tirto.id - Setiap hari kerja, saban jam 06.45 Hanif Budiman, 22 tahun, harus berangkat ke salah satu kantor di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Pria berkacamata ini berstatus mahasiswa tingkat akhir yang sedang menjalankan program magang di salah satu instansi pemerintah.
Demi mengurangi rasa lelah, ia menggunakan ojek online untuk berangkat magang dari rumahnya di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Ia biasanya mengendarai sepeda motor untuk ke kampusnya di daerah Depok, Jawa Barat.
"Minimal mengurangi kemacetan. Tebet-Sudirman enggak terlalu jauh juga," katanya kepada Tirto, Jumat (27/7/18).
Hanif termasuk warga Jakarta yang punya perhatian dengan kemacetan di jalan Jakarta. Saat ia mendengar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merekomendasikan kepada Pemprov DKI Jakarta agar memberlakukan aturan ganjil-genap untuk kendaraan roda dua, ia langsung mendukung usulan itu.
"Saya setuju, karena kendaraan bermotor di Jakarta enggak cuma bikin polusi udara dan macet, tapi juga merugikan psikis orang," katanya.
Hanif menilai padatnya lalu lintas dan polusi udara membikin masyarakat lebih mudah marah dan emosi di jalanan. Situasi ini pada akhirnya membentuk mental yang lebih mengutamakan diri sendiri (individualis).
Berbeda dengan Hanif, Deden Abdul Qohar, mahasiswa semester delapan harus menggunakan sepeda motor untuk menuju kampus. "Jadi merasa dibatasi saja," kata Deden.
Ia justru mengatakan solusi yang mesti dilakukan oleh Pemprov DKI adalah menanam banyak pohon untuk menyerap polutan yang dihasilkan dari seluruh kendaraan. "Jakarta ini lebih banyak gedung tinggi di jalan utama ketimbang pohon besar," katanya.
Usulan penerapan ganjil-genap untuk sepeda motor di Jakarta memang bisa menuai pro dan kontra. Setidaknya ada hal jangka pendek yaitu soal kepentingan Asian Games, dan persoalan jangka panjang ihwal menekan polusi udara dan kemacetan.
Direktur Pengendalian Pencemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Dasrul Chaniago menyarankan Pemprov DKI Jakarta memberlakukan aturan ganjil-genap untuk sepeda motor, paling tidak selama Asian Games 2018 berlangsung, 18 Agustus sampai 2 September 2018. Ia menilai aturan tersebut perlu diterapkan demi menekan polusi udara dan kemacetan.
"Sekitar 70 persen polusi udara disumbang dari asap buang kendaraan bermotor di jalan... 60 persen motor 40 persen mobil," katanya, mengutip CNN.
Dasrul mengacu pada Indeks Kualitas Udara (AQI) DKI Jakarta pada Kamis (26/7/18) menyentuh angka 158. Menurut Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) yang ditetapkan berdasarkan KEP-45/MENLH/10/1997, angka tersebut masuk dalam kategori 'Tidak Sehat'.
Ia memperkuat argumennya dengan menyitir hasil riset Komisi Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) dan Program Lingkungan PBB (UNEP) pada 2016. Ada 51,8 persen warga DKI Jakarta terjangkit penyakit dalam karena pencemaran udara.
Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin menjelaskan lebih rinci mengenai penelitian tersebut kepada Tirto. Ia menerangkan, pencemaran udara setidaknya membuat 2,7 juta jiwa warga terjangkit masalah pernapasan akut, sebanyak 300 ribu jiwa terkena asma, ada 1,4 juta jiwa menderita jantung koroner, 172 ribu jiwa mengalami penyempitan saluran pernapasan, 337 ribu jiwa kebanjiran cairan di paru-paru karena polutan, dan 1,5 jiwa terkena kanker.
Ia mengatakan membutuhkan biaya sebesar Rp51,3 triliun untuk mengobati semua penyakit yang diderita akibat pencemaran udara.
Dwi Sawung, koordinator Kampanye Urban dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), menilai wacana pemberlakukan ganjil-genap untuk kendaraan roda dua perlu dilakukan, meski harus dibarengi dengan penyediaan transportasi massal yang memadai.
"Yang penting pengurangan emisi harus dikurangi, karena polusi udara di Jakarta sudah tidak bisa ditoleransi," katanya kepada Tirto, Jumat (27/7/18).
Belajar dari Beijing
Dalam esai berjudul Asian Games XVIII, Peluang Menata Transportasi Umum, Djoko Setijowarno, dari Unika Soegijapranata, mengatakan kebijakan pelat nomor kendaraan ganjil-genap untuk menahan laju kendaraan pribadi di jalan raya memang perlu dilakukan.
Ia mengatakan adanya transportasi massal—seperti MRT—tak akan memberi banyak pengaruh. "Pasalnya keberadaan kendaraan pribadi yang tidak terkendali menyebabkan kemacetan di mana-mana. Polusi udara juga tinggi, dampak dari asap kendaraan bermotor."
Djoko mengatakan DKI Jakarta perlu banyak belajar dari Beijing saat menyelenggarakan Olimpiade pada 2008. Saat itu pemerintah Cina memberlakukan apa yang disebut "rencana darurat."
Seperti dilaporkan CNN pada 31 Juli 2008, beberapa kebijakan yang ditetapkan adalah menutup pabrik, menghentikan total semua proyek konstruksi dan pengurangan jumlah kendaraan pada satu waktu. Pemerintah berkomitmen buat menghapus 60 ribu taksi dan bus dan merelokasi 200 pabrik, termasuk pabrik baja terkenal.
Latar belakangnya jelas: kualitas udara Beijing lebih buruk dua sampai tiga kali lipat dari standar aman yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Hasilnya, sebagaimana dilaporkan media resmi negara, kualitas udara di Beijing sukses mencapai rekor terbaik selama 10 tahun terakhir. Bahkan riset yang dilakukan lebih dari selusin dokter dari Amerika dan Cina menemukan kalau anak-anak yang lahir selama periode Olimpiade 2008 rata-rata lebih berat 23 gram daripada yang lahir sebelum pesta olahraga berlangsung.
"Mulai 1 sampai 18 Agustus 2008, kualitas udara Beijing berada dalam standar untuk menjadi tuan rumah Olimpiade," kata wakil direktur Biro Perlindungan Lingkungan Du Shaozhong.
Bagaimana dengan di Jakarta, dalam konteks menghadapi Asian Games 2018?
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan baru tahu soal rekomendasi kebijakan ganjil-genap oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ia mengaku belum memutuskan apa bakal mengikuti saran tersebut atau tidak. "Nanti saya baca dulu. Saya perlu membaca rekomendasi itu," kata Anies, Jumat (27/7/18).
Sementara itu, Kepala Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan DKI Jakarta Priyanto juga baru tahu mengenai usul ini. Ia mengaku belum ada "pembahasan lebih jelas" antara instansi terkait (Pemprov DKI dan KLHI).
Namun jika aturan ganjil-genap ini diterapkan, bakal ada dua kendala yang dihadapi. Pertama adalah pengawasan yang bakal lebih sulit karena ukuran pelat motor lebih kecil dari mobil; kedua kesulitan menghukum pengendara karena motor lebih gesit untuk kabur.
"Ini harus jadi pertimbangan. Dishub perlu banyak persiapan," katanya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino