Menuju konten utama

Transgender di Layar Kaca

Komunitas transgender masih minoritas di layar kaca. Di Amerika Serikat, kaum transgender di dunia film terus mengupayakan perbaikan nasibnya sebagai pekerja film.

Transgender di Layar Kaca
Jared Leto berperan sebagai 'Rayon', seorang wanita transgender meninggal akibat AIDS di film Dallas Buyers Club (2013) [Foto/Yotube.com]

tirto.id - “Mohon beri kesempatan para transgender!” kata Jeffrey Tambor sambil memegang piala Emmy, pada pekan pertama September lalu.

Ia memenangkan kategori Pemeran Utama Pria Terbaik Drama Komedi untuk perannya sebagai Maura Pfeffermann, seorang transwanita atau waria dalam salah satu seri Amazon berjudul Transparent. “Berikan mereka audisi! Berikan mereka tempat untuk ‘cerita mereka’!” tambah Tambor dalam pidato kemenangannya. Pesan itu ia tegaskan untuk produser dan agen audisi Hollywood.

Gayung bersambut. Masih di bulan yang sama, pekan terakhir September lalu, Ryan Case, salah satu sutradara serial Modern Family menyahut panggilan Tambor. Ia memasukkan Jackson Millarker, aktor transgender ke dalam daftar bintang tamu untuk episode “Suatu Hari yang Stereotip”. Jackson sendiri baru berusia 8 dan merupakan aktor transgender cilik pertama di Hollywood. Di sana ia memerankan Tom, transgender cilik yang dulunya bernama Tina.

Menyusul Jackson, tahun depan aktris Laverne Cox akan menjadi transgender pertama yang memainkan tokoh transgender reguler di Hollywood dalam serial Doubt. Di sini, Cox yang terkenal lewat perannya dalam Orange is The New Black akan menjadi salah satu pemeran pendukung utama bernama Cameron Wirth, seorang pengacara kelas atas.

Kabar ini tentu saja sebuah pertanda besar dalam sejarah pertelevisian Hollywood. Sekaligus kabar gembira untuk para transgender sendiri. Kendati demikian, Nick Adams, Direktur Program dan Media Transgender dari Gay and Lesbian Alliance Againts Defamation (GLAAD) menganggap perjuangan ini masih panjang.

Dalam kurun waktu 2015-2016, GLAAD melaporkan hanya ada 7 karakter transgender yang ditampilkan dari total 271 karakter LGBT di televisi, baik kabel dan streaming. Mirisnya, hanya satu dari tujuh itu yang merupakan transpria. Ini membuat kesempatan Cox dan Jackson terlihat samar, sekaligus jadi bukti bahwa Tambor benar: komunitas transgender masih minoritas di layar kaca.

Riese Bernard, pemimpin redaksi Autostraddle, sebuah media online feminis, bahkan mengatakan: “Nyatanya hampir mustahil menemukan satu saja gambaran positif dari transwanita di televisi Amerika. Setidaknya sampai lima tahun terakhir.”

Dalam analisisnya berjudul "Sebuah Sejarah dan Analisis terhadap 105 Waria di Televisi Amerika," Bernard menemukan beberapa potret umum terhadap kaum minoritas ini. Di antaranya: menyedihkan, bengis, orang terbuang, atau sumber olok-olokan.

Adams setuju. Ia juga menilai ada citra buruk yang dibentuk televisi terhadap karakter transgender. Mereka biasa dibingkai dalam karakter tunasusila, penderita gangguan mental, pembunuh berantai, atau bahkan kombinasi ketiganya.

Salah satu serial yang merekam karakter transgender demikian negatif adalah Pretty Little Liars. Dalam musim keenamnya, ada seorang karakter jahat bernama Charlotte DiLaurentis, saudara angkat salah satu karakter utama Allison DiLaurentis. Charlotte digambarkan begitu negatif: dia menipu semua orang tentang status trans-nya, manipulatif, pembunuh, punya masalah kejiwaan, dengki dan pendendam, dan karenanya sering diolok-olok karena transgender. Karakter buruk itupun digenapi dengan kisah tragis: Charlotte dibunuh.

Dalam analisisnya, Bernard melihat karakter transwanita sebenarnya jarang muncul di televisi. Ketika muncul, konteks yang digambarkan bernasib tragis, kalau tak jenaka. Dari 105 serial yang dianalisisnya Riese berkesimpulan biasanya transwanita digambarkan: mati atau sekarat, dibunuh atau membunuh, beriasan menor, berpakaian norak, mengencani pria, biasanya orang kulit putih, dan jarang sekali diperankan yang memang transgender (biasa diperankan aktor pria atau wanita yang bukan transgender).

Transwanita ini juga digambarkan pasrah jika dilecehkan pasangannya, atau diolok-olok teman sendiri. Olok-olokan ini bisa berupa sindiran seksualitas tentang penis, payudara, dan semacamnya.

Riese mencatat 94 karakter transgender yang ada berumur di atas 16 tahun, 54 punya calon pasangan, 37 lainnya berpotensi ditinggalkan calon pasangan kalau sampai ketahuan tansgender. Sementara 20 dari 37 itu berakhir dengan kekerasan, muak hingga muntah, dan umpatan-umpatan kasar.

Riese juga mencatat sebanyak 68 persen karakter sengaja disalahpahami gendernya, dan hanya 32 persen yang tidak. Sementara ada 59 persen dihajar umpatan kasar, dan hanya 41 persen yang tidak. Bahkan sebelum 2003, tak ada satupun karakter transgender di televisi yang diperankan oleh transgender sendiri. Sebanyak 59 persen diperankan wanita, 32 persen diperankan pria, dan sisanya 9 persen diperankan oleh pria gay.

Baru setelah 2003, diagram itu berubah. Setidaknya ada 20 persen karakter transgender diperankan oleh transgender langsung. Tapi angka tertinggi masih diperankan oleh wanita sebanyak 41 persen, 27 persen pria, dan 12 persen oleh pria gay.

Dari catatan Riese, aktris Alexandra Billings adalah transgender paling sering muncul sebagai karakter transwanita di televisi. Ia muncul 6 kali. Diikuti oleh Candis Cayne sebanyak 4, Laverne Cox 3, Trace Lysette, dan Jamie Clayton masing-masing 2, dan 3 penampilan oleh aktris transgender lain.

Sebenarnya ada gejolak perubahan dalam tiga tahun terakhir. Serial Faking It dari MTV misalnya. Aktor transgender Elliot Fletcher memainkan karakter Noah yang juga transgender untuk lima episode. Carter Covington, penanggung jawab Faking It mengaku prosesnya “mencari” Fletcher memang susah payah. “Tapi penting untuk menemukan karakter transgender,” kata Covington kepada majalah Variety. “Tujuan utamanya adalah memberikan pertunjukan yang lebih nyata. Dan menunjukkan kalau karakter ini adalah manusia biasa, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.”

Jill Soloway, penanggung jawab Transparent juga berpendapat serupa. Meski ia memilih Tambor—yang sebenarnya bukan transgender—sebagai tokoh utama serialnya, Soloway tetap melibatkan sejumlah transgender berbakat dalam krunya. Pianis Klasik Our Lady J didapuk di dek penulisan naskah musim kedua dan ketiga. “Mereka ada di dek rambut dan mekap. Di dek pakaian. Asisten sutradara kami tahun ini seorang trans. Beberapa orang di dek kamera. Dan musim ketiga ini kami menambah dua aktor trans baru,” ungkapnya.

Sebelum serial Faking It dan Transparent sendiri, ada reality show “I Am Cait” dan “I Am Jazz yang telah mengubah pandangan masyarakat tentang transgender.

Pada 2015, I Am Cait mengupas kehidupan Bruce Jenner, mantan atlet lempar lembing cum ayah tiri Kim Kardashian ini setelah mengungkapkan diri sebagai transwanita bernama Caitlyn. Sementara I Am Jazz hadir beberapa hari lebih awal. Diangkat dari kehidupan seorang transwanita remaja bernama Jazz Jennings yang sudah didiagnosis gender dysphoria sejak umur 4.

Jika Caitlyn dinilai menginspirasi karena dianggap berani melawan stigma dengan risiko kehilangan keluarga dan kehidupannya sebagai lansia mapan, maka Jazz telah membuka mata dunia bahwa transgender bisa terjadi di umur berapa pun, dan bukan masalah jika di tangan keluarga tepat. Keduanya lantas mendapat reaksi positif karena dianggap berani menyuarakan haknya dan orang-orang berpengalaman serupa.

Di Indonesia sendiri, belum ada penelitian yang menerangkan kekerasan terhadap kaum transgender dalam televisi. Tapi secara kasat mata, perlakuan serupa di AS juga terasa di sini. Laporan Remotivi yang menggabungkan kekerasan terhadap perempuan dan transgender ataupun pesohor di televisi yang berperilaku feminin menyebut tayangan kekerasan terjadi hampir di 65 persen tayangan.

Bahkan awal tahun ini, pemerintah Indonesia melalui beberapa kementeriannya bersikap bermusuhan terhadap LGBT. Termasuk larangan penampilan LGBT ataupun yang “menyerupainya” di acara-acara televisi dan radio oleh Komisi Penyiaran Indonesia. Kesempatan transgender untuk bisa diperlakukan setara di negeri yang menjunjung “kemanusiaan yang adil dan beradab” ini masih perlu diperjuangkan.

Dan hal ini, bahkan di Amerika Serikat pun jalannya cukup berliku. Dalam wawancaranya dengan Variety, Adams sepakat dengan Tambor. “Memberi aktor transgender peran sekecil apa pun akan memperluas kesempatan mereka mendapat peran lebih besar,” katanya.

Baca juga artikel terkait TRANSGENDER atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Film
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Maulida Sri Handayani