tirto.id - Cahya adalah seorang waria bekerja sebagai penata rambut di sebuah salon di Banda Aceh. Cahya bukanlah nama sebenarnya. Sebab terlalu berbahaya bagi Cahya jika namanya diungkapkan dalam tulisan ini. Suatu hari, di Januari 2015, seorang polisi syariah atau wilayatul hisbah—orang Aceh biasa menyebut WH—datang ke salon tempat ia dan temannya sesama waria bekerja. Sang WH datang dan minta dipijat.
Cahya mengenali lelaki itu sebagai WH karena pernah bertemu sebelumnya. Ia sempat berpikir bahwa kedatangan lelaki itu akan menyebabkan masalah kepadanya. Tetapi karena seharian belum ada pelanggan, Cahya menerima saja dan menyuruh lelaki itu duduk.
Beberapa menit kemudian, si polisi syariah mengeluarkan kondom, membukanya, dan melemparkannya ke lantai. Ia lalu pergi berlalu ke luar salon, tanpa sepatah katapun. Cahya kebingungan dengan apa yang terjadi.
Tetapi belum sempat ia dan rekan kerjanya berpikir dan menganalisa, rombongan WH masuk ke salon.
Kondom yang tergeletak di atas lantai dijadikan alat bukti untuk menangkap dan membawa Cahya ke Kantor WH.
Kisah itu diceritakan Cahya kepada Kyle Knight, peneliti dari Human Right Watch, setahun kemudian. Kyle lalu merangkumnya dalam laporan berjudul Komunitas LGBT Indonesia dalam Ancaman.
Kisah Cahya hanya satu dari 20 lesbian, gay, biseksual, dan transgender asal Aceh yang mereka wawancarai Kyle. Selain Cahya, ada kisah-kisah tragis lain. Seorang transgender tua di Bireuen misalnya, kepalanya dipukul saat sedang duduk di taman, hanya karena dia transgender.
Ada juga yang terpaksa harus meninggalkan rumahnya setelah menerima surat pengusiran dari Geuchik atau kepala desa. Mereka mengalami berbagai bentuk kekerasan, mulai dari fisik, psikis, seksual, ekonomi, hingga budaya.
Pada 7 Maret lalu, Pemerintah Kota Bireun mengeluarkan surat yang melarang seluruh pemilik usaha mempekerjakan orang-orang LGBT. Surat itu ditandatangani oleh Kepala Dinas Syariat Islam Kabupaten Bireun.
“Diminta kepada saudara untuk tidak memberi kesempatan kepada karyawan lesbian, gay, biseksual, dan transgender di salon atau pangkas rambut yang saudara kelola,” begitu tertulis dalam poin nomor 2 surat pemberitahuan itu.
Dalam poin selanjutkan tertulis, “Diminta kepada saudara untuk tidak memperkerjakan tenaga konsa dan waria.”
Apa yang dilakukan pemerintah Bireun adalah jelas sebuah diskriminasi dalam akses ekonomi. Qanun Jinayah melegalisasi diskriminasi itu. Padahal, dalam skala internasional, PBB sudah berupaya mendorong penegakan HAM dalam bisnis dengan membuat Pedoman Prinsip PBB mengenai Bisnis dan HAM. Indonesia, sebagai anggota PBB harus patuh pada pedoman itu. Kesetaraan gender dan orientasi seksual menjadi poin dalam pedoman itu.
Beberapa perusahaan seperti Friesland Campina yang di Indonesia bernama PT Frisian Flag Indonesia bahkan sudah memasukkan jenis gender lain dalam kolom gender data karyawannya. Jadi tidak hanya laki-laki dan perempuan, transgender juga diberi hak untuk berkarier.
Qanun Jinayah dan segala bentuk hukumannya diundangkan pada September 2014, tetapi ia mulai berlaku efektif setahun kemudian. Ia berlaku bagi seluruh masyarakat Aceh, termasuk sekitar 90 ribu warga non muslim. Ia juga akan berlaku bagi seluruh pendatang yang bukan warga Aceh. Sebelum ia resmi diberlakukan pun, tindakan diskriminatif sudah dirasakan oleh kelompok LGBT. Seperti yang dialami Cahya.
Beberapa hari setelah efektif dilakukan, dua orang perempuan muda berusia 18 dan 19 tahun ditangkap karena saling merangkul di depan umum. Mereka dituduh lesbian. WH menahan mereka selama tiga malam di kantornya padahal keduanya bukan lesbian. Pada hari keempat, mereka dilepaskan dan dibawa ke fasilitas rehabilitasi untuk konseling agama selama tujuh hari.
Kepada media, Kepala Bidang Hukum Syariat di Dinas Syariat Islam Aceh Munawar A Jalil menyatakan keberatannya dengan tuduhan Qanun Jinayah ini melanggar hak asasi manusia. “Qanun ini tidak bersinggugan dengan hukum positif lainnya dan tidak melanggar hak asasi manusia,” tegasnya.
Ia mempersilakan jika ada pihak-pihak yang keberatan dan ingin melakukan judicial review. Menurutnya, Qanun Jinayah merupakan amanat Undang-undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. “Jika tidak diterapkan, maka pemerintah Aceh melanggar hukum,” katanya.
Nur Choirun dari Komnas HAM mengaku kebingungan dengan berbagai keributan tentang LGBT yang marak akhir-akhir ini, termasuk dengan apa yang terjadi di Aceh.
“Padahal sepuluh tahun lalu Indonesia menjadi tuan rumah dari satu perdebatan penting tentang prnsip-prinsip bersama untuk menekankan perlindungan terhadap teman-teman LGBT,” ungkapnya. Apa yang terjadi saat ini, menurutnya adalah sebuah langkah mundur.
Sejak Qanun Jinayah berlaku di Aceh, banyak kelompok LGBT Aceh yang melarikan diri ke kota lain. Terutama mereka yang memiliki akses dengan jaringan aktivis di Jakarta. Tetapi, mereka yang tak punya akses, tetap hidup di sana, dalam ketakutan, diskriminasi, dan ancaman dicambuk 100 kali.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti