Menuju konten utama

Polusi Udara di Cina yang Makin Gawat

Kabut polusi udara di Beijing dan kota-kota di Cina makin tebal hingga mengancam kesehatan warganya. Ribuan pabrik penopang ekonomi Cina menjadi penyumbang polutan terbesar. Sebuah cerita lama yang belum juga berkesudahan.

Polusi Udara di Cina yang Makin Gawat
Polusi udara akibat pabrik di seberang Sungai Songhua, Provinsi Jilin, Cina. REUTERS.

tirto.id - Cina akan diselimuti polusi udara dengan kadar paling berbahaya dalam dua dekade terakhir. Kabut di di Beijing kini makin menebal, ini pertanda polusi udara di salah satu jantung ekonomi Cina itu makin parah.

Akhir September lalu Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan Cina adalah negara dengan polusi udara di ruang publik yang paling mematikan. Kantor berita Xinhua, mengungkapkan konsentrasi polutan di Cina bagian utara 100 kali lebih tinggi pada Selasa (20/12/2016), dibandingkan dengan Minggu lalu.

Di Shijiazhuang, ibu kota Provinsi Hebei, tingkat Particulate Matter (PM) 2,5 melonjak 1.000 mikrogram per meter kubik. Padahal patokan dari WHO untuk tingkat rata-rata aman tak lebih dari 10 mikrogram per meter kubik. Sementara itu, untuk PM 2,5 di Kota Tianjin tercatat mencapai level 334 mikrogram per meter kubik, dan di Beijing mencapai 212 mikrogram per meter kubik.

Respons pemerintah memang tanggap, baru-baru ini Pemerintah Kota Beijing memerintahkan 1.200 pabrik di dekat ibu kota Cina tersebut untuk menutup operasi atau mengurangi produksi demi menekan tingkat polusi udara. Sebuah kilang minyak yang dikelola Sinopec, dan sebuah industri pangan yang cukup besar, Cofco juga kena kebijakan ini. Otoritas setempat juga mencantumkan 700 perusahaan yang harus menghentikan operasinya secara total.

Pada Jumat (16/12/2016) malam otoritas lingkungan Cina mengeluarkan tanda bahaya yang akan berlangsung hingga Rabu pekan ini. Imbas lain dari adanya pembatasan polusi udara berdampak pada lalu lintas, pekerjaan konstruksi, tak kecuali soal anjuran kepada sekolah-sekolah, rumah sakit, hingga perusahaan agar lebih waspada.

Cina seolah menjadi pemegang rekor untuk urusan polusi udara. Indeks kualitas udara (AQI) di Cina, diperkirakan sudah mencapai angka 200 selama empat hari berturut-turut. AQI di Beijing sempat tercatat pada akhir pekan lalu menembus angka 120. Ini sebuah alarm keras bagi ibu kota Cina tersebut.

Infografik Mati Gara gara Asap

Ekonomi dan Nyawa

Ribuan pabrik yang beroperasi di Cina ibarat tulang punggung ekonomi negaranya. Selama ini mereka berkontribusi dalam menciptakan gelombang ekonomi Cina yang mampu menjadi kekuatan global. Sejak dua dekade belakangan Cina memang mengalami booming ekonomi. Namun harga yang harus dibayar adalah kabut polusi udara yang kian menebal dan mengancam nyawa warga Cina.

Menurut studi lembaga non-profit Barkeley Earth di 2015, polutan paling berbahaya yang setiap hari warga Cina hirup ialah partikel kecil yang berasal dari pembangkit tenaga listrik yang memakai pembakaran bahan bakar fosil di pabrik. Polutan tersebut mampu masuk ke paru-paru dan menyebabkan beragam penyakit mulai dari asma hingga penyakit jantung. Dalam jangka waktu yang lama, si penderita berpotensi untuk meninggal.

Barkeley Earth, juga mengungkapkan polusi udara adalah penyebab 17 persen kematian di Cina. Polusi bertanggung jawab atas kematian 1,6 juta warga Cina setiap tahun. Ini setara dengan kurang lebih 4.400 jiwa yang meninggal tiap harinya. Sebab 92 persen populasi di Cina terpapar udara tak sehat selama lebih dari 120 jam dan 38 persennya hidup di area dengan kualitas udara tidak sehat.

Kepada The Guardian, peneliti asal Cina Qiao Ma memaparkan bahwa polusi akibat pabrik-pabrik dan pembangkit listrik tenaga batu bara telah merenggut setidaknya 366.000 populasi Cina pada 2013. Diperkirakan pada 2030 akan ada 990.000-1,3 juta warga Cina yang meninggal gara-gara polusi udara. Potensi penyebab kematian yang tinggi, tentu membuat pemerintah dan parlemen bergerak.

Para legislator Cina telah menandatangani aturan amandemen pertama untuk melindungi lingkungan Cina selama 25 tahun sejak 2014 silam. Kala itu Perdana Menteri Cina Li Keqiang menyatakan perang terhadap polutan yang makin gawat di Cina. Upaya penurunan polusi ini harus dibayar mahal juga dari sisi kepentingan industri dan ekonomi.

The Economist mencatat sejumlah penurunan profit dari beberapa pabrik pengolahan batu bara di ibu kota Provinsi Hebei. Seorang pemilik pabrik bernama Zhang Minsheng mengatakan harus menutup beberapa tambangnya dampak dari kebijakan pemerintah untuk menekan polusi udara.

Ibarat memakan buah simalakama, Cina harus memilih antara pertumbuhan ekonomi yang ambisius dengan upaya mengurangi polusi. Pastinya pemerintah Cina juga harus sadar dalam jangka panjang polusi udara akan menyedot dana penanggulangan kesehatan yang lebih besar.

Studi Bank Dunia yang dipublikasikan awal tahun lalu menyatakan bahwa Cina telah menghabiskan 10 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB)-nya untuk biaya pengobatan warga yang sakit akibat polusi udara. Persentase ini menjadi yang tertinggi dibandingkan negara berkembang lain di Asia seperti India 7,69 persen, Sri Langka dan Kamboja masing-masing 8 persen.

Kebijakan pengurangan polusi udara akan menjadi investasi jangka panjang yang menguntungkan bagi Cina meski berisiko bagi roda ekonomi mereka. Ini karena pertumbuhan ekonomi bukanlah segala-galanya, apalagi sampai nyawa rakyat jadi taruhannya.

Baca juga artikel terkait POLUSI ASAP atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Akhmad Muawal Hasan & Suhendra
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Suhendra