tirto.id - Ahad lalu (23/4/2017) Perancis melangsungkan pemilu presiden. Dua pilihan yang bakal maju di putaran kedua adalah Emmanuel Macron (dengan 24,10% suara) dan Marine Le Pen (21,80%). Adapun Francois Fillon, Jean-Luc Mélenchon, dan Benoît Hamon berturut-turut tersingkir dari gelanggang. Karena tidak ada kandidat yang memenangkan suara 51%, putaran kedua akan berlangsung pada 7 Mei.
Pilpres kali ini, demikian menurut para pengamat, adalah pilpres terpenting sejak 2002. Dua pilpres itu merupakan pertarungan antara kandidat terburuk dan kandidat terbaik dari yang terburuk. Pada pemilu 2002, pilihannya antara petahana Jacques Chirac dan Jean-Marie Le Pen, bapak Marine Le Pen, pendiri partai Front National yang dikenal rasis. Duel berikutnya, antara Macron dan Le Pen junior.
Siapapun yang terpilih akan menentukan nasib Perancis dalam Uni Eropa yang sedang dihajar krisis legitimasi pasca-referendum Brexit. Isu internasional terkait lainnya adalah arus pengungsi, nasib pekerja migran, dan terorisme. Untuk yang terakhir, gelombang terorisme yang melanda Perancis sepanjang 2015-2016 telah mendorong pemerintah memberlakukan Darurat Sipil (State of Emergency), yang pada Desember 2016 diperpanjang hingga 2017.
Situasi sosial di dalam negeri tak cerah. Sektor perburuhan, misalnya. Di bawah pemerintahan Francois Hollande dari Partai Sosialis, angka pengangguran meningkat dari 9% ke 10,6%, sementara 25% pemuda Perancis menganggur. Perdebatan soal 35 jam kerja per minggu juga menjadi satu topik utama dalam debat dan kampanye para kandidat. Beberapa kandidat ingin mempertahankannya, sebagian ingin mengurangi, dan yang lain menambah. Antara Maret-Mei 2016, Perancis diguncang serangkaian aksi protes bertajuk Nuit Debout sebagai respons atas rencana pengesahan RUU perburuhan baru (RUU El-Khoumri) yang dianggap melonggarkan regulasi perburuhan demi menguntungkan pengusaha. Misalnya, perusahaan lebih leluasa untuk memecat pekerja, mengurangi upah lembur, serta memperpanjang jam kerja. Aksi protes pada akhir Maret itu disusul lagi oleh aksi pemogokan selama seminggu pada bulan Mei, yang dikerahkan para pekerja penyulingan minyak, penerbangan sipil, kereta api, dan buruh bangunan.
Krisis perumahan belakangan jadi soal. Di kota-kota besar, harga properti dan uang sewa hunian meroket, melampaui kenaikan upah minimum. Walhasil, warga Perancis berpenghasilan menengah di kota-kota besar harus mengalokasikan sebagian besar pendapatan mereka untuk sewa apartemen. Wilayah pemukiman pinggir kota (banlieue) pun tak lepas dari seabrek masalah. Ketimpangan pendapatan salah satunya. Lainnya: kekurangan fasilitas transportasi dan layanan publik (yang terjadi juga di desa-desa), tingginya angka kriminalitas, dan beberapa tahun belakangan, ekstremisme agama yang berkembang di sebagian kecil lingkungan imigran. Kerusuhan besar yang melanda Paris pada 2005 bermula dari banlieue.
ProfilKandidat
Setelah ganti nama dari Uni Gerakan Populer, Partai Republikan (LP) mencalonkan Francois Fillon, bekas perdana menteri Perancis pada era pemerintahan Nicholas Sarkozy (2007-2012) yang sempat absen berpolitik selama lima tahun. Seorang pengagum PM Margaret Thatcher, jualan Fillon dalam pemilu kali ini adalah restrukturisasi ekonomi dengan pemangkasan jumlah pekerja sektor publik hingga 500 ribu personel, keringanan pajak untuk pengusaha, serta pengurangan anggaran untuk publik sebesar €100 miliar. Menurut Fillon, ini dilakukan untuk mengatasi pengangguran yang bertengger di angka 10 persen selama pemerintahan Hollande yang kini berkuasa. Ia baru saja diguncang skandal lantaran ketahuan mempekerjakan istrinya sebagai asisten pribadi di parlemen dengan gaji $1 juta antara 1986-2013.
Anak bawang yang tiba-tiba melesat dalam momentum pemilu tahun ini adalah Emmanuel Macron, Menteri Urusan Ekonomi, Industri dan Digital dalam pemerintahan Hollande dan mantan bankir berusia 39 tahun. Sebelumnya, Macron adalah anggota Partai Sosialis (PS). Karena tak mendapat dukungan internal dari partai, ia mendirikan alat politik baru bernama En Marche! (“Bergerak!”). Macron menolak digolongkan sebagai Kiri atau Kanan—ia mengklaim mengambil posisi tengah.
Di kubu ultra-kanan terdapat Marine Le Pen dari Front Nasional (FN), yang membawa platform anti-imigran. Jika Belanda memiliki Geert Wilders dan Amerika saat ini dipimpin Trump, Perancis sedang menyaksikan naiknya Le Pen di panggung politik nasional. Jika menang, Le Pen akan menggelar referendum untuk menentukan keanggotaan Perancis di Uni Eropa.
Dari kubu Kiri terdapat Benoît Hamon dan Jean-Luc Mélenchon. Hamon adalah kandidat Partai Sosialis. Ia sempat menjabat menteri pendidikan dalam kabinet pemerintahan Hollande, namun mundur pada 2014. Menurut Hamon, Hollande telah meninggalkan agenda sosialis. Saingan Hamon adalah Jean-Luc Mélenchon, mantan Menteri Pendidikan Kejuruan pada pemerintahan Chirac (2000-2002) dan sempat duduk di kursi senat. Pernah menjadi anggota Partai Sosialis, Mélenchon maju sebagai kandidat presiden pada pemilu 2012 dan bertengger di peringkat empat, di bawah Le Pen. Kali ini didukung oleh gerakan bernama “Perancis Menolak Tunduk” (“La France Insoumise”) yang terdiri atas serikat-serikat buruh dan Partai Komunis Perancis.
Secara umum, hasil-hasil polling pra-pencoblosan menunjukkan persaingan ketat antara Le Pen dan Macron. Di bawah mereka, Fillon dan Mélenchon. Bagaimana dengan suara Hamon? Sepi. Untuk ukuran Partai Sosialis hari ini yang beberapa tahun terakhir semakin mendekat ke kanan, kebijakan-kebijakan yang diusung Hamon terbilang radikal. Namun, tantangan terbesar Hamon adalah mengembalikan kepercayaan konstituen yang terlanjur kecewa dengan kebijakan Hollande.
Salah satu pertaruhan Le Pen dan Mélenchon adalah daerah-daerah yang disebut “rustic belt” (kota-kota seperti Hénin-Beaumont, Hayange, Florange, dll) yakni wilayah yang pernah menjadi basis industri berat sebelum akhirnya menutup pabrik, akibat pemindahan sektor manufaktur ke negara-negara Dunia Ketiga maupun larangan penambangan batu bara. Tempat-tempat ini diperkirakan menjadi kunci pemenangan kandidat, khususnya setelah Trump di Amerika menyapu bersih suara dari populasi yang sama dalam pemilu AS tahun silam.
Adu Program
Pada sektor perburuhan, Fillon berkampanye untuk menaikkan usia pensiun dari 63 ke 65, mengubah UU perburuan untuk kepentingan bisnis, serta meningkatkan jumlah jam kerja dari 35 jam per minggu ke 39 jam. Nyaris senada dengan Fillon, kandidat tengah Emmanuel Macron berjanji untuk melenturkan undang-undang perburuhan demi meningkatkan investasi, menurunkan pajak untuk pengusaha, serta mempertahankan usia pensiun dengan negosiasi untuk profesi-profesi tertentu. Mewakili kepentingan kelompok bisnis, Macron akan memangkas anggaran publik sebesar €60 miliar.
Dua kandidat sayap kiri, Hamon dan Mélenchon, tidak berbeda jauh dalam urusan perburuhan dan kesejahteraan sosial. Program Hamon menyasar pembelanjaan anggaran publik sebesar €100 miliar untuk peremajaan kota dan lingkungan. Selain itu, jika menang, Hamon akan mengalokasikan 50 persen kontrak pemerintah untuk bisnis kecil dan menengah, menaikkan upah minimum, dan memberlakukan Universal basic income (UBI), awalnya untuk pekerja berupah rendah, mahasiswa, kemudian untuk semua. (UBI merupakan jaminan pendapatan dasar diberikan tanpa syarat bagi seluruh warga negara). Sementara Mélenchon berjanji menaikkan upah minimum dan gaji PNS, membuka dialog untuk memperpendek jam kerja per minggu dari 35 ke 32 jam, menaikkan pajak 100 persen untuk kelompok yang berpendapatan 20 lipat dari upah minimum. Adapun Le Pen bertahan dengan platform anti-pendatang, misalnya memprioritaskan lowongan kerja untuk pekerja Perancis. Serta memberlakukan pajak tambahan untuk perusahaan yang mempekerjakan orang asing.
Sementara pada isu imigrasi, Fillon akan menetapkan kuota tahunan guna meminimalisir angka imigrasi pada, membatasi kesempatan orang asing untuk bergabung dengan anggota keluarga mereka di Perancis, serta membatasi kesempatan orang asing untuk memperoleh kewarganegaraan Perancis. Kebijakan Le Pen lebih keras: mengurangi imigrasi legal hingga ke angka 10.000 saja orang per tahun, mencabut hak kewarganegaraan Perancis untuk anak-anak pasangan yang lahir di Perancis, dan mewajibkan anak-anak orang asing menunggu dua tahun sebagai syarat mengakses pendidikan gratis.
Pada isu Uni Eropa, Marine Le Pen dan Mélenchon bertemu pada isu referendum mengenai posisi Perancis di Uni Eropa. Proyeksi kebijakan paling ekstrem akan diambil Le Pen yang berencana mengganti mata uang Euro dengan Franc. Adapun Mélenchon berorientasi publik dengan melakukan renegosiasi atas traktat-traktat UE yang melibatkan Perancis dan membawanya ke tingkat referendum.
Pilihan berdasarkan hati sudah memastikan nama Macron dan Le Pen muncul di kartu suara untuk babak berikutnya—tapi bagaimana dengan pilihan otak?
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti