
Sanksi Individu dan Koporasi
Penegakkan hukum di Indonesia terkesan masih berat sebelah, tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah. Fakta tersebut sulit terbantah. Buktinya, Polda Riau dengan cepat dan sigap memproses hukum 25 individu pembakar hutan dan lahan, bahkan salah satunya sudah menjalani hukuman. Sebaliknya dari puluhan korporasi, hanya tiga menjalani proses hukum, 15 perusahaan lainnya diberikan SP3, sisanya tak jelas rimbanya.
Jika melihat peristiwa hukumnya, pembakaran hutan dan lahan oleh individu maupun korporasi terjadi di lokasi yang sama, tetapi perlakuan penegak hukum berbeda. Polisi sangat kontras dalam menangani kasus yang sama. Beberapa pakar yang dimintai keterangan polisi menyatakan ada pembakaran. Namun, polisi melepaskan 15 perusahaan dengan dalih lahan dalam kondisi sengketa, sehingga tidak jelas pihak yang bertanggung jawab.
"Kalau di lahan sengketa ada pembunuhan, apakah polisi tidak bisa melakukan apa-apa. Ini pidana kebakaran di lokasi sengketa, tapi polisi bukan meminta bukti dari kejahatan pidananya, tapi minta sertifikatnya. Nalar polisi keluar dari jalur logika pertanggungjawaban pidana," kata Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani.
Pemberian SP3 kepada 15 perusahaan dinilai sebagai sebuah kemunduran serius dari komitmen pemerintahan Joko Widodo dalam mereformasi tata kelola hutan di Indonesia. Konsesi tak terbatas pada perusahaan-perusahan kayu dan industri telah menjadikan korporasi sebagai aktor dominan dalam menentukan kebijakan tata kelola termasuk kemungkinan mempengaruhi berbagai proses penegakan hukum lingkungan.
Dalam beberapa kasus, korporasi lebih berkuasa ketimbang negara. Pada peristiwa kebakaran, Presiden Jokowi dan jajaran pemerintahannya menunjukkan kegeraman sekaligus penanganan yang gegap gempita. Respons tersebut menumbuhkan harapan. Akan tetapi sikap pasif Jokowi atas vonis bebas PT Bumi Mekar Hijau (BMH) di Palembang misalnya, dianggap sebagai sebuah penanda ambigunya pemerintah.
Meski kemudian jaksa sebagai pengacara negara mengajukan banding, tetapi melihat jaksa dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memperkuat pembuktian yang tidak sungguh-sungguh, sulit mengharapkan ada kemajuan dalam penegakan hukum lingkungan.
Dengan melihat kondisi ini, SP3 merupakan produk kontroversial terbaru kepolisian di bawah kepemimpinan Tito Karnavian. Ini merupakan ujian terakhir Jokowi untuk menunjukan kesungguhannya dalam membela hutan Indonesia dan ujian pertama bagi Tito mewujudkan polisi profesional dalam penegakan hukum.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti