Menuju konten utama

59 Tahun Wong Kar-Wai

Pengalaman dan gagasan Wong Kar-Wai tentang waktu lampau dan kenangan yang menyesap dalam film-filmnya adalah hal jamak yang dialami oleh banyak orang.

59 Tahun Wong Kar-Wai
Cuplikan film "Chungking Express" yang disutradarai Wong Kar Wai. FOTO/Istimewa

tirto.id - Latar hitam membuat huruf-huruf merah terlihat begitu mencolok. Lalu layar menampilkan barisan televisi yang didominasi warna biru menampilkan awan bergerak. Huruf-huruf merah muncul lagi secara bergantian, bersanding dengan lampu neon kuning. Warna-warna neon yang norak itu akan sering muncul sepanjang sembilan puluh menit, mewujud dalam papan nama bar, restoran, atau kelab malam. Setelah itu kita disajikan adegan seseorang membungkus diri dalam selimut, dan sebuah panggilan telepon, dan As Tears Go By dimulai. Film yang kemudian menentukan posisi tawar Wong Kar-Wai di perfilman Hong Kong dan dunia.

As Tears Go By, Sebuah Debut

"Saat itu, karena kesuksesan A Better Tomorrow-nya John Woo, film-film tentang gangster berjalan lancar dan, sebagai sutradara baru, saya ingin bikin juga, tapi yang berbeda dari yang pernah saya lihat di Hong Kong. Saya ingin bikin film tentang gangster muda. Dan karena saya kenal baik dengan produser, dia memberi saya keleluasaan." Wong Kar-Wai menjelaskan proses awal pembuatan As Tears Go By, film debutnya, kepada seorang kritikus film Perancis. (Bérénice Reynaud, Cahiers du cinéma)

Wong berdiskusi dengan Michael Ciment, kritikus film, tentang kesamaan orang Hong Kong dan orang Italia: Nilai-nilai yang dipegang teguh, persahabatan, mafia, pasta, tentang pandangan mereka terhadap ibu.

"Saat pertama kali menonton Mean Streets (Martin Scorsese, 1973) saya terkejut karena saya mendapat kesan cerita seperti itu bisa dengan mudah dibuat berlatar Hong Kong," katanya.

Lalu dia menceritakan kisah yang melatarbelakangi ide cerita As Tears Go By. Ia menghabiskan malam di bar bersama teman gangsternya, keduanya sama-sama kenal dengan seorang pria yang sama sekali tak bisa berbahasa Inggris tetapi memiliki kekasih asal Inggris yang bekerja di bar. Perempuan itu sering meninggalkan pria itu lalu kembali lagi. Pasangan aneh yang bahkan tak berkomunikasi sama sekali.

Orang yang jatuh cinta, atau jatuh cinta dengan gagasan jatuh cinta, sulit menghindari sikap ceroboh, merasa kelelahan, atau—pada tahap ekstrem—menyedihkan. Jika Anda orang biasa mungkin Anda hanya akan mengeluh di media sosial dan lambat laun keluhan Anda akan tertutup arus keluhan kerabat Anda di linimasa. Tetapi jika Anda seorang gangster, kecerobohan dan rasa lelah Anda akan melibatkan pecahan botol bir, pistol, bahkan darah. Dan ini berpotensi merepotkan banyak pihak. Tony Montana (Scarface, 1932) mengalaminya, begitu pula Ah Wah, protagonis di As Tears Go By: Lelah, bosan bertarung, bosan berkumpul. Pada titik inilah Wong mengisi tempat lain, yang berseberangan, dengan karakter di film John Woo.

Tujuh tahun kemudian, Wong diwawancara Tony Rayns dan ia masih mencoba memahami karakter Ah Wah yang dimainkan Andy Lau di As Tears Go By, "Saya tidak tahu apa yang dia (Ah Wah) pikirkan atau apa motivasinya. Karakter lain lebih mudah: Saya tahu apa yang dipikirkan sepupunya (Ngor) dan si bocah impulsif (Fly)." Pada wawancara lain Wong menjelaskan, "[...] Tapi sekarang saya bisa bilang, ada juga orang seperti Ah Wah, yang tidak tahu apa yang sebenarnya dia inginkan, mengalir saja."

Ackbar Abbas, profesor sastra komparatif di University of California, seperti dikutip Wong Kar-wai: Contemporary Film Directors, berpendapat bahwa As Tears Go By menggambarkan masalah yang terjadi di ruang kolonial yang sedang membuat transisi dari imperialisme ke kapitalisme multinasional. Namun, dalam film itu implikasi politis diungkapkan secara tidak langsung dalam usaha sia-sia sang tokoh menjalani hidup di kota yang akhirnya menghabisinya.

As Tears Go By sendiri meraup keuntungan kotor hingga HK$11,2 juta, dan menjadi satu-satunya film Wong yang berpenghasilan kotor di atas HK$10 juta hingga The Grandmaster (2013) dirilis.

Wong Kar-Wai

Wong lahir di Shanghai tahun 1958. Keluarganya pindah ke Hong Kong saat dia berusia lima. Stephen Teo, dalam Auteur of Time, menyebut bahwa Wong melintasi pergerakan sinema Hong Kong, yang secara komersial dan estetika mengakar pada suasana industri Shanghai yang kemudian digantikan saat masa pendudukan Jepang di tahun 1937 dan kemenangan komunis di tahun 1949.

Wong masuk Hong Kong Polytechnic sebelum mengambil spesialisasi televisi dan produksi film di sekolah yang dijalankan HKTVB (salah satu stasiun televisi Hong Kong terbesar). Dia mulai menulis skrip dari opera sabun hingga komedi situasi sebelum memulai debutnya di tahun 1988. Setelah itu Wong mulai tidak suka menulis skrip, karena menurutnya mengambil gambar dari skrip yang sudah beres sangat membosankan. Sebagai gantinya dia mulai menulis film dalam beberapa bagian, dan sering mengirim berlembar-lembar halaman dialog melalui faks sebelum pengambilan gambar.

Di tahun 1991, Wong mulai membuat film yang lebih personal, Days of Being Wild, sebelum menggarap film epik Ashes of Time. Beristirahat sebentar lalu menggarap Chungking Express yang kemudian mendapat perhatian publik setelah dirilis Miramax di Amerika Serikat tahun 1995, film pendampingnya Fallen Angel (1995) dirilis di Amerika Serikat dua tahun setelahnya. Happy Together (tayang premier di Cannes 1997) memunculkan sisi lain dari karya-karya sebelumnya. Di tahun 2000, Wong melahirkan karya yang akan membuatnya selalu diingat...

In The Mood For Love (2000)

Penonton dibawa ke Hong Kong di tahun 1960an, seperti yang bisa kita temui di Days of Being Wild tetapi dalam citra yang lebih bisa dipercaya.

Seorang jurnalis bernama Chow Mo-wan (Tony Leung) bertemu imigran dari Shanghai, Su Li-zhen (Maggie Cheung). Keduanya secara kebetulan pindah dan menempati kamar yang saling bersebelahan di hari yang sama. Keduanya telah memiliki pasangan. Penonton bisa mendengar suaranya dan kadang bisa melihat mereka dari belakang, tapi kita tidak pernah melihat wajah mereka. Wong menjelaskan bahwa dia mempelajari teknik ini dari Julio Cortazar yang sering menulis dengan struktur seperti itu.

"Pasangan mereka tidak pernah terlihat terutama karena dua tokoh utama kita melakukan apa yang mereka pikir pasangan mereka lakukan. Dengan kata lain, kita bisa melihat hubungan masing-masing melalui satu pasangan saja," kata Wong kepada Allan Cameron dari Jump Cut.

Karena pindah di hari yang sama, beberapa barang mereka tertukar dan dengan progres yang lamban keduanya mulai saling memperkenalkan diri. Percakapan pertama mereka adalah tentang absennya pasangan masing-masing, hal ini membuat hubungan keduanya menjadi pusaran cerita: Kesenangan yang muncul dari keputusasaan, gagasan tentang cinta yang membahagiakan di satu sisi dan membuat frustrasi di sisi lain, perkara kenangan dan usaha-usaha mengatasinya. Persoalan seperti ini mudah kita temui nyaris di semua film Wong, bahkan dalam film silat, The Grandmaster, tiga belas tahun setelah In The Mood For Love.

Infografik Wong Kar Wai

Nostalgia

"...adalah kanker. Nostalgia akan memenuhi hatimu dengan tumor. Ya, ya, ya, begitulah kau. Kau cuma orang tua sekarat yang mengidap nostalgia stadium akhir." Nasihat Pendeta kepada Frank Snake Church di cerita pendek berjudul What Ever Happened to Frank Snake Church? (Ten Little Indians, Sherman Alexie, 2003) ini juga tampaknya berlaku untuk tokoh-tokoh dalam film Wong.

Sebentuk penyesalan selalu terselip di tiap langkah, di celah antar gedung, di sudut-sudut apartemen orang-orang yang tidak menolak untuk hidup hari ini, tetapi sudah menjadikan masa lampau sebagai tujuan akhir mereka: sebuah tempat yang sudah selesai, menawarkan keamanan, dan harapan tak perlu dibikin sebab sudah pasti tidak kesampaian.

Ada kecelakaan antara ruang dan waktu dalam film-film Wong Kar-Wai. Tokoh-tokohnya seperti terjebak di ruang yang tak bisa mereka tolak bersama orang yang semestinya tak ada di sana. Dalam kondisi seperti itu, obrolan yang asyik jarang terjadi tanpa melalui masa kikuk, apalagi curhat. Akhirnya mereka hanya cerewet dalam pikirannya masing-masing. Momen yang semestinya diisi dialog hanya berakhir dengan monolog, musik latar, atau gestur yang menyiratkan kecemasan.

Bersama sinematografer langganannya Christopher Doyle, seperti ditulis Culture Trip, dia meninggalkan jejak khas di ranah visual: Penggunaan lensa wide-angle yang terdistorsi, warna-warna mencolok, perubahan mendadak ke hitam-putih, sudut tangkap gambar dan pergerakan kamera yang tidak biasa, dan yang paling diingat tentu manipulasi kecepatan film yang efeknya semakin menguatkan kesan mimpi atau proyeksi hari-hari yang sudah lewat.

Selain nostalgia, persoalan waktu dan identitas secara konsisten muncul dalam film-film Wong. Kebanyakan tokohnya bukan asli Hong Kong, melainkan dari daerah-daerah koloni atau negara Asia lain (Kowloon, Makau, Taiwan, Jepang, Shanghai), beberapa meninggalkan Hong Kong dan minggat ke Argentina atau Jepang.

Mereka kelihatan bergegas sekaligus sedang menunggu. Simbol waktu muncul lewat sebaran jam dinding, jam tangan, hingga waktu kadaluarsa di Days of Being Wild, Chungking Express, dan Fallen Angels. Bahkan jam bajakan 'Seimens' di kantor Nyonya Chan di In The Mood For Love.

Sebagian besar penduduk Hong Kong yang berbahasa Kanton berasal dari Provinsi Guangdong, di mana penduduk berketerampilan melarikan diri ketika pemerintah komunis mengontrol Tiongkok tahun 1949. Hong Kong dibentuk oleh migrasi dan kolonialisme. Hong Kong menjadi sebuah tempat tujuan bagi mereka ketika keadaan di Cina memburuk dan mereka selalu berharap bisa kembali lagi ketika keadaan mulai membaik. Terasa familier?

Dalam wawancara dengan Jimmy Ngai, Wong Kar-Wai berkata begini:

"Waktu, bagi saya, selamanya menyebabkan hilangnya kepolosan. Seiring waktu, penglihatan Anda untuk melihat ke belakang jadi terbatas; Anda mulai mengenang hal-hal yang Anda ingin lakukan tapi tak bisa Anda lakukan, Anda mulai bertanya-tanya apa yang akan terjadi di hari itu jika Anda mengambil jalan yang berbeda. Anda tidak punya jawaban, tetapi Anda tertekan dengan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Anda tidak bisa tidak menyesal." (J. Ngai & Wong Kar-wai, "A Dialogue with Wong Kar-wai: Cutting Between Time and Two Cities" dalam Wong Kar-wai, oleh J. Lalanne, et.al, 1997)

Pikiran yang biasa saja, dan lazim dirasakan oleh banyak orang. Barangkali itulah alasan Anda menyukai film-film Wong Kar-Wai.

Baca juga artikel terkait INDUSTRI FILM atau tulisan lainnya dari Sabda Armandio

tirto.id - Film
Reporter: Sabda Armandio
Penulis: Sabda Armandio
Editor: Maulida Sri Handayani