Menuju konten utama

Cis-Washing Adalah Masalah Besar Hollywood Selain White-Washing

Bukan cuma gemar mencuci identitas ras-ras minoritas jadi seputih-putihnya, kini Hollywood diprotes karena hobi akut lain: mencuci identitas gender dan orientasi seksual minoritas.

Cis-Washing Adalah Masalah Besar Hollywood Selain White-Washing
Scarlett Johansson. FOTO/AP

tirto.id - Tahun lalu, aktris Scarlett Johansson alias Scarjo jadi kepala berita karena perannya dalam Ghost in the Shell (2017). Pemilihan Scarjo sebagai peran utama yang jadi pemicu. Ia yang keturunan Kaukasia, di bawah arahan sutradara Rupert Sanders yang juga Kaukasia, memerankan Mayor Mira Killian yang dalam karya orisinalnya adalah Mayor Motoko Kusanagi, seorang Jepang.

Keputusan itu ramai dikritik, bahkan hingga menetaskan petisi online.

Praktik menyuruh orang kulit putih memerankan peran Asia atau ras minoritas lain di Amerika, biasa disebut white-washing. Istilah itu kini populer digunakan untuk menggambarkan perilaku rasis sejumlah orang kulit putih di Tanah Eropa dan Amerika, yang selalu mengagung-agungkan rasnya sendiri dan mendiskriminasi ras lain.

White-washing jadi kontroversi karena konotasi negatif di dalamnya. Dalam berbagai industri yang dibangun bangsa-bangsa kulit putih, selalu ada gagasan tentang konsep “putih sebagai hal yang baik”, yang meresap jadi ideologi rasisme.

Produk paling populernya adalah segregasi politik berdasarkan warna kulit yang terjadi di banyak tanah jajahan Eropa. "Putih" dipersepsikan setingkat lebih tinggi dari kulit berwarna. Seakan segala sesuatu yang "putih" dapat membilas dan membuat segalanya lebih baik—konsep ini pula yang akhirnya membuat orang-orang kulit putih punya banyak sekali privilese ketimbang mereka yang lahir sebagai kulit berwarna.

Kolumnis film Tom Brook dari BBC mengklaim bahwa fenomena white-washing seringkali dilakukan dengan sembrono. Sehingga menghasilkan karakter yang karikatural sekaligus cenderung merendahkan ras lain. Hal ini akhirnya menyuburkan stereotip negatif terhadap identitas liyan, tak hanya di layar kaca, tetapi juga di dunia sehari-hari. Sederhananya: white-washing adalah praktik lain dari pelanggengan rasisme.

Kebiasaan ini bahkan sudah muncul di film-film perdana Hollywood awal abad 20. Orang kulit putih memerankan orang kulit hitam hanya dengan memakai riasan gelap di wajahnya yang kelak terkenal dengan sebutan blackface. Sebaliknya, orang kulit hitam—dan kulit berwarna lainnya—takkan pernah memainkan peran orang kulit putih.

Pekan lalu, duet Scarjo dan Rupert Sanders kembali jadi kontroversi. Setelah mengerdilkan aktor-aktor keturunan Asia, mereka kembali berencana membuat film Rub & Tug, yang kali ini menunjuk Scarjo sebagai aktor pemeran karakter trans-maskulin.

Di sana, aktris pemeran Black Widow dalam MCU ini akan memerankan Dante “Tex” Gill, seorang transpria kepala gangster, pemilik panti pijat dan usaha prostitusi yang terkenal di AS sekitar 1970-80an. Keputusan itu kembali menuai protes, karena Scarjo dan Sanders dianggap mengerdilkan aktor-aktor transgender dan masyarakat transgender keseluruhan.

Indya Moore, aktris transpuan dalam serial Pose bilang, “Ketika perempuan cis memerankan transpria, Anda mengerdilkan pengalaman seorang transpria jadi cuma permainan berdandan belaka.” Menurutnya, orang-orang cisgender (mereka yang identifikasi jenis kelaminnya sesuai dengan identifikasi waktu lahir) tak akan pernah bisa menceritakan pengalaman orang-orang transgender, karena tak punya jangkauan ke sana.

Istilah cis atau cisgender merujuk pada orang-orang yang mengidentifikasi kepribadian dan identitas seksualnya berdasarkan status jenis kelamin yang mereka peroleh ketika lahir.

Aktris transpuan lainnya, Jamie Clayton dari serial Sense8 juga mempermasalahkan keputusan Sanders. Lewat cuitan yang ditujukan New Regency, distributor Rub & Tug, Clayton menantang mereka untuk mengaudisi aktor transgender untuk peran-peran cisgender. “I DARE YOU!” tulisnya dalam huruf kapital.

Bagi Clayton, keputusan memberi peran transgender untuk dimainkan aktor cisgender adalah bukti konkret betapa diskriminatifnya Hollywood pada masyarakat transgender. “Aktor transgender bahkan tak pernah dapat audisi UNTUK DAPAT PERAN LAIN SELAIN KARAKTER TRANSGENDER. ITU ISU UTAMANYA,” ungkap Clayton.

Infografik Transgender dalam film

Tidak Sensitif pada Politik Representatif

Respon Clayton dan Moore sama sekali tak berlebihan. Dalam kurun waktu 2015-2016, GLAAD melaporkan hanya ada tujuh karakter transgender yang ditampilkan dari total 271 karakter LGBT di televisi, baik kabel dan streaming.

Riese Bernard, pemimpin redaksi Autostraddle, sebuah media online feminis, bahkan mengatakan: “Nyatanya hampir mustahil menemukan satu saja gambaran positif dari transpuan di televisi Amerika. Setidaknya sampai lima tahun terakhir (periode 2010-2015).”

Dalam analisisnya berjudul “Sebuah Sejarah dan Analisis terhadap 105 Waria di Televisi Amerika”, Bernard melihat karakter transpuan sebenarnya jarang muncul di televisi. Ketika muncul, konteks yang digambarkan bernasib tragis, kalau tak jenaka.

Dari 105 serial yang dianalisisnya, Bernard berkesimpulan biasanya transwanita digambarkan: mati atau sekarat, dibunuh atau membunuh, beriasan menor, berpakaian norak, mengencani pria, biasanya orang kulit putih, dan jarang sekali diperankan aktor yang memang transgender (biasa diperankan aktor pria atau wanita yang bukan transgender).

Transpuan ini juga digambarkan pasrah jika dilecehkan pasangannya, atau diolok-olok teman sendiri. Olok-olokan ini bisa berupa sindiran seksualitas tentang penis, payudara, dan semacamnya. Bernard juga menemukan beberapa potret umum terhadap kaum minoritas ini. Di antaranya: menyedihkan, bengis, orang terbuang, atau sumber olok-olokan.

Bernard mencatat, sebanyak 68 persen karakter sengaja disalahpahami gendernya, dan hanya 32 persen yang tidak. Sementara ada 59 persen dihajar umpatan kasar, dan hanya 41 persen yang tidak. Bahkan sebelum 2003, tak ada satupun karakter transgender di televisi yang diperankan oleh transgender sendiri. Sebanyak 59 persen diperankan wanita, 32 persen diperankan pria, dan sisanya 9 persen diperankan oleh pria gay.

Baru setelah 2003, diagram itu berubah. Setidaknya ada 20 persen karakter transgender diperankan oleh transgender langsung. Tapi angka tertinggi masih diperankan oleh wanita sebanyak 41 persen, 27 persen pria, dan 12 persen oleh pria gay.

Praktik memberikan peran kelompok minoritas seksual pada orang-orang cisgender, kini populer disebut cis-washing. Di Hollywood—salah satu industri film paling besar sedunia—praktik ini bukan barang baru. Bersama white-washing, ia memang sudah lama dipelihara.

Fakta bahwa praktik ini sudah berumur panjang yang mungkin bikin Scarjo merespons ketus kritik yang datang. Kepada Bustle, ia bilang: “Katakan pada mereka (yang mengkritik), arahkan semua (kritikan) itu pada Jeffrey Tambor, Jared Leto, dan Felicity Huffman untuk menjawab komentar (mereka).”

Tiga nama tersebut memang aktor-aktor cisgender terkenal yang pernah memainkan peran transgender di film-film Box Office dan serial televisi populer. Tambor dikenal lewat perannya sebagai Mort, transpuan yang baru melakukan transisinya di usia senja, dalam serial Transparent (2014-2017); Leto pada 2013 memerankan Rayon, transpuan penyandang HIV dalam Dallas Buyers Club; sedangkan Huffman memerankan Bree Osbourne dalam Transamerica (2005).

“Aktor-aktor cisgender memang sudah pernah memerankan karakter-karakter transgender di film-film besar Hollywood sebelumnya, tapi bukan berarti hal itu benar,” kata jurnalis cum penulis Meredith Talusan, yang juga seorang transgender.

Dalam esainya “Mengapa Scarlett Johansson—dan Aktor Cis Lainnya—Tak Sepatutnya Memerankan Peran Trans”, Talusan menegaskan kalau praktik cis-washing yang dilakukan Hollywood berbahaya. Sebagai minoritas, orang-orang transgender selalu diperlakukan sebagai warga kasta bawah oleh orang-orang cisgender.

Masyarakat kita menilai orang-orang cisgender “lebih berharga, menarik (atraktif), punya privilese tiada berkesudahan dan kebebasan lain yang tak dimiliki orang-orang transgender: baik dalam kesempatan bekerja, akses lebih baik untuk pendidikan dan kesehatan, serta representasi yang selalu lebih besar di media,” ungkap Talusan.

Orang-orang transgender memang masih jauh dari kesempatan untuk mendapat representasi yang baik. Di sejumlah negara konservatif macam Indonesia, hak-hak kelompok masyarakat ini bahkan masih jauh dari layak. Laporan Human Rights Watch 2016 menyebutkan bahwa sistem administrasi yang ada menyusahkan mereka untuk mendapat pendidikan, pekerjaan, bahkan akses kesehatan yang layak. Seolah sengaja dimiskinkan oleh budaya terstruktur, yang juga menghilangkan hak-hak dasarnya sebagai manusia serta warga negara.

Menurut Talusan, penting untuk mendengar langsung cerita-cerita orang transgender langsung dari mereka sendiri. Sebab, banyak budaya diciptakan dan dirakit oleh orang-orang cisgender, yang akhirnya menciptakan diskriminasi pada kelompok minoritas, dalam hal ini kelompok transgender.

“Jika Hollywood bisa sampai pada titik di mana mereka bisa menghitung ulang kesalahan-kesalahannya seperti pada gerakan #MeToo dan Time’s Up, maka industri harus, sekali ini dan selamanya, berhenti memberikan peran transgender pada aktor-aktor cisgender,” tulis Talusan.

Baca juga artikel terkait HOLLYWOOD atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Film
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Windu Jusuf