tirto.id - Hollywood memang tidak pernah absen menuai kontroversi. Selesai kehebohan #OscarSoWhite–efek dari penghargaan Oscar 2016 yang alpa menyertakan nominasi dari kalangan non kulit putih—kini muncul pusat industri perfilman Amerika Serikat ini dituding memperlakukan artis keturunan Asia secara diskriminatif.
Kontroversi ini muncul setelah beberapa film Hollywood terbaru memilih pemeran berkulit putih untuk karakter yang seharusnya berasal dari keturunan Asia atau Afrika. Beberapa film yang menjadi sorotan antara lain Ghost In The Shell (rilis 2017), Death Note (rilis 2017) dan Doctor Strange (2016).
Jika daftar ini ditarik ke belakang, maka akan muncul film-film seperti Aloha (2015), Pan (2015), Lone Ranger (2015), dan Avatar: The Last Airbender (2010). Apabila jangka waktunya ditarik jauh ke belakang lagi, niscaya daftar ini akan kian panjang.
Dari daftar tersebut, Ghost In The Shell dan Doctor Strange adalah film-film yang memantik perdebatan paling ramai. Kedua film ini dianggap melecehkan karena memilih aktris kulit putih untuk memerankan karakter Asia. Ghost In The Shell memajang nama megabintang Scarlett Johansson sebagai pemeran karakter utama Mayor Motoko Kusanagi. Sementara itu, Doctor Strange memilih aktris kawakan Inggris, Tilda Swinton, sebagai pemeran biksu Tibet, Ancient One, yang menjadi mentor dari tokoh Doctor Strange.
Seperti diberitakan Time, pemilihan kedua aktris tersebut serentak memicu protes dari artis-artis keturunan Asia yang berkecimpung di Hollywood. George Takei, salah satu pemeran serial Star Trek, bahkan bereaksi cukup keras di laman Facebooknya.
“Biar saya meluruskannya: Anda memilih aktris kulit putih supaya film anda bisa laku...di Asia? Alasan semacam ini sama tidak bergunanya dengan pemilihan pemeran itu. Marvel [rumah produksi yang membuat Doctor Strange] pasti berpikir kita semua idiot,” tulisnya.
Protes serupa dilancarkan oleh aktris televisi Margaret Cho. Ia bahkan berkolaborasi dengan penulis Ellen Oh demi melancarkan kampanye lewat tagar #WhiteWashedOut untuk menggalang perhatian publik.
“#WhiteWashedOut adalah stereotip berkelanjutan tentang orang-orang Asia seperti lelakinya yang dipersepsikan tidak menarik, perempuannya yang penurut, 'tiger mom' [karakter ibu yang keras terhadap anak] dan lain sebagainya,” cuit Ellen Oh.
“Not a sidekick. Not a sidechick,” cuit Margaret Cho. Ia mengacu kepada karakter-karakter Asia dalam film Hollywood yang kerapkali ditempatkan sebagai karakter pembantu (“sidekick”) atau pemanis layar semata (“sidechick”).
Sentimen Rasial
Seperti telah disinggung Ellen Oh, fenomena aktor atau aktris kulit putih yang memainkan karakter di luar rasnya (Asia, Afrika, atau bahkan, suku Indian) lazim disebut dengan istilah “whitewashing”. Istilah ini tak lepas dari kontroversi karena mengandung konotasi negatif, seakan segala sesuatu yang “putih” dapat membilas dan membuat segalanya lebih baik. Selain itu, “putih” dipersepsikan setingkat lebih tinggi dari yang liyan.
Kolomnis film Tom Brook dari BBC mengklaim bahwa fenomena “whitewashing” seringkali dilakukan dengan sembrono sehingga menghasilkan karakter yang karikatural sekaligus cenderung merendahkan ras lain. Hal ini akhirnya menyuburkan stereotip negatif terhadap identitas liyan, tak hanya di layar kaca, namun juga di dunia sehari-hari.
Fenomena “whitewashing” awalnya bermula akibat kurangnya artis keturunan Asia dan Afrika di Hollywood pada era '20an hingga paruh pertama dekade '60an. Di sisi lain, langkanya artis Asia atau Afrika sebenarnya berpangkal dari diskriminasi rasial yang pada masa-masa itu memang masih menyelimuti Hollywood.
Perlakuan ini pernah dialami oleh Anna May Wong, seorang aktris keturunan Cina yang diakui sebagai bintang keturunan Asia pertama yang sukses menembus Hollywood. Ketika merintis kariernya pada dekade '20an hingga '30an, Wong kesulitan mendapatkan peran utama. Alasannya sederhana: ia tidak boleh mencium seorang pria kulit putih di depan layar.
Saat itu Hollywood memang terkenal sebagai rimba yang sangat rasis. Wong pernah ditolak seorang produser karena alasan yang sangat konyol. Sang produser menyebutnya “terlalu Cina untuk berperan sebagai orang Cina.” Akhirnya, peran orang Cina itu jatuh kepada seorang aktris kulit putih yang dirias sehingga matanya terlihat sipit.
Perspektif ekonomi dalam Hollywood
“Whitewashing” sebenarnya juga mengandung sisi ekonomi di dalamnya. Para produser di Hollywood percaya memasang artis Asia atau Afro-Amerika sebagai pemeran utama tidak akan mampu menarik penonton dan membuat film laku.
Kenyataan pahit ini pernah terjadi pada Bruce Lee. Pada 1972 lalu, Bruce Lee merancang sebuah serial televisi action berjudul “Kung Fu”. Ia menawarkan konsepnya ke beberapa produser Hollywood dan mereka menyambut dengan baik. Sayangnya, sang produser menolak memakai Bruce Lee sebagai pemeran utama dan menggantikannya dengan aktor David Carradine.
“Jika kami memasang aktor berkulit kuning di atas layar, pemirsa akan langsung mematikan televisinya dalam lima menit,” papar sang produser seperti dikutip dari situs kampanye anti “whitewashing”, Racebending.com.
Alasan komersialitas hingga saat ini masih dipakai oleh produser-produser di Hollywood untuk membenarkan langkah diskriminatif tersebut. Steven Paul, produser Ghost In The Shell, mengaku bahwa film ini memang dipersiapkan untuk pemirsa di ranah internasional. Pemilihan Scarlett Johansson yang popularitasnya menyentuh skala global pun dilatarbelakangi oleh argumen tersebut.
“Saya rasa film ini bukanlah cerita khas Jepang. Ghost in the Shell adalah cerita yang sangat internasional dan tidak hanya berkutat di Jepang saja; film ini adalah tentang seluruh dunia,” kilah Paul seperti dikutip Buzfeed. “Karenanya, kami percaya bahwa pendekatan internasional adalah langkah yang paling tepat untuk menggarap film ini,” imbuhnya.
Pernyataan Paul diamini oleh Sam Yoshiba, direktur divisi bisnis perusahaan Kodansha yang memegang hak waralaba Ghost in The Shell.
“Dilihat dari perjalanan karirnya selama ini, saya yakin Scarlett Johansson adalah pemeran yang tepat. Ia memiliki aura cyberpunk ala cerita ini. Dan, kami pun sebenarnya tidak pernah membayangkan bahwa pemeran utamanya haruslah seorang aktris Jepang,” ujarnya kepada Daily Mail.
Banyak pihak menuding “whitewashing” sebagai tindakan yang tidak etis. Cerita dalam sebuah film biasanya berakar dari sebuah konteks sosial-budaya tertentu yang spesifik. Tindakan “whitewashing” selanjutnya dipandang sebagai bentuk pelecehan atas konteks yang spesifik tersebut. Sebuah film seakan dicerabut paksa dari akar sosial budayanya hanya untuk kepentingan ekonomi semata.
Kritik ini dilancarkan oleh Jon Tsuei, seorang penulis komik asal Hongkong. Ia berpendapat bahwa Ghost In The Shell adalah sebuah karya besar yang menjadi totem bagi kebudayaan populer Asia.
“Film ini tidak hanya film biasa, ia adalah tonggak besar dalam media Asia. Film ini tidak hanya film fiksi sains biasa, tidak bagiku, tidak juga bagi kebanyakan orang,” cuitnya. “[Film ini] secara inheren adalah cerita Jepang, bukan sesuatu yang universal. Pemilihan pemain ini efeknya tidak hanya menggerus wajah Asia, tapi juga mencerabut akar cerita dari tema intinya,” imbuh Tsuei.
Profesor Harry M. Benshoff dan Sean Griffin memotret fenomena komersialiasi ini dari segi budaya. Dalam buku America on Film, mereka menyinggung bahwa orang Amerika sebenarnya tidak familiar dengan aktor dan aktris non-kulit putih.
“Bahkan hingga saat ini, para pemirsa kulit putih memilih untuk tidak menonton film yang dibintangi pemeran non-kulit putih dan dibuat dengan latar belakang etnis minoritas yang asing bagi mereka. Mereka tidak bisa mengidentifikasi dirinya dengan yang terlihat di layar. […] Kesulitan mengidentifikasi diri itu juga muncul akibat struktur penceritaan tradisional ala Hollywood,” papar mereka.
Sebagai dampaknya, Hollywood saat ini didominasi oleh aktor dan aktris berkulit putih. Berdasarkan riset University of Southern California pada 2014, jumlah aktor dan aktris keturunan Asia dalam 100 film terlaris Hollywood hanya menyentuh 5 persen saja. Sementara itu, aktor dan aktris keturunan Afrika hanya sejumlah 10,8 persen dan keturunan Hispanik berada di kisaran 4,2 persen. Mereka yang berkulit putih masih mendominasi dengan angka sebesar 76,3 persen.
Di sisi lain, berdasarkan data Annenberg School of Communication, sekitar tiga perempat karakter dari film-film box office diperankan aktor/aktris berkulit putih. Ironisnya, sekitar 44% dari tiket bioskop yang terjual pada tahun itu dibeli oleh warga-warga non kulit putih.
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Maulida Sri Handayani