Menuju konten utama

Kisah Kejayaan dan Kejatuhan Sinema Hong Kong

Pada 1980an hingga 1990an, film-film Hong Kong berjaya di seantero Asia Timur, termasuk Indonesia. Jatuh karena overproduksi dan pembajakan.

Adegan film Happy Together. FOTO/wingshya.com

tirto.id - Pada musim gugur 1997, Koi si Gigi Tanggal mendekati produser film Hong Kong untuk memproduksi sebuah film berdasarkan kisah hidupnya. Hasilnya adalah film berjudul Casino (aka Ho Kong Fung Wan) yang dibintangi oleh Simon Yam sebagai Giant, bos triad yang hidup di dunia bawah tanah Macau.

Koi menyetujui pertemuan ekstensif untuk riset film, dan juga menggunakan pengaruhnya di Macau untuk mengongkosi kru film. Namun, Koi dan baruadak triadnya tak mampu menghentikan filmnya dibajak dan dijual murah lewat keping-keping CD bersampul foto dirinya. Inilah gelombang pertama pembajakan media digital.

Secara keseluruhan sinema Hong Kong sedang dalam mimpi buruk. Pada 1993, industri film ini menghasilkan 238 judul. Sekarang, enam tahun kemudian, produksi hanya mencapai 40 film dalam setahun. Selain faktor pembajakan, tahun 1997 terjadi perubahan ekonomi politik, yang mendepak sinema Hong Kong: Kejatuhan finansial Asia dan penyerahan kedaulatan Hong Kong dari Inggris ke Cina.

Masa Keemasan

Sinema Hong Kong telah menikmati masa keemasan selama hampir dua dekade. Sutradara terkenal seperti John Woo dan Wong Kar-wai telah membantu sinema Hong Kong punya basis penggemar global. Golden Harvest, studio milik Raymond Chow, telah menciptakan ikon budaya seperti Bruce Lee, Jackie Chan dan Tsui Hark.

Jeff Yang menulis hal ini dalam Once Upon a Time in China: A Guide to Hong Kong, Taiwanese, and Mainland Chinese Cinema. Fenomena Hong Kong New Wave yang dimulai pada tahun 1979 adalah pemicunya. Selama 1980an, industri film Hong Kong mulai berkembang. Hal ini dipengaruhi karena banyak rumah tangga di Cina saat itu tidak punya TV, sehingga film berfungsi sebagai sumber hiburan utama.

Banyak sineas Hong Kong New Wave memperoleh pendidikan gaya Barat dan sangat terpengaruh tradisi sinema Barat. Film-film mereka memanfaatkan teknologi baru, seperti sinkronisasi suara, teknik pengeditan teranyar, dan pembuatan film langsung di lokasi.

Pada 1984, Hong Kong New Wave mulai mendapat perhatian dari penonton internasional, sehingga mendorong apa yang kemudian dikenal sebagai Gelombang Kedua. Di antara sineas-sineas itu adalah Stanley Kwan, Wong Kar-wai, Mabel Cheung, Alex Law, Fruit Chan, Peter Chan, dan Tammy Cheung.

Yang jadi pembuka jalan adalah rumah produksi Cinema City, yang didirikan pada tahun 1980 oleh komedian Karl Maka, Raymond Wong dan Dean Shek. Karya-karya rumah produksi ini mengawinkan komedi dan aksi laga yang diproduksi secara apik dengan racikan formula-formula komersil. Film spionase mewah dan penuh efek, Aces Go Places (1982) beserta sekuelnya yang menegaskan gaya City Cinema pun banyak ditiru. Sutradara dan produser Tsui Hark dan Wong Jing dapat dipandang sebagai tokoh perfilman Hong Kong pada era ini.

Terobosan besar dalam film laga muncul pada awal 1990an dengan Once Upon a Time in China yang disutradarai oleh Tsui Hark. Jadilah bioskop-bioskop Hong Kong saat itu dipenuhi kisah-kisah fantastis tentang jagoan-jagoan yang berkelahi di udara tanpa terikat gravitasi.

Ciri lain dari masa keemasan sinema Hong Kong adalah tren film gangster atau "Triad" yang dipopulerkan oleh sutradara John Woo dan aktor-aktor seperti Alan Tang dan Chow Yun-fat.

Bintang film jadi ikon genre. Jika kung fu tradisional dibabat Jet Li, maka kung fu penuh laga yang lebih kontemporer digawangi Jackie Chan. Melodrama romantis dan fantasi bela diri umumnya dibintangi Brigitte Lin. Selain itu ada juga film-film lawak yang dibintangi Cherie Chung dan Stephen Chow.

Selama periode ini, tulis David Bordwell dalam Planet Hong Kong: Popular Cinema and the Art of Entertainment (2000), Hong Kong adalah satu dari sedikit industri film yang terus berkembang meski dengan dominasi global Hollywood sulit digoyahkan. Film Hong Kong memenuhi bioskop dan rental video terutama di Thailand, Singapura, Malaysia, Indonesia, dan Korea Selatan.

Pengaruhnya bahkan sampai Jepang. Jackie Chan begitu populer di sana. Taiwan pun menjadi pasar yang sama pentingnya dengan pasar Hong Kong sebagai pasar domestik. Pada awal 1990-an, industri film Taiwan yang dulu kuat hampir punah di bawah gempuran sinema impor Hong Kong.

Jatuh karena Overproduksi

Sinema Hong Kong meredup medio 1997. Di antara penyebabnya adalah krisis keuangan Asia, pembajakan video yang merajalela di seantero Asia Timur, promosi agresif studio-studio Hollywood ke pasar Asia, dan kedaulatan Hong Kong yang berpindah ke Cina.

Dalam hal industri film, hubungan Hong Kong dengan Cina daratan tidak terlalu nyaman, dan dipenuhi rintangan birokrasi. Salah satu aturan yang ditetapkan Cina adalah semua produksi independen Hong Kong tetap dihitung impor sehingga dibatasi kuotanya. Peraturan yang tidak masuk akal, mengingat mereka berdua sekarang satu negara.

Faktor penting yang juga turut menggerus kejayaan sinema Hong Kong adalah overproduksi. Investasi melimpah, jumlah produksi naik, namun kualitas menurun. Overproduksi ini pun diikuti oleh turunnya kontrol atas kualitas dan formula yang repetitif, khususnya dalam hal cerita dan karakter.

Penonton mulai kehilangan minat pada sinema Hong Kong. Bahkan banyak penggemar berat sinema Hong Kong, yang penuh semangat mengikuti perkembangan 'Hong Kong New Wave' selama tahun 1980an dan awal 1990an akhirnya kecewa. Mereka beralih ke film-film Korea Selatan yang gahar dan paling inovatif di Asia.

Sejak 1998, industri film lokal Korea Selatan telah mengalami transformasi yang luar biasa. Generasi baru pembuat film Korea merevitalisasi industri ini dengan film laga berbiaya besar, drama-drama filosofis, dan satir subversif.

Dalam beberapa hal, seperti yang dibahas Anthony C. Y. Leung dalam Korean Cinema: A New Hong Kong (2006), Korea Selatan punya banyak kemiripan situasi dengan Hong Kong, khususnya dalam industri filmnya yang meledak di panggung dunia.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/02/25/geliat-sinema-hongkong--mild--nadya.jpg" width="860" alt="Infografik Geliat Sinema Hongkong" /

Dijiplak Hollywood

Setelah mengalami kesuksesan komersil dan artistik pada pertengahan tahun 90an, Hollywood pun mencontek Hong Kong. Sineas Amerika, tampaknya merupakan pewaris langsung Hong Kong.

Koreografi dalam sinema Hong Kong sungguh menakjubkan dan membekas pada banyak film Hollywood. Dalam trilogi The Matrix (1999, 2003), misalnya, memuat adegan-adegan bela diri Keanu Reeves yang terbang dan mengapung a la bintang laga Hong Kong. Contoh lain? Tontonlah Uma Thurman mengayunkan pedagnya di Kill Bill (2003).

Oliver Stone, Francis Ford Coppola, dan Quentin Tarantino pun menunjukkan antusiasme yang besar pada genre bela diri. Dalam kedua film Kill Bill (2004), Tarantino mengeksploitasi plot klasik balas dendam dan seni bela diri a la Hong Kong. Saat membuat film Reservoir Dogs (1992), Tarantino juga mengaku terinspirasi karya Ringo Lam, City on Fire (1987).

Sinema Hong Kong pernah menyumbang dunia dengan para jagoan yang melawan orang-orang jahat dan menyesap anggur dalam sorotan lampu neon. Saat ini, sineas Hong Kong paling beken yang tersisa adalah Wong Kar Wai, itupun dengan gaya sinematik yang berbeda. Generasi terbaru Hong Kong terus berusaha, dan belum ada hasil.

Park Chan-wook, Bong Joon-ho, Hong Sang-soo, Kim Jee-won dan rekan sineas dari negeri gingseng makin meredupkan Hong Kong. Jalan terbaik yang bisa diupayakan Hong Kong adalah menugaskan para triad untuk mengobrak-abrik Korea Selatan, atau duduk bernostalgia pada masa keemasannya.

Baca juga artikel terkait INDUSTRI FILM atau tulisan lainnya dari Arif Abdurahman

tirto.id - Film
Reporter: Arif Abdurahman
Penulis: Arif Abdurahman
Editor: Windu Jusuf
-->