Menuju konten utama
20 Juli 1973

Rindu Dendam Bruce Lee dengan Hollywood

Sebelum film The Big Boss (1971) meledak di pasaran, Bruce Lee sempat frustrasi karena kariernya macet di Hollywood.

Rindu Dendam Bruce Lee dengan Hollywood
Header Mozaik Bruce Lee. tirto.id/Tino

tirto.id - Bruce Lee benar-benar kecewa. Selama berkarier di Hollywood, namanya tak pernah bertengger sebagai bintang utama. Tawaran yang datang kepadanya selalu berhenti pada peran-peran tak penting. Hal itu membuatnya frustasi. Menurut Hollywood, orang-orang Cina dianggap belum layak dijual di depan kamera.

Bruce Lee berniat mendobrak itu, terutama menghapus stereotip buruk terhadap kaumnya. Ia dan dua orang sahabatnya, James Coburn dan Stirling Silliphant akhirnya bersiasat. Mereka mengadakan pertemuan guna merancang sebuah film berjudul The Silent Flute. Ketiganya sepakat untuk menulis sendiri skenarionya dan Bruce Lee berperan sebagai bintang utama.

Ketika rampung digarap, naskah itu ditawarkan kepada Warner Brothers. Warner setuju untuk memproduksi film itu, dengan syarat lokasi syuting harus di India. Ketiganya sempat kurang setuju, tetapi akhirnya mengalah dan menerima tawaran itu. Setelah mempersiapkan segalanya, mereka terbang ke India.

Sesampainya di India, mereka sama sekali tak menemukan lokasi yang pas dengan skenario. Tiga minggu berada di India membuat Bruce Lee semakin frustasi. Setelah melaporkan hasil survei, pihak Warner Brothers justru memutuskan menunda proyek. Keangkuhan Warner Brothers semakin menambah kekecewaan Bruce Lee terhadap Hollywood.

Suatu kali, Bruce Lee berkeluh kesah kepada James Coburn, ia menceritakan segala persoalannya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, James tak sejalan dengan cita-citanya. “Di Hollywood, kau hanya membuang waktu saja. Pulang saja ke Hong Kong dan buat film di sana. Kau akan menjadi besar di sana!” kata James dikutip dari buku Biografi Inspiratif Sang Legenda Kung Fu Dunia.

Bruce Lee bimbang, film-film yang beredar di Asia Timur dan Asia Tenggara jauh dari harapannya. Ia masih berpikir bahwa Hollywood lebih menjanjikan dalam membesarkan namanya.

Setelah menimbang-nimbang, Bruce Lee bangkit dan mencoba peruntungan kedua kalinya. Ia kembali menawarkan sebuah ide film berjudul The Warrior. Film itu menceritakan tentang ideologi dan filosofi kungfu. Idenya dipakai, namun judul film diganti dengan Kung Fu dan Bruce Lee didepak keluar setelah film itu dibintangi oleh David Caradine. Ketika film itu tampil di layar kaca, Bruce Lee berang dan berteriak “Itu rasis Hollywood!”

Dalam masa kegamangannya, kata-kata Stirling Silliphant benar-benar terngiang-ngiang dibenaknya “Kau tak akan menjadi bintang besar di Hollywood!”

Kembali ke Hong Kong

Bruce Lee akhirnya menyerah dan kembali ke Hong Kong. Pada masa-masa awal berkarier, beberapa produser sempat menolaknya. Alasannya, Bruce Lee meminta honor yang cukup tinggi untuk ukuran Hong Kong.

Namun, semua berubah ketika ia diundang untuk mendemonstrasikan kungfunya di stasiun televisi. Dengan segala kebolehannya, ia menendang empat buah papan setebal satu inchi hingga hancur. Penampilan itu disaksikan oleh seorang produser kenamaan dari Goldent Harvest bernama Raymond Chaw. Ia menelepon dan menyampaikan rasa kagumnya kepada Bruce Lee.

Bruce Lee menjawab “Aku bisa melakukan lebih baik lagi. Aku berjanji dalam waktu dekat aku akan menjadi bintang paling cemerlang di Asia,” ungkapan itu semakin membuat Raymond ingin bekerja sama dengannya.

Mereka akhirnya meraih kesepakatan untuk pembuatan film The Big Boss (1971). Film itu berlokasi di tempat kumuh bernama Pak Chong, wilayah di luar kota Bangkok. Di lokasi ini pula Bruce Lee harus menerima 10 jahitan karena kecelakaan kecil.

Tanpa pernah disangka-sangka, film yang disutradarai Lo Wei ini meledak di pasaran. Film itu juga berhasil menjadi box office dan menggeser film-film Barat yang bertengger di puncak seperti The Sound of Music. Membludaknya para penonton di bioskop-bioskop membuat pemerintah setempat harus mengerahkan polisi lalu lintas untuk mengatasi kemacetan di jalan-jalan.

Sambutan hangat itu terjadi karena Bruce Lee menawarkan sesuatu yang berbeda dari pendahulu-pendahulunya, yang cenderung memainkan adegan pendekar sakti yang sanggup mengalahkan puluhan lawannya dengan sekali libas.

Di tengah monotonnya film saat itu, Bruce Lee hadir dengan tokoh yang sangat realistis, tak selalu menang dan bahkan bisa terluka. Selain itu, ia menghadirkan gerakan kungfu yang indah dan artistik. Ia juga selalu menawarkan ending yang memukau dan selalu berperan sebagai pembela kebenaran. Bruce Lee menjadi idola baru, para penonton di bioskop bahkan ikut berdiri dan bertepuk tangan ketika ia berhasil menghabisi musuh-musuhnya.

Dengan honor yang berlipat, Bruce Lee kembali memainkan film Fist of Fury (1972) dengan latar kota Shanghai sekitar tahun 1900-an. Film yang masih disutradarai oleh Lo Wei itu menghabiskan budget yang lebih besar. Film ini sangat sukses, bahkan jauh melampaui prediksi awal dan berhasil menembus pasar Eropa dan Amerika.

Fist of Fury yang menceritakan tentang pendudukan Cina atas Jepang juga berhasil menggeser rekor penjualan tiket yang didominasi oleh film-film Hollywood. Berkat Bruce Lee, anak-anak muda semakin keranjingan belajar kungfu. Bruce Lee telah menjelma menjadi superstar Asia yang sulit dicari tandingannya, namanya menghiasi berbagai media, baik majalah, koran, radio hingga layar kaca.

Ia kembali membintangi film ketiganya yang berjudul The Way of The Dragon (1972). Kali ini Bruce Lee merangkap menjadi bintang, penulis cerita, penata adegan sekaligus sutradara. Dalam film ini, ia menggandeng Chuck Norris, seorang atlet juara karate internasional tujuh kali berturut-turut.

Infografik Mozaik Bruce Lee

Infografik Mozaik Bruce Lee. tirto.id/Tino

Pertarungannya dengan Chuck Norris begitu memikat hati jutaan penonton. Sejak film itu beredar, ia segera dinobatkan menjadi aktor yang paling dicari di seluruh dunia sekaligus menjadi ikon seni beladiri yang sangat diperhitungkan.

Melihat kesuksesannya yang tak mampu terbendung, orang-orang Hollywood yang dulu pernah meremehkannya, termasuk Warner Brothers, tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Maka akhirnya terjalinlah kerja sama antara Hollywood dan Hong Kong. Mereka merilis film Enter The Dragon (1973). Sejak saat itu, nama Bruce Lee berkibar di seluruh dunia.

Enter the Dragon menjadi salah satu film terlaris pada tahun 1973 dan mengabadikan Bruce Lee sebagai legenda seni bela diri. Film yang dibuat dengan biaya 850.000 dolar AS itu akhirnya berhasil meraup 200 juta dolar AS di seluruh dunia dan 22 juta dolar AS di Amerika.

Kesuksesan ini membuatnya kembali membuat film berjudul The Game of Death (1978). Ia merangkap menjadi delapan orang sekaligus, pemeran utama, produser, sutradara, penulis naskah, pengatur laga, pengatur lokasi, sinematografi dan penata cahaya. Sayangnya, ia meninggal sebelum film ini diselesaikan, yakni pada 20 Juli 1973, tepat hari ini 49 tahun lalu ketika usianya baru 32 tahun.

Mengubah Pandangan

Semasa hidupnya, Bruce Lee berhasil merubah stereotipe Asia di mata orang-orang Amerika. Selain itu, ia juga berhasil membukakan pintu yang sebelumnya benar-benar tertutup untuk orang Asia di Hollywood.

Menurut Hye Seung Chung, dari Department of Asian Languages and Cultures at the University of Michigan, sebelum Bruce Lee dikenal, sebagian pria Asia digambarkan seperti anak kecil, kuli, dan pekerja rumah tangga dalam budaya populer di Amerika

"Lee membuktikan bahwa citra pria Asia bisa jadi keras, kuat, dan seksi. Bruce Lee menjadi gila dari tahun 1970-an, menciptakan stereotipe baru dari pria Asia:.. Yaitu, seniman bela diri, yang masih meresapi dalam sinema Hollywood" ungkap Hye Seung Chung dikutip dari ABC News.

Tidak hanya Seung Chung, L.S. Kim, asisten profesor media film dan digital di University of California juga mengatakan "Lee mengubah gambaran laki-laki Asia di Hollywood. Dia mewakili tokoh yang kuat, dia menyajikan jenis kekuatan ideal dan maskulinitas."

Ya! Seung Chung dan Kim benar! Bruce Lee tidak hanya sukses untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk kaumnya.

==========

Artikel ini terbit pertama kali pada 29 September 2016. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menayangkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait BRUCE LEE atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Film
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti & Irfan Teguh Pribadi