tirto.id - Rian Ernest punya sejumlah kesamaan dengan "bos" barunya, Grace Natalie. Keduanya memasuki dunia politik di usia yang tergolong muda. Grace berumur 32 saat didapuk sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Sementara Rian berusia dua tahun lebih muda dari Grace saat menjadi anggota PSI.
Baik Rian dan Grace mengaku mengagumi Presiden Joko Widodo dan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Kiprah Jokowi dan Basuki menginspirasi pengacara dan presenter televisi itu berani menjadi politisi.
Sejak ditugaskan PSI menjadi bakal calon legislatif (bacaleg), Rian rajin menyambangi masyarakat Jakarta Timur, daerah pemilihan (Dapil) yang mesti dimenangkannya pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 nanti. Kepada Tirto, Rian mengatakan sudah "blusukan di gang-gang sempit yang ada di Jakarta Timur" sebanyak 30 kali.
"Saya enggak kasih duit, yang saya kasih itu kartu nama, nomor WhatsApp pribadi. Itu cara baru, mudah-mudahan efektif. Mereka bilang yang penting kalau saya terpilih mereka masih bisa menghubungi saya. Jangan menghilang," ujar Rian.
Cara baru dalam berpolitik selalu dijadikan PSI sebagai daya tawar bagi calon pemilihnya. Sekretaris Jenderal PSI Raja Juli Antoni menyatakan daya tawar itu ditegaskan melalui cara PSI menggandeng anak-anak muda menjadi pengurus partai. Raja mengklaim 70 persen pengurus PSI berusia di bawah 30.
Selain itu, untuk mendapatkan kandidat anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), PSI menyeleksi caleg secara terbuka dengan syarat si pendaftar harus anti-korupsi dan memegang nilai toleransi. Sedangkan untuk menghimpun dana partai, PSI menggunakan skema crowdfunding.
"Logikanya, kami memilih seorang (caleg) terbaik yang akan merepresentasikan rakyat enggak bisa dilakukan dalam ruang-ruang gelap, negosiasi yang tidak diketahui publik. Ini bagian dari diferensiasi yang coba kami ungkapkan," ujar Raja.
Berkaca pada India
Dalam ranah politik di Indonesia, PSI bisa saja mengklaim menjadi yang pertama. Namun, gagasan yang dicanangkan dan praktik yang dilakukan PSI sebenarnya mirip dengan dua partai di luar Indonesia yang didirikan lebih dahulu ketimbang PSI.
Aam Aadmi Party (AAP) didirikan secara resmi pada November 2012 di India dengan target memenangkan Pemilu Legislatif Delhi 2013. Lahir dari gerakan protes India Melawan Korupsi (IAC), AAP getol menjadikan pemberantasan korupsi sebagai bahan kampanye.
Pendiri AAP Arvind Kejriwal merupakan pegiat anti-korupsi di India. The New Yorker melansir Kejriwal mendirikan Parivartan, sejenis lembaga swadaya masyarakat yang berhasil menggolkan penggunaan hak atas informasi, khususnya untuk melawan korupsi, pada 2000.
Lalu, pada 2007, Kejriwal menuntut pemerintah India membentuk lembaga pemberantasan korupsi baru yang disebut Lokpal. Kejriwal pun mengorganisasi aksi massa untuk memprotes penyelewengan dana Commonwealth Games, pesta olahraga negara persemakmuran Inggris, yang diselenggarakan India pada 2010.
Setiap tahun, Transparency International merilis indeks persepsi korupsi dengan rentang 0-100 untuk setiap negara. Semakin kecil nilai indeks, negara tersebut semakin korup. Pada 2009, Transparency International menempatkan India di urutan ke-94. Sedangkan pada 2017, India berada di urutan ke-81 dengan nilai indeks sebesar 40, sedikit lebih besar dari Indonesia nilai indeksnya sebesar 37.
"Itu sudah mengkristal, bahwa partai-partai dan sistem secara keseluruhan telah korup sehingga mereka tidak akan berhenti (korup) kecuali ditantang orang-orang jujur dalam pemilu," ujar Prashnant Bhushan, salah satu pendiri AAP, kepada Washington Post pada Desember 2013.
Di AAP sendiri, untuk menjadi caleg, seorang bakal caleg mesti melewati tahapan seleksi berkas dan wawancara serta diperiksa catatan kriminal dan kepopulerannya di masyarakat. Menurut Kejriwal, seleksi tersebut dilakukan guna memastikan caleg yang diusung AAP bersih dan tidak ada dua bacaleg berasal dari keluarga yang sama.
Bercermin pada Perancis
Empat tahun berikutnya, 6.500 kilometer jauhnya dari Delhi, seorang laki-laki berumur 38 mendirikan partai En Marche! di Amiens, Perancis. Emmanuel Macron, laki-laki itu, adalah bankir yang kemudian menjadi Menteri Ekonomi, Industri, dan Digital di era kepresidenan Francois Hollande.
Berambisi menjadi presiden, Macron mengundurkan diri dari jabatan menteri dan kemudian berusaha membawa En Marche! memenangkan pileg pada Juni 2017. Dengan memiliki kursi mayoritas, Macron bisa leluasa menggolkan peraturan.
L'express melansir bahwa En Marche! mengharuskan kandidat calegnya meninggalkan partai lama jika ingin diusung. Macron juga menetapkan caleg En Marche! mesti bersih dari catatan kriminal dan menjunjung pluralitas sebagaimana dicita-citakan partainya.
Anealla Safdar dan Ahmed El Amraoui melaporkan untuk Aljazeera bahwa pengangguran menjadi isu utama yang diperhatikan para pemilih di Perancis. Tingkat pengangguran di Perancis mencapai sekitar 10 persen, dua kali lebih tinggi dari Jerman dan Inggris serta lebih tinggi dari rata-rata tingkat pengangguran di negara-negara anggota Uni Eropa. Angka itu pun tidak pernah turun hingga 9 persen sejak krisis ekonomi 2008.
Selain itu, Perancis memiliki peraturan jam kerja 35 jam per minggu. Hannah Murphy mengatakan dalam laporannya untuk Financial Times bahwa peraturan ini tidak disukai banyak pengusaha tetapi sangat dibela serikat pekerja.
Pesaing terberat Macron, Marine Le Pen yang diusung partai Front National (FN), mengatakan, pengangguran akan berkurang dengan kebijakan meninggikan pajak yang dipungut dari pekerja imigran dan industrialisasi yang diarahkan negara. Munculya Le Pen dinilai sebagai tanda bangkitnya populisme di Perancis.
"Populisme bangkit di seluruh Eropa. Ini tren yang jelas, tetapi kelihatannya tidak ada partai-partai tradisional tahu cara mematahkannya, dan menghadapi krisis ekonomi dan konsekuensinya," ujar direktur Foundation for Ethnic Understanding untuk Eropa, Samia Hathroubi, seperti dilansir Aljazeera.
En Marche! memilih menjadi partai sentris di tengah sesaknya partai-partai berhaluan kiri (Parti socialiste, PS) dan kanan (Républicains, FN). Macron berjanji mengurangi tingkat pengangguran sebanyak 3 persen. Dia juga berjanji tidak akan mengotak-atik umur dan tunjangan pensiun, tetapi akan memberikan kebebasan kepada perusahaan untuk menegosiasikan kesepakatan spesifik mengenai jam kerja dan upah buruh.
Bermodal Anak-Anak Muda
Jelang pileg Delhi 2013, sebanyak 97 orang mendaftar menjadi kandidat dari AAP. First Postmelansir pada Oktober 2013 bahwa dari 65 kandidat yang sejauh itu telah diumumkan AAP, 6 orang berumur di atas 50 tahun. Rata-rata umur kandidat AAP berada di rentang 30-35 tahun. Sebagian besar dari mereka merupakan pegiat sosial dan belum pernah terjun ke partai politik.
AAP juga menghimpun dana melalui skema donasi terbuka untuk membiayai kerja-kerja partai. Neha Thirani Bagri melaporkan untuk New York Times bahwa sekitar 700 ribu orang menyumbang untuk AAP. Sekitar 55 ribu di antaranya menyumbang 10 ribu rupee atau kurang. Sekitar 60 persen di antaranya menyumbang melalui aplikasi daring.
Saat hasil pileg Delhi 2013 diumumkan, hasilnya mencengangkan. Dari 70 kursi di parlemen Delhi, AAP memperoleh 28 kursi. Sedangkan Bharatiya Janata Party (BJP) besutan Narendra Modi mendapat 32 kursi. AAP pun berhasil menggeser India National Congress (Congress), partainya petahana Kepala Negara Bagian Delhi selama 15 tahun Sheila Dixit, yang hanya memperoleh 8 kursi.
“AAP menantang kedua partai mainstream dan menawarkan diri sebagai alternatif yang sanggup membuat perbedaan. Cara pemilihan kandidat, gaya kampanye, dan fokus elektoral berusaha mendefinisikan kembali gaya berpolitik. Itu memaksa partai-partai mainstream untuk merespon dan memikirkan ulang strategi mereka,” ujar Sandeep Shastri, seperti dilansirThe Diplomat.
Di Perancis, Macron pun menuai hasil gemilang. Dia memperoleh 66,1 persen suara melawan 33,9 persen suara yang diperoleh Le Pen dalam putaran kedua pilpres Perancis yang digelar Mei 2017. Selama pilpres, New Statesmanmelansir sebanyak €6.5 juta berhasil dihimpun En Marche! melalui skema donasi.
Jelang Pileg yang digelar Juni 2017, politisi En Marche! Jean-Paul Delevoye mengatakan ada sekitar 19 ribu pendaftar caleg dengan rata-rata rentang umur dari 24 hingga 72 tahun.
Setelah diseleksi, En Marche! mendapatkan 428 caleg yang bakal diusung. Sebanyak 50 persen di antaranya adalah perempuan. Telegraphmelaporkan 52 persen kandidat En Marche! belum pernah menduduki jabatan politik. Sebanyak 24 orang adalah anggota parlemen sebelumnya dari PS.
Seperti kuda hitam yang mengoyak kubu kiri dan kanan, En Marche! berhasil mengamankan 350 kursi parlemen. The 2017 French Presidential Elections: A Political Reformation? (2017) yang disusun Jocelyn Evans dan Gilles Ivaldi mencatat rata-rata usia anggota parlemen dari En Marche! berumur 46, paling muda dibanding rata-rata usia anggota parlemen dari partai lainnya.
Akankah PSI Meniru Jejak Kedua Partai Tersebut?
Latar politik Indonesia menunjukkan kemiripan dengan India dan Perancis. Di India, kekuatan partai terbelah antara partai tua Congress dan kekuatan baru yang mengandalkan isu identitas, BJP. Sedangkan di Indonesia, partai-partai terbelah antara yang menganggap dirinya Pancasilais atau Islamis berdasarkan sigi Lingkaran Survey Indonesia (LSI).
Di Perancis, partai-partai memang terbelah antara yang berhaluan kiri dan kanan. Namun, Pierre Rosanvallon, profesor sejarah politik modern di Collège de France, Perancis, mengatakan pemilu Perancis 2017 menandakan perubahan kompetisi politik yang semula antar representasi ideologis menjadi antar personal. Menurutnya, sosok yang diajukan partai seperti Macron atau Le Pen kini dianggap sebagai konsep dan konstituen diminta untuk memilih hal-hal yang melekat padanya.
Ketua DPP PSI Tsamara Amany mengklaim PSI sebagai partai berhaluan tengah. Sementara Raja Juli Antoni menyatakan bahwa PSI percaya terhadap ekonomi pasar, globalisasi, dengan tetap mempertahankan intervensi pemerintah agar setiap orang dapat berkompetisi dengan adil. PSI juga merangkul baik yang Pancasilais maupun Islamis.
"Ideologi yang kami anut yang sentris (tengah) aja. Kami ambil yang baik dari kanan dan kiri. Ini era di mana kami percaya banyak program-program yang baik, dari kiri dan kanan yang bisa kami terjemahkan," ujar Tsamara kepada Tirto.
Di sisi lain, Raja mengatakan ideologi partai seperti itu sebenarnya tak lagi relevan. Menurutnya, PSI cenderung ingin mengangkat isu permasalahan nyata yang dihadapi masyarakat.
Ditinjau dari pesan yang disampaikan, platform PSI mengarah kepada isu anti-korupsi, toleransi, dan pendukungan terhadap kebijakan-kebijakan Jokowi—karena PSI telah menyatakan bakal mengusung Jokowi sebagai presiden di Pilpres 2019.
Namun, kemenangan AAP atas Congress di Delhi tidak hanya berbekal isu anti-korupsi. AAP juga menjanjikan biaya gratis untuk air, menurunkan tarif listrik, sembari mengritik petahana yang tidak bisa menyediakan semua itu.
PSI sebenarnya bisa menggarap isu-isu tersebut karena keleluasaan sebagai partai yang sebagian besar pengurusnya diisi orang-orang muda yang baru pertama kali terjun ke politik. PSI punya kesegaran macam itu dibanding partai-partai lain yang relatif tua dan pemimpinnya itu-itu saja. Namun, ini sesuatu yang tampaknya akan sulit dilakukan mengingat PSI amat getol mendekati Jokowi.
Langkah PSI mungkin lebih mirip seperti En Marche!. Namun, Jokowi bukanlah Macron yang tanpa En Marche! tidak bakal jadi siapa-siapa. Sebaliknya, En Marche! tanpa Macron juga tidak akan jadi apa-apa. Kini, dengan peraturan presidential threshold yang ada, Jokowi bisa tetap tenang melaju di Pilpres 2019 tanpa PSI. Pertanyaannya, sampai kapan PSI bakal mengekor Jokowi?
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Ivan Aulia Ahsan